[CURHAT] Aku Tertipu PP Cantik
Aku mengenalnya lewat jejaring sosial, Facebook. Namanya Farida Kemangi. Parasnya selalu menggodaku yang masih berstatus jomblo untuk memberinya like, love, dan wow. Setiap update foto plus story dia bagai bidadari yang turun ke bumi. Cantik, tinggi semampai dan ramping, dengan rambut tergerai legam. Aduhaiii…Pesona dunia yang wajib dinikmati. #Eh..
Perkenalan berlanjut ke arah yang lebih intim, pacaran. Dia memanggilku Prince Abimanyu, aku memanggilnya Princess Kemangi. Klop sudah perpaduan kami, bagai Romeo-Juliet yang tidak bisa dipisahkan. Setiap menelepon, dia menghindari VC, video call. Alasannya belum mukhrim. Aku pun maklum. Tidak banyak menuntut kehadiran nyatanya. Ya, aku terhibur dan mungkin terlena dengan suntikan dana di setiap bulannya dari dia. Aku bisa beli apa saja yang aku mau. Bisa bantu Ibu belanja dan sesekali memberikan kado ke adik perempuanku.
Bulan berganti, tahun pun baru. Tibalah saatnya dia dan aku bertemu. Aku menjanjikan sebuah pernikahan kepadanya saat dia pulang setelah masa kontrak kerjanya selesai di Hong Kong. Dia melarangku menjemput di bandara. Aku pun menerimanya dengan ikhlas dan lapang jiwa.
”Prince…, kamu sudah janji menikahiku, kan? Menerimaku apa adanya? Tidak akan kecewa?” Tiba-tiba nada suara dalam telepon itu berubah seperti dengung lebah yang tidak kebagian sari bunga. Aku tetap berbaik sangka, menghibur diri dengan berpikiran dia pun pasti grogi dan malu.
”Ya, aku janji. Pantang sebagai seorang pangeran mengingkari janjinya. Kita bertemu di mana untuk menentukan tanggal pernikahan, Princess?” tanyaku menggebu. Dada menandakan gejolak asmara yang kian membuncah. Bagaimana tidak? Pertemuan yang kunantikan sebentar lagi terwujud, hati siapa yang tidak senang? Aku mencukur rambut, kumis, dan jenggot. Menyiapkan baju terbaik, aroma tubuh yang wangi dan bersepatu. Cool dan keren, kata adikku. Aku tersipu.
”Baiklah. Kita bertemu di pertengahan kota. Alun-alun Malang, bagaimana? Di sana juga ada Ramayana, bisa sekalian belanja baju lebaran…” Katanya membuat janji bertemu. Aku pun girang, bagai mendapat seloyang brownies pisang favorit.
”Boleh… Bisa, bisa. Sampai bertemu, ya Princess? Hati-hati di jalan.” Aku bergegas menyiapkan scoopy merah, merapal doa dan berangkat. Aku tidak ingin ia menunggu lama. Ya, kami tinggal dalam satu kabupaten beda kota. Dia di Gondanglegi, aku di Gondowangi.
Aku tiba di AM, Alun-alun Malang dengan keyakinan aku tiba duluan. Ingin menunggunya, mengenali wajah ayunya dan memeluknya. Aku sudah membeli bunga mawar merah muda di pertigaan jalan tadi. Harapanku, dia tidak kecewa dengan penampilan dan perlakuanku.
”Prince… Aku di sini.” Seorang wanita melambai ke arahku dengan memanggil Prince. Wajahku merah padam seketika. Benarkah dia Princess Kemangi-ku atau hanya ajudannya yang bertugas memanggilku? Ragu-ragu aku mendekat ke arahnya. Dia tersenyum, ah tidak, dia meringis. Memperlihatkan gigi tonggosnya yang tidak beraturan.
”Mbak memanggil saya?” tanyaku dengan menjaga jarak. Aku bersikap waspada.
”Ya, saya Princess Kemangi kekasihmu…” Dia mengulurkan tangan, bersalaman. Aku mematung. Bungaku jatuh berantakan. Ia mengambilnya.
”Wah, harum sekali. Terima kasih, Prince…” Dia mengendus-endus bunga itu bagai kucing menemukan ikan asin yang gurih. Aku masih kaku, haruskah aku memeluknya? Dia, dia, diaaa… Bagai monster yang siap menerkam mangsanya. Wajahnya jauh dari PP, foto yang setiap saat diberikan padaku. Ya, Tuhaan… Aku tertipu. Dia berkulit legam, tonggos, dan pendek. Bukan semampai nan ramping. Aku harus bagaimana ini? Lariii? Tidaaakk, aku harus gentle.
