Calon Pengantin Harus Lolos Sertifikat Layak Kawin Sebelum Menikah, Bagaimana Dengan ODHA ?
JAKARTA – Tengah hari telah berlalu. Seraya menghela napas dan menyeka keringat di pelipisnya, laki-laki dengan kemeja formal kusut itu mendudukkan diri di kursi kerjanya di kantor. Tersenyum, seorang rekan kerja yang kebetulan duduk di sebelahnya menyapa.
“Belum kelar juga persiapan nikahnya, Bro?”
Menghela napas sekali lagi, lelaki itu akhirnya menjawab dengan penjelasan yang cukup komprehensif.
“Iya, nih. Abis tes HIV tadi gue. Itu salah satu syarat buat dapet Sertifikat Layak Kawin, Bro.”
Percakapan akhirnya berlanjut ke diskusi lebih mendalam karena timbulnya rasa penasaran sang teman akan salah satu syarat yang menurutnya “unik” tersebut.
Kewajiban pengurusan Sertifikat Layak Kawin bagi mereka yang akan melangsungkan pernikahan sebenarnya bukanlah hal baru. Di ibu kota saja, misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies Baswedan telah memberlakukan hal ini sejak tahun lalu, sebagaimana yang tertulis di dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 185 Tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan bagi Calon Pengantin. Sayangnya, meski telah diwajibkan serta mulai berjalan selama beberapa waktu, regulasi ini masih menjadi bahan diskusi yang menimbulkan pro dan kontra.
Antara Syarat dan Pilihan
Pada awal kemunculannya, ide kepemilikan Sertifikat Layak Kawin memang banyak menuai pujian karena tujuan baik yang ingin dicapai para penggagasnya. Dikatakan, implementasi regulasi ini dimaksudkan untuk mencegah para calon pengantin dari berbagai masalah kesehatan. Melalui beberapa pemeriksaan kesehatan, seperti tes darah rutin, hemoglobin, leukosit, HIV (Human Imunodeficiency Virus), dan hepatitis hingga pemberian vaksin TT (tetanus toxoid) bagi calon pengantin perempuan, pemenuhan syarat sertifikat tersebut ditargetkan mampu membantu meningkatkan kualitas generasi masa depan. Dengan kebijakan ini, setiap anak yang terlahir diharapkan dapat menjadi penerus yang sehat dengan bibit kedua orang tua yang sehat pula.
Bagaimanapun, beberapa pihak menilai bahwa kebijakan penyertifikatan ini perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan berbagai hal. Pasalnya, berbagai syarat pemeriksaan yang diwajibkan untuk mendapatkan Sertifikat Layak Kawin dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bahkan kebijakan keagamaan sendiri. Setidaknya, hal itulah yang dikatakan oleh Ketua Dewan Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Cholil Nafis (Komara, 2019).
Cholil menilai tujuan pemberlakuan wajib Sertifikat Layak Kawin terlalu jauh dari syarat sah menikah yang sekadar laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan suami istri, bukan hingga memiliki anak. Mereka yang menikah tidak berkewajiban untuk mampu melahirkan. Bukanlah pernikahan yang perlu dilarang ketika seseorang, misalnya, mengidap HIV/AIDS dan khawatir akan menularkan pada pasangan maupun anaknya kelak. Cholil mengatakan, yang perlu dilarang adalah kehamilan, seumpama menurut dokter berbahaya, serta disarankan untuk menikah dengan penderita penyakit yang sama.
Mengacu kepada hukum Islam, menurut Cholil tidak pernah ada larangan menikah karena memiliki penyakit tertentu dan takut memiliki anak yang lemah kelak. Asalkan pasangan mampu menjalani hidup berkeluarga sebagai suami dan istri, pernikahan bisa dilakukan tanpa mensyaratkan kewajiban memiliki anak di kemudian hari.
Diskriminasi terhadap ODHA
Ricuhnya perdebatan terkait Sertifikat Layak Kawin barangkali juga melibatkan masih simpang siurnya teknis implementasi atas sistem terkait. Sejak mulai dijalankan, pemeriksaan kesehatan diwajibkan karena dianggap satu-satunya jalan untuk mendapatkan sertifikat yang disangka sebagai syarat wajib sebuah pernikahan. Nyatanya, tidak seperti itu.
Dalam Pasal 9 Peraturan Gubernur terkait sendiri telah dijelaskan secara saksama mengenai proses pengurusan dan peraturan apabila calon pengantin dinyatakan tidak sehat. Selain menjamin kerahasiaan hasil tes pesertanya, dijelaskan pula bahwa calon pengantin yang tidak sehat berdasarkan hasil tes akan mendapat surat rujukan untuk melanjutkan pengobatan dan dianjurkan untuk berobat hingga sehat.
Artinya apa? Apabila tidak memenuhi syarat kelulusan untuk mendapatkan sertifikat, calon pengantin masih tetap boleh menikah. Pemeriksaan kesehatan yang wajib dilakukan untuk mendapatkan sertifikat hanya dimaksudkan untuk mengetahui kesehatan diri dan calon pasangan, tapi sama sekali tidak membatasi keputusan calon pengantin selanjutnya.
Yang jadi permasalahan, penamaan sistem penyertifikatan ini nyatanya memang menimbulkan tanda tanya. Terselipnya kata layak dalam Sertifikat Layak Kawin menimbulkan prasangka bahwa orang-orang yang pantas menikah adalah mereka yang lulus dari berbagai tes kesehatan yang diujikan untuk mendapatkan surat legitimasi tersebut. Sementara, bagi yang tidak lulus dan terdeteksi memiliki salah satu penyakit yang diujikan, secara logika tentu saja tidak layak menikah.
Di antara berbagai tes dan uji penyakit yang diperiksakan, HIV menjadi momok yang sekiranya merupakan isu paling besar. Bagaimana tidak, sudah sejak dahulu stigma buruk menggerogoti individu yang dinyatakan positif terhadap virus ini. Pengetahuan masyarakat yang minim tentang beragamnya cara penularan semakin memperburuk penyakit yang memang dampak medisnya sudah buruk ini. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) jadi sasaran empuk tuduhan atas berbagai perilaku yang dinilai tercela dalam masyarakat, seperti pengguna obat-obatan terlarang atau pelaku seks bebas yang, oleh karenanya, dianggap layak didiskriminasi.
Betul, diskriminasi. Apa, sih, diskriminasi itu sebenarnya? George A. Theodorson dan Achilles Theodorson (1979) menjelaskan bahwa diskriminasi merupakan perlakuan yang tidak berimbang terhadap satu individu maupun kelompok berdasarkan sesuatu tertentu yang umumnya bersifat kategorial dan atribut khas, misalnya saja ras, suku bangsa, agama, atau kelas sosial, tanpa ada hubungannya dengan kemampuan individu. Tidak berimbang di sini berarti bahwa, dalam diskriminasi, pihak mayoritas melakukan tindakan dominan terhadap kelompok minoritas yang lemah. Kondisi tersebut kemudian menyebabkan kelompok atau individu dalam kelompok minoritas mengalami kerugian karena prasangka yang tertuju kepada mereka.
Dalam fenomena perlunya pemeriksaan kesehatan untuk mendapatkan Sertifikat Layak Kawin sebagai syarat pernikahan, ODHA jelas menjadi korban yang dirugikan. Barangkali, belum gencarnya sosialisasi akan maksud penyertifikatan bisa sedikit jadi alibi apabila peraturan baru ini dituding melakukan diskriminasi. Namun, dengan adanya syarat tes HIV dalam proses sertifikasi tersebut, stigma buruk ODHA hingga bahkan tidak layak berkeluarga akhirnya kembali menempel di benak masyarakat.
Ketika yang Sepatutnya Mengerti Tidak Melindungi
Fenomena Sertifikat Layak Kawin sebenarnya cuma satu dari banyak bentuk pelanggengan diskriminasi terhadap ODHA. Nyatanya, hal ini sebenarnya masih terus terjadi di sekitar kita, berulang kali, baik disadari maupun tidak. Ironisnya, tak jarang kelompok-kelompok yang seharusnya mengerti benar isu HIV/AIDS dan cukup kompeten untuk tidak menghiraukan segala stereotip negatif tanpa dasar terkait ODHA, justru tidak terlepas dari perilaku diskriminasi tersebut.
Dalam penelitiannya terhadap tiga orang ODHA dan lima petugas kesehatan, Riri Maharani (2014) membuktikan masih adanya diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS di pelayanan kesehatan di Kota Pekanbaru.
Diskriminasi yang dibeberkan Riri mencakup berbagai jenis perlakuan berbeda kepada pasien terdiagnosis HIV/AIDS dibandingkan pasien lainnya. Beberapa di antaranya adalah pemberian kode khusus (kode B-20 dan cap istimewa), pemisahan tempat sampah dengan pasien penderita penyakit lain, penggunaan alat pelindung oleh petugas yang berlebihan saat pemeriksaan pasien (salah satunya penggunaan sarung tangan ganda), pelecehan lisan dengan penyebutan penyakit secara lantang, hingga isolasi terhadap pasien terkait. Tidak hanya itu, beberapa dokter gigi juga sempat menolak untuk melakukan pelayanan terhadap ODHA karena khawatir akan berkenaan langsung dengan darah pasien.
Perlakuan yang kurang adil ini akhirnya mereproduksi logika bahwa ODHA adalah pasien yang berbahaya. Ironisnya lagi, alih-alih diberikan dukungan dan harapan, tindakan diskriminatif yang diterima oleh pasien justru menurunkan kepercayaan dirinya. Kondisi ini tentu sangat disayangkan karena pihak-pihak pelayanan diasumsikan sebagai orang yang mengerti benar dan tidak mudah salah kaprah pada orang-orang dengan virus ini. Khususnya jika mengacu kepada etika perawatan kesehatan, diskriminasi terhadap kelompok pasien tertentu jelas tidak dibenarkan.
Kini bukan hanya masyarakat atau bahkan pihak pelayanan kesehatan yang secara sadar atau tidak melakukan diskriminasi terhadap ODHA. Lewat pemberlakuan Sertifikat Layak Kawin, pemerintah pun secara halus memfasilitasi semakin terbatasnya ruang gerak mereka, padahal, sebagai sesama manusia, kelompok ini juga memiliki hak untuk dihargai dan diperlakukan secara sama dengan yang lain.
Jika pemerintah yang sepatutnya melindungi dan membantu menghapuskan perlakuan tidak adil justru menciptakan berbagai ketentuan yang makin menyudutkan ODHA, timbul pertanyaan: kepada siapa lagi mereka dapat memohon pemihakan. Kondisi ini baiknya menjadi pengingat bagi setiap individu untuk juga berlaku adil kepada pengidap penyakit ini. Meski berbeda kondisi kesehatan, kita semua tetaplah manusia. Lagi pula, apa yang lebih benar untuk dilakukan daripada memanusiakan manusia? [Novelia Peneliti di Visi Teliti Seksama]