Cintaku Hanya Sebatas Teman
Nasib cinta keduaku tak jauh berbeda dengan yang pertama, mungkin lebih tragis. Sejak putus dengan Anton, aku sedikit lebih teliti mencari jodoh. Walau kata orang wanita itu dicari pria, juga dalam AlQur’an ditegaskan manusia diciptakan berpasang-pasangan, mestinya tidak perlu repot-repot mencari. Tapi, pikiranku berkata, ”Namanya usaha, siapa tahu jodoh tidak mau datang sendiri tanpa diundang?”
Tanpa jimat atau penguat, kucoba berbagai cara halal mencari jodoh. Kali ini melalui perkenalan via telepon. Ia bernama Imron, biasa dipanggil Ruron. Kami saling kenal berkat jasa temanku sesama pekerja migran Indonesia (PMI) di Hong Kong. Ia menjadi TKI di Malaysia, sudah tiga tahun. Sekilas, aku terpesona dengan kemapanannya. Itu kulihat dari lamanya ia merantau, juga perhatiannya pada keluarga.
Hubungan terjalin seiring rutinnya kami menjalin komunikasi. Temanku senang mendengar aku jadian dengan Imron. Hari-hari kerja di dampingi SMS dan telepon darinya. Sejak bertukar foto, kami pun makin intens menjalin hubungan. Tiada hari tanpa kata cinta. ”Yach… Cinta itu ajaib.”
Sampai di sini aku dilanda keganjilan dengan sikap temanku yang selalu ingin tahu apa yang sedang kulakukan dengan Imron. Entahlah… Aku yang sensitif atau memang ada udang di balik batu. Mungkin juga ada sesuatu yang tak kumengerti.
”Mas Ruron malam ini ngapelin kamu gak In?” tanyanya di Sabtu siang.
”Insyaallah, Ti. Kalau orangnya tidak lembur akan nelepon,” jawabku.
Aku dan Tia hanya beda blok kerja di Hong Kong, Tsuen Wan tepatnya. Kami menjalin persahabatan saat sama-sama menjadi pramuwisma di kota ini. Didasari sama-sama berasal dari Indonesia, kami pun bertekad menjalin persahabatan sepanjang hayat.
”Emang ada apa, Ti?” tanyaku tanpa curiga.
”Gak ada apa-apa kok. Tadi pas aku nelepon Mamak, adik Mas Ruron ada di rumahku, menanyakan kok sekarang jarang nelepon Ibu. Apa Mas baik-baik saja gitu,” lanjutnya memberi alasan.
Aku mafhum. Dalam hati ingin segera mengabari Imron akan hal ini. Apa karena kehadiranku hubungan dengan keluarganya jadi renggang atau memang dia lagi berhemat?
Pikiranku melayang ke mana-mana. Aku baru sadar, selama ini hubungan kami stagnan saja. Tanpa tujuan yang serius. Di samping kami masih jauh di rantau, juga masing-masing masih punya tanggung jawab kepada keluarga. Paling sering yang ia bahas adalah Tia. Aku cuek saja tatkala ia ingin tahu Tia sedang apa, bagaimana, de-el-el. Kupikir wajar, karena mereka berteman sejak kecil, tetangga lagi. Sama sekali aku tak berpikir negatif akan hubungan mereka berdua.
Hubungan kabel ini masih mampu bertahan dalam bilangan delapan bulan. Tanpa spekulasi benarkah Tia ada cinta dengan Imron? Bila dia memang jodohku, tak akan lari ke mana, yakinku saat itu. Hingga tibalah peristiwa yang tak mudah kuhapus dari memori kepalaku.
”In, sekarang Tia lagi sakit. Tolong jenguk dia, ya?” SMS Imron di siang yang menyengat. Aku tak pernah menduga kalau panas itu benar-benar menyengatku. Tanpa praduga, kujalankan saja kemauannya.
”Oke, nanti sore aku akan menanyakan keadaan Tia pada majikannya,” balasku. Sebenarnya ada segepok cemburu melingkar di dada. Tapi demi rasa setia kawan, kutebas rasa yang makin menambah penat itu.
”Terima kasih, In. Kamu memang teman yang baik. Kami tidak akan pernah melupakan kebaikan-kebaikan yang engkau toreh pada tinta hati kami,” lanjutnya. Tadi dia bilang ”kami”, apa maksudnya? Aku makin dilanda rasa ingin tahu tatkala berjumpa Tia di halaman bawah apartemen.
”Eh, In… Kalau Mas Ruron SMS atau telepon sampaikan salamku padanya, ya,” sapanya mendahului keinginanku menanyakan sakit apakah yang ia derita.
”Tadi Mas Ron dah SMS Ti, katanya kamu sakit. Dah sembuhkah?” Aku benar-benar bingung. Yang satu minta dilihatkan kondisinya, satunya lagi minta salamnya disampaikan. Aku merasa hati dan kehadiranku dipermainkan.
”Iya, aku lagi sakit hati,” jawabnya dibalut tawa. Tawa yang tak dapat kumengerti maksudnya. Ah, tak disangka aku bisa sebodoh ini. Berkali-kali kutepis kehadiran cinta setelah masa indah bersama Anton terkikis deru-debunya Jakarta. Namun, setelah mencoba lagi menerima cinta, akhirnya aku didera kecewa lagi.
Dari hal-hal sepele yang mereka lakukan, aku bisa mengerti posisi cintaku saat ini. Ingin segera kutumpahkan segala asumsi, spekulasi, dan file-file selingkuh Imron detik ini. Ia tampak menghindar, makin aku buru kebohongannya. ”Sebenarnya Mas ini ada hubungan apa sih dengan Tia? Adakah cinta untuknya selain rasa simpati antar teman yang kalian bina?” Ia masih diam. ”Aku paling benci selingkuh! Untung saja kita belum menikah, Mas,” lanjutku, yang belum juga dia respons.
Entahlah aku yang salah duga atau dia memang berat memilih aku dan Tia. Mungkin Tia-lah pilihannya. Di samping sudah kenal sejak kecil, mereka bertetanggaan, juga saling berkomunikasi di mana pun mereka berada. Sedangkan aku? Baru dikenalnya beberapa bulan lalu, itu pun dengan perantara Tia. Oh, tiada yang mengira persahabatan yang kubina dengan ikhlas bersama Tia ternoda cinta seorang Imron.
Entah Tia benar-benar menganggapku sahabatnya atau sekadar bahan uji coba? Aku sudah tak peduli. Mereka menganggapku teman, oke kita berteman. Bukankah Allah swt Maha Pemaaf? Yang selalu mengampuni dosa setiap hamba yang mau bertobat dan mengakui kesalahannya? Aku kira memaafkan mereka lebih baik ketimbang membencinya. Bukankah menjaga silaturahim itu pembuka rezki kita?
***
Love so beautiful… So wonderful I can’t endure to explained. This is our love and our songs says it all… Sepenggal lagu lawas A1 ini makin menambah rasa kecewa di hati. Mengembus pilu, merogoh serpihan asa yang terserak di marmer Hong Kong. Setelah saling diam selama dua minggu semenjak SMS terakhirku yang memojokkan posisinya, Imron pun berkata dengan tegas. Santun lewat syair sunyi senja.
”In, aku minta maaf karena selama ini telah memanfaatkanmu menguji cinta Tia kepadaku.” Kata-kata ini sudah menghabiskan sisa-sisa bening yang sempat tergenang dua minggu lalu.
”Kamu layak marah. Pukullah aku sekuatmu, bencilah, caci makilah.” Hanya tangis yang menjawab alasan gombalnya.
”Cukup… Aku tidak butuh lagi alasan klise. Putus ya putus… Lebih baik sekarang sakit hati daripada setelah menikah nanti. Teganya dirimu, Mas. Adakah selama ini salahku melebihi kesalahan Zulaikha?” Tiba-tiba kata-kata ini yang muncul dari bibirku. Zulaikha adalah wanita yang menggoda Nabi Yusuf As.
Inginku tak mendengar berbagai alasan yang ia utarakan. Tapi, benih cintaku masih tumbuh di sanubari yang menginginkan dia kembali padaku. Apa sih kelebihan Tia? Hari-harinya ia habiskan dengan SMS-an dan bertelepon ria dengan banyak pria. Tapi ia malah membela Tia dengan dalih ia melakukan hal yang sama, menguji betapa besar cintanya pada Imron.
Kejadian ini kujadikan hikmah dalam perjalanan cintaku selanjutnya, dengan harapan jodohku lebih baik dari Imron. Tak lama setelah kejadian itu, Tia pulang ke Indonesia karena kontraknya sudah selesai. Ia berencana menikah dengan Imron. Mendengar kabar ini, entah harus tersenyum bahagia atau meringis kesakitan.
Benar saja, empat bulan setelah pulang, Tia mengabariku lagi bahwa esok ia dan Imron melakukan akad nikah. Mereka seperti tak peduli apa yang kurasakan. Setelah aku setuju berteman, apa saja yang mereka lakukan aku dikabari. Mulai dari rencana mereka setelah menikah ke mana, kerja apa, atau punya keturunan berapa. Bagi mereka biasa, tapi bagiku luar biasa. Sakit hatiku bagai teriris tajamnya sembilu.
Sampai sekarang pun mereka masih setia mengabari keadaannya yang belum dikaruniai putra ataupun putri. Bukan sengaja ditunda, tapi memang belum waktunya. Sependar doaku untuk mereka, ”Semoga Allah swt segera mengaruniai mereka buah hati yang salih dan saliha. Aamiin.” [Dituturkan Inawati kepada Anna Ilham-Apakabar Plus]