”Ja, jadi… Benar kamu Princess Kemangi? Bukan tetangganya atau saudaranya yang ia suruh untuk menemuiku?” tanyaku sambil menahan kesal di dada. Meredam kepala bahwa yang aku hadapi bukanlah mimpi.
”Ya, aku memang princess hatimu, Kanda. Kamu sudah berjanji menikahiku, menerimaku apa adanya. Kamu tidak akan ingkar janji, pantang bagimu, kan?” Aku tersedak ludahku sendiri.
”Tapi, kamu menipuku, Mbak? Kamu memberikan wajah dan tubuh palsu padaku. Ini tidak adil. Aku mau kita putus, titik. Aku akan kembalikan semua uang dan apa pun darimu. Aku tidak bisa dikelabui begini. Aku masih punya harga diri, Mbak. Kamu harus jujur pada diri sendiri sebelum membohongi orang lain sepertiku.” Emosiku membara, tidak peduli seisi taman kota memandang hina atau prihatin padaku. Kemangi tampak terkejut. Matanya berkaca-kaca.
”Kalau aku tidak bohong, mana mungkin pria tampan nan gagah sepertimu mau denganku yang buruk rupa begini. Terbukti, kan? Kalau kamu tidak menyukaiku.” Dia mencoba menarik simpatiku. Berharap aku akan tetap menikah dengannya dan hidup bahagia di Gondanglegi, rumahnya yang sudah bak istana para menteri.
”Kamu belum mencobanya, kan? Banyak pria yang mencintai gadisnya bukan melihat dari parasnya. Mereka melihat kebeningan hatinya. Kalau dirimu tidak menghargai dirimu sendiri, bagaimana kami bisa menghargaimu? Kepalsuan itu dosa, Mbak. Meski aku minim agama, setidaknya masih menghargai mahkota wanita karena aku punya ibu dan adik perempuan yang sangat aku sayangi.” Dia menunduk, memohon maaf dengan memegang kakiku.
”Lalu, kamu mencintaiku karena apa? Karena uang? Atau, karena wajah dan tubuhku yang sempurna?” Dia mencoba bangkit dari jongkoknya.
”Aku mencintai seorang wanita dari hati, wajah dan perilakunya, Mbak. Aku melihat kamu cantik hati dan rupa pun dermawan. Ah, ternyata itu palsu. Kecewalah aku… Apakah kamu tidak akan kecewa bila aku sama buruk rupanya denganmu! Aku mencintaimu bukan bandamu, namun kamu menodai kepercayaanku dengan dusta. Ini yang aku tidak bisa terima, Mbak.” Aku bersikukuh untuk putus, atau setidaknya minta waktu untuk mendinginkan hati dan kepalaku.
”Baiklah… Maafkan atas kepalsuan dan kebohongan ini, Mas. Ternyata kamu sungguh baik, tidak memanfaatkanku yang bekerja di luar negeri. Banyak pria yang bilang cinta dan suka padaku hanya karena melihatku kaya. Dulu begitu, sekarang pun sama. Maka, aku pun menyamarkan wajah asliku demi melihat kesungguhanmu. Kalau kamu ingin mengembalikan uang yang telah kuberikan kepadamu langsung transfer saja ke rekening biasanya. Seikhlasmu saja, Mas. Aku tidak memaksa, aku ikhlas.” Dia pamit pergi, membawa lukanya yang sama perih denganku.
Sampai saat ini, tiga bulan setelah kejadian itu, aku masih memikirkannya. Sudahkah dia menikah atau kembali ke Hong Kong? Aku juga mentransfer uangnya dari gajiku di setiap bulannya. Tidak ada dari kami yang berkeinginan untuk menelepon atau SMS, juga wasap, menanyakan kabar.
Kubiarkan kebekuan cintaku mencair sendiri. Bila suatu saat, suatu hari dia memang jodohku, insyaAllah aku ikhlas. Aduuh… Ternyata nomor dan akunku sudah diblokir. Semoga dirimu bahagia, princess. Aku tetap mengingat kebaikanmu. Selalu…
[Dikisahkan Prince Abimanyu Wardhana kepada Anna Ilham – ]