January 31, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Catatan Koalisi untuk RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

3 min read

JAKARTA – Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) mulai membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI). Setelah mendengarkan pemaparan dari Tim Ahli Baleg DPR tentang arah revisi, pada hari yang sama giliran sejumlah organisasi masyarakat sipil diundang untuk memberi masukan.

Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran (Seknas JBM), Savitri Wisnuwardhani, mengatakan UU 18/2017 secara umum lebih baik ketimbang sebelumnya yakni UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN).

Menurutnya, UU 39/2004 lebih mengutamakan penempatan ketimbang perlindungan. Setidaknya UU PPMI memuat 8 bentuk perlindungan bagi pekerja migran. Yakni mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, setelah bekerja, jaminan sosial, pembiayaan, dan hukum.

“Kami melihat UU PPMI jauh lebih baik dari UU 39/2004, tapi memang secara implementasi perlu diberikan penguatan,” kata Savitri dalam rapat dengar pendapat dengan Baleg di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (30/1/2025).

Savitri mencatat setidaknya ada 7 hal yang luput diatur tegas dan perlu diperbaiki dalam revisi UU PPMI. Pertama, prinsip responsif gender dalam setiap tahap migrasi harus muncul dalam seluruh Pasal. Prinsip ini untuk mencegah terjadinya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Kemudian memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi berdasarkan kebutuhan laki-laki dan perempuan. Tujuannya untuk mengurai kasus non prosedural dan tindak pidana perdagangan orang. Kedua, pekerja rumah tangga (PRT) migran harus dilindungi dari sebelum berangkat sampai kepulangan.

Penting untuk segera mengesahkan UU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sebagai pilar utama dalam pelindungan PRT di dalam dan luar negeri. Ketiga, pengawasan dari hlu sampai hilir harus diatur dalam peraturan khusus dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), berlandaskan prinsip HAM dan responsif gender. Absennya regulasi ini membuat berbagai kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia terus bertambah.

Keempat, beberapa sanksi pidana dalam UU PPMI tidak mengatur minimal, sehingga mengikuti putusan hakim. Bahkan pekerja migran yang menjadi korban berpeluang juga untuk dihukum. Ketentuan yang tidak jelas membuat pekerja migran bingung mengakses bantuan hukum. Pemerintah juga tidak membentuk mekanisme penyelesaian sengketa yang menimpa pekerja migran.

Kelima, koordinasi dan layanan migrasi ketenagakerjaan antar pemerintah pusat dan daerah harus ditingkatkan. Savitri mengatakan sejumlah desa yang diadvokasi organisasi masyarakat sipil berhasil membentuk perangkat dan mengalokasikan anggaran untuk perlindungan pekerja migran.

Keenam, perlindungan bagi Sea based juga menjadi penting disorot dalam revisi UU PPMI. Ketujuh, proses revisi UU PPMI harus melibatkan partisipasi publik secara bermakna, utamanya organisasi yang fokus kerjanya di bidang advokasi pekerja migran. Partisipasi bermakna perlu diatur dalam substansi RUU PPMI, sehingga kebijakan dan program untuk pekerja migran Indonesia tepat sasaran.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto Suwarno, menjelaskan sejak UU 18/2017 terbit terjadi kesenjangan informasi. Apalagi di era digital dan daring yang penggunaannya masif, diseminasi informasi bisa menjadi bagian dari perlindungan pekerja migran Indonesia. Sebaliknya, marak informasi palsu yang menjebak calon pekerja migran dalam jurang perbudakan dan perdagangan orang.

“Diseminasi informasi ini sangat lemah sehingga masyarakat mendapat informasi palsu dari media sosial,” ujarnya.

Sampai saat ini belum ada data tunggal yang valid untuk digunakan secara resmi. Padahal aturannya jelas pendataan pekerja migran basisnya dari desa. Tapi faktanya pemerintah sulit membangun data yang terintegrasi dari daerah sampai ke pusat. Ego sektoral kementerian dan lembaga juga tinggi, menyebabkan tata kelola migrasi belum berjalan baik.

Misalnya soal perizinan awak kapal perikanan, terjadi rebutan antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya sudah jelas menyatakan pelaut yang bekerja di kapal niaga atau perikanan masuk kategori pekerja migran.

Pengawasan perlu diperkuat melalui harmonisasi, integrasi dan keterlibatan kalangan masyarakat sipil. Praktik pengawasan kerap terbentuk kesiapan SDM, ego sektoral, dan alasan minim anggaran. Revisi UU PPMI perlu mengatur penanganan perkara pekerja migran Indonesia secara terintegrasi dengan negara penempatan. Langkah yang bisa dilakukan misalnya memberi kewenangan terhadap perwakilan RI di negara penempatan.  []

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply