Betapa Al-Quran Memuliakan Perempuan
Untuk menjadi perempuan, dengan jenis kelamin tertentu, adanya rahim dan kelenjar-kelenjar yang secara fisiologis berbeda dari laki-laki, adalah kodrat. Karena jenis kelamin adalah penciptaan saat berada di rahim, tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa menolak pilihan penciptaan ini. Sama seperti penciptaan seseorang dari ras, suku dan keluarga tertentu, adalah penciptaan dan pemberian, bukan pilihan seseorang. Penciptaan ini semestinya disyukuri dan dirayakan, sebagai amanah dari Allah SWT dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.
Menjadi perempuan harus dibanggakan, disyukuri dan dirayakan, karena merupakan amanah dari Allah SWT yang diberikan kepada seseorang. Hal yang sama juga mensyukuri amanah menjadi laki-laki. Setiap amanah, dalam kosmologi Islam adalah ujian bagi proses pemilihan siapa yang terbaik dalam memainkan peran dan kiprahnya bagi masyarakat. “Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amal perbuatannya”. (QS. Al-Mulk, 67: 2). Semua orang diuji dengan amanah yang sama dan kesempatan yang sama, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.
Memang dalam masyarakat tertentu, seperti masyarakat Arab jahiliyah pra-Islam, menjadi perempuan adalah suatu aib yang memalukan. Mereka akan geram memendam amarah ketika melihat bayi yang dilahirkan dari isteri mereka ternyata perempuan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang membunuh bayi perempuan hidup-hidup. Hanya karena malu, atau takut tidak bisa memberikan nafkah kepada bayi perempuan.
Al-Qur’an dengan tegas dan keras mengkritik orang-orang yang merendahkan dan merasa rendah dengan kehadiran perempuan. “(Orang-orang jahiliyah itu) apabila dikabarkan (memiliki) bayi perempuan, mukanya akan hitam karena marah dan geram”. (QS. An-Nahl, 15: 68).
Kritik surat an-Nahl terhadap perendahan perempuan, adalah kritik terhadap perilaku masyarakat yang sering lebih mengistimewakan anak laki-laki dari perempuan. Ayat al-Qur’an ini ingin menawarkan perlakuan yang berimbang terhadap bayi laki-laki dan perempuan. Bukan perlakuan yang timpang, berat sebelah dan diskriminatif, sejak masa kehamilan, kelahiran dan pertumbuhan. Tidak semestinya, bayi laki-laki diberi susu dan makanan lebih banyak dari perempuan. Tetapi diberikan sesuai kebutuhan masing-masing, tanpa membedakan jenis kelamin.
Dalam hal pola komunikasi, berbicara, permainan dan kesempatan untuk belajar dalam segala hal, tidak semestinya dibedakan antara laki-laki dan perempuan, yang mengakibatkan perempuan menjadi lebih lemah dan lebih rendah. Mereka adalah bayi manusia, yang memiliki kebutuhan yang sama sebagai manusia, untuk lahir dan tumbuh sehat, bersih dan bisa mengembangkan potensinya sebagai manusia yang memiliki amanah kekhalifahan untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi. Dengan mendasarkan pada ayat an-Nahl ini, segala bentuk pengistimewaan dan perlakuan yang timpang terhadap salah satu jenis kelamin harus dihentikan.
Saat ini, secara umum masyarakat dunia, tidak merasa rendah dengan kehadiran perempuan. Bagi masyarakat Indonesia, kehadiran bayi perempuan atau laki-laki sama saja. Mereka tidak membedakan satu lebih penting dari yang lain. Di antara mereka terkadang ada yang menginginkan kehadiran bayi laki-laki karena mereka sudah memiliki anak perempuan. Begitu juga yang menginginkan bayi perempuan, biasanya karena telah memiliki anak laki-laki.
Bagi sebagian masyarakat, misalnya di daerah seputar Cangkingan Karangampel Indramayu, memiliki anak perempuan justru menjadi kebanggaan tersendiri. Karena bagi mereka, anak perempuan akan cepat dikawin dan keluarga akan memperoleh hasil dari perkawinan tersebut. Perempuan juga, lebih memiliki kesempatan kerja lebih baik dibanding laki-laki, menjadi pelayan di warung, atau menjadi pekerja migran ke luar negeri, atau terjun pada pelayanan jasa seksual.
Kebanggan ini sebenarnya sangat artifisial, karena hanya menghargai perempuan dari sisi tubuhnya semata. Padahal perempuan sebagai manusia memiliki akal, pikiran, jiwa dan tenaga. Kebanggaan seperti ini sebaliknya bisa menyudutkan perempuan, dengan anggapan bahwa perempuan adalah figur penggoda bagi laki-laki. Kemampuan ‘penggoda’ ini yang kemudian dieksploitasi dari perempuan dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak kembali kepada perempuan itu sendiri.
Dalam bahasa agama, potensi ‘penggoda’ ini disebut fitnah. Bahwa perempuan memiliki potensi fitnah yang bisa menghanyutkan para laki-laki dan merusak tatanan masyarakat. Dengan potensi ini, perempuan sering disandingkan dengan harta benda dan jabatan. Dalam berbagai kesempatan, seringkali dinyatakan bahwa ujian setiap orang adalah harta, tahta dan wanita. Seakan-akan wanita adalah bukan orang, karena disamakan dengan harta dan tahta yang menjadi ujian bagi setiap orang. Persepsi fitnah ini banyak sekali menyudutkan perempuan. Kehidupan menjadi tidak nyaman bagi mereka yang berjenis kelamin perempuan.
Tentu saja, kebanggaan perempuan bukan dari potensi ‘fitnah’ ini. Kebanggaan dari potensi ini bersifat artifisial dan bisa berujung pada tindakan eksploitatif dan diskriminatif. Tetapi kebanggaan perempuan, sebagaimana juga laki-laki, adalah sebagai manusia yang bermartabat dan berkiprah positif, baik di ranah domestik maupun publik. Perempuan inilah yang dalam istilah agama sebagai ‘mar’ah shalihah’, atau perempuan yang berkualitas. []