Bukan Hanya UU ITE yang Mengandung Pasal Karet Penjegal Demokrasi
JAKARTA – Presiden Joko Widodo menggulirkan wacana untuk merevisi pasal-pasal karet yang ada di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronok (UU ITE). Kantor hukum dan HAM Lokataru menilai, masih banyak UU bermasalah yang dapat merusak iklim demokrasi di Indonesia.
UU ITE dianggap bermasalah karena sering dipakai oleh pejabat publik atau masyarakat sipil untuk saling melaporkan atas dasar pencemaran nama baik di jagat maya. Aparat penegak hukum sering merespon pelaporan tersebut tanpa adanya seleksi yang ketat menyebabkan banyak orang dibui karena UU tersebut. Karena itu UU ITE dianggap sebagai dalang merosotnya indeks demokrasi Indonesia.
Sejak 2018, dua kelompok terbesar pelapor UU ITE adalah pejabat publik (35,9%) dan masyarakat sipil (32,2%). Pada tahun 2019, data yang dihimpun SAFENet menunjukkan setidaknya ada 3100 kasus UU ITE yang dilaporkan. Data Koalisi Masyarakat Sipil (ICJR) menunjukkan sepanjang 2016-2020, tingkat conviction rate kasus pasal karet mencapai 96.8% atau 744 perkara. Sedangkan tingkat pemenjaraan mencapai 88% atau 676 perkara.
Manajer Program Lokataru Foundation, Mirza Fahmi, mengatakan bahwa perbedaan tipis antara jumlah pelapor warga dan pemerintah membuktikan bahwa masyarakat sipil sendiri gagal memahami dan mempraktikkan kebebasan berekspresi. Masyarakat sipil masih alergi terhadap kritik dan perbedaan pendapat, namun dibiarkan oleh pemerintah yang nampak meraup untung dari konflik warga yang berlomba-lomba mempolisikan sesamanya.
“Di momen politik besar seperti Pemilu atau Pilkada, kecenderungan ini melonjak berkali lipat. Sepak terjang buzzer sesungguhnya tak lebih dari efek samping dari kondisi mendasar ini, saat mental gerombolan warga senantiasa memandang lawan kubunya sebagai pihak yang mesti dibungkam dengan segala cara,” kata Mirza.
Lokataru setuju dan mendukung revisi pasal-pasal karet di UU ITE, namun hal itu tidak lantas menyelesaikan masalah demokrasi Indonesia. Masih ada beberapa UU yang bisa digunakan untuk membungkap kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pemantauan Lokataru Foundation selama setahun terakhir menemukan bahwa negara masih memiliki banyak perangkat hukum lain yang dapat digunakan sesuai kebutuhan, seperti pasal penghasutan, keonaran, hingga pelanggaran aturan kerumunan.
“Pasal penghinaan terhadap mata uang rupiah pun bisa dipakai untuk membungkam masyarakat sipil seperti kasus Manre, nelayan Kodingareng, Makassar yang merobek amplop ganti rugi dari PT Boskalis,” ucap Mirza.
Ditambah lagi dengan penggunaan Strategic Lawsuit against Public Participation (SLAPP) yang kerap dipakai korporasi untuk memukul mundur perlawanan masyarakat atau penghilangan paksa dan pembunuhan ekstrayudisial di Papua. Ada juga ‘senjata andalan’ lain pemerintah, seperti kriminalisasi hoax dan patroli siber yang masih berjalan.
“Melihat semua hal di atas, tanpa UU ITE pun kualitas demokrasi kita akan tetap mandek jika tidak terus mundur.” []