April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[CURHAT] IBUKU SEORANG ”GHARIM”

5 min read

Namaku Raslina, tahun ini umurku genap 28 tahun. Di Hong Kong hampir enam tahun. Di awal kisah, mungkin nasibku sama seperti pekerja migran Indonesia lain yang merantau ke sini, mengais dolar demi keluarga. Aku bersyukur di rantau ini dianugerahi majikan yang lumayan baik, meski di awal kontrak gajiku underpaid. Saat itu aku berpikir, ”Mungkin wajar bagiku yang baru menginjakkan kaki di Negeri Jacky Chan, mendapatkan gaji pas-pasan.”

Tahun demi tahun kulalui dengan sabar dan tabah demi membantu Ibu yang terlilit utang rentenir. Seluruh hasil kerja selalu kukirim. Hanya kusisakan sebagian buat jajan dan komunikasi. Dalam hati hanya ingin Ibu segera lepas dari jeratan utang yang menumpuk. Sempat aku tersenyum bahagia mendengar utang beliau sudah hampir lunas. Aku merasa bangga bisa melakukan sesuatu buat keluarga, Ibu, Bapak dan ketiga adikku.

Kontrak pertama berakhir. Aku ingin mencari majikan baru. Setidaknya dengan gaji besar, gaji yang distandarkan Pemerintah Hong Kong buat pramuwisma asing. Dengan gaji besar, setidaknya besar pula nominal uang yang kukirim ke rumah. Otomatis dengan cepat pula utang Ibu habis dan aku tak usah menambah kontrak atau cari majikan. Segera berkumpul dengan keluarga setelah beberapa tahun tak bersua.

Kembali aku mendapat majikan yang baik, meski harus libur satu kali dalam sebulan. ”Aku ikhlas menjalaninya, yang penting gaji penuh,” batinku kala itu. Enam bulan terlalui dengan lancar, walau harus beradaptasi lagi. Izin pulang pun kudapat di bulan ketujuh tahun itu pula. Kebetulan, adik ketigaku khitan. Jadi, kepulanganku adalah kepulangan yang ditunggu dan direncanakan.

Namun, hanya kegetiran yang kudapat di masa-masa cuti. Tiap hari aku selalu disambut tamu yang menagih utang kepada Ibu. Uang yang tak seberapa, ludes seketika. Jalan-jalan ke rumah teman atau ke taman kota pun terpaksa kubatalkan demi menghindari cacian dari sang rentenir. Aku kaget dan kecewa dengan keadaan ini. Diri ini merasa dibohongi ibu sendiri. Beliau bilang, uang kirimanku dibuat nyaur, tapi kok utangnya bertambah. Astaghfirullahhaladzim…

”Uangmu buat keperluan adik-adikmu.” Jawaban yang kurang masuk akal. Padahal adikku juga mendapat jatah dari Bapak. Sempat nunggak pula SPP-nya. Lalu, dikemanakan uang-uang itu? Sampai detik ini pertanyaan itu tiada berjawab. Yang ada ancaman bunuh diri dari Ibu bila tidak mengirim uang buatnya.

Aku memang tak ingin menambah suasana makin kacau. Malu sama tetangga bila sampai bentrok dengan Ibu. Namanya saja suasana kampung. Apalagi, saat ini di rumah lagi punya hajat. Jadi harus jaga hati, sikap, dan uang tentunya. Maklumlah…tetangga tahunya orang yang dari luar negeri itu uangnya banyak, diambil sedikit gak masalah kan