BPJS Dibawah Bayang Bayang Kebangkrutan ?
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membantah kabar yang menyebut pihaknya mengurangi layanan kesehatan untuk tiga bentuk pelayanan; katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medis.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohammad Arief menekankan bahwa ada kesalahpahaman dalam mengartikan tiga beleid baru terkait pelayanan kesehatan bagi peserta JKN-KIS.
“Apabila ada yang menyebut BPJS Kesehatan mencabut tiga pelayanan kesehatan itu, berita tersebut hoaks,” kata Budi Mohammad Arief dalam keterangan resminya yang dikutip Katadata, Senin (30/7/2018).
Ketiga beleid yang dimaksud adalah Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medis.
Penerbitan ketiga aturan ini mengacu pada Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Persoalan menjadi ramai manakala BPJS Kesehatan mengadopsi aturan dalam Pasal 22 UU SJSN, yang menyebut luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan BPJS.
Pada kasus persalinan misalnya. Meski BPJS Kesehatan tetap menjamin semua jenis persalinan normal maupun tindakan bedah sesar, namun jika bayi memerlukan pelayanan atau sumber daya khusus, maka biaya tambahan pelayanan itu akan ditagihkan di luar paket persalinan yang ditanggung.
Begitu juga dengan tindakan fisioterapi. BPJS Kesehatan tetap akan menjamin pelayanan rehabilitasi medis oleh dokter spesialis dengan frekuensi mencapai dua kali sepekan atau delapan kali sebulan. Namun, hal tersebut tetap harus sesuai dengan kemampuan finansial BPJS Kesehatan.
Sayangnya, aturan itu tidak memerinci berapa besar kemampuan finansial BPJS Kesehatan untuk masing-masing pelayanan yang berlaku untuk tiap peserta JKN-KIS. Hal ini yang kemudian menjadi ramai dipertentangkan masyarakat.
Pemberlakuan ini pun yang membuat sejumlah rumah sakit menghentikan pelayanan kepada peserta JKN-KIS lantaran takut tidak bisa menebus biaya yang menjadi tunggakan itu.
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek merespons tegas dengan mendesak BPJS Kesehatan untuk menunda pelaksanaan tiga beleid itu.
Nila menekankan, dalam kasus persalinan tidak bisa dibuat diagnosa bayi lahir sehat atau bayi lahir sakit. Sebab, sekalipun janin dalam kandungan dinyatakan sehat, tidak menjamin proses persalinan sudah pasti normal.
“Dalam keadaan selanjutnya bisa terdapat komplikasi yang sebelumnya tidak diketahui sehingga memerlukan pemantauan untuk mencegah kematian bayi dan untuk keselamatan ibunya,” kata Nila, mengutip Antaranews.
Dirinya juga memastikan, permintaannya untuk menunda tiga beleid ini juga didukung oleh beragam organisasi profesi dan perumahsakitan, IDI, dan profesi kedokteran lainnya.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Sigit Priohutomo bahkan meminta langsung kepada BPJS Kesehatan untuk membatalkan tiga beleid tersebut.
Selain penyusunan tiga beleid itu tidak didahulukan dengan kajian yang dikonsultasikan kepada DJSN, aturan tersebut juga tidak mengikuti tata cara penyusunan peraturan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Bayang kebangkrutan
Belakangan, BPJS Kesehatan memang sering mengeluarkan kebijakan baru yang berlatar pada kemampuan finansial perusahaannya.
Baru-baru ini BPJS Kesehatan memutuskan untuk menghentikan pembiayaan terhadap obat kanker, Trastuzumab, bagi pesertanya. Keputusan itu mulai berlaku 1 April 2018. Singkatnya, penghentian itu dikarenakan obat yang diyakini bisa memperpanjang usia pasien penderita kanker payudara HER2 terlalu mahal.
Desakan untuk memberi perhatian lebih terhadap kondisi keuangan BPJS Kesehatan pun berdatangan.
“Bayang-bayang kebangkrutan BPJS Kesehatan harus mendapat respons serius dari pemerintah, karena ini menyangkut amanat konstitusi dan jaminan kesehatan nasional,” ucap Anggota Komisi IX DPR RI Okky Asokawati dalam rilisnya yang dikutip VIVA, Senin (30/7/2018).
Okky menawarkan salah satu solusi yang mungkin dilakukan pemerintah, yakni dengan mengelaborasi program BPJS Kesehatan dengan pemerintah daerah. Elaborasi ini diharapkan bisa mengurangi beban keuangan BPJS Kesehatan.
Laporan keuangan BPJS Kesehatan menunjukkan pada 2017 perusahaan ini mengalami kerugian mencapai Rp183,3 miliar. Angka ini sebenarnya relatif mujur jika dibandingkan kerugian-kerugian pada tahun sebelumnya.
Pada 2014 BPJS Kesehatan rugi Rp814,4 miliar, 2015 membengkak jadi Rp4,63 triliun, dan 2016 Rp6,6 triliun.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar bahkan memprediksi tahun ini kondisi keuangan BPJS Kesehatan tidak akan berbeda jauh.
Dalam catatan Timboel, sampai Mei 2018 saja defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp4,8 triliun. Hal itu dihitung dari pendapatan BPJS Kesehatan sebesar Rp33,56 triliun, sementara pengeluarannya lebih besar, Rp38,28 triliun.
Laporan Analisa Keuangan Kementerian Kesehatan per 30 September dan 31 Oktober 2017 yang diolah Lokadata Beritagar.id juga menunjukkan besarnya tunggakan BPJS Kesehatan pada beberapa rumah sakit di Indonesia.
Peningkatan tunggakan dialami RS Dr Kariadi Semarang yang sebelumnya per 30 September 2017 sebesar Rp90,3 miliar menjadi Rp176,9 miliar, sedangkan penurunan tunggakan terjadi pada RS Manado sebesar Rp44,04 miliar September ke Oktober 2017.
Beragam upaya untuk membawa keluar BPJS Kesehatan dari jerat ini telah banyak disusun. [Net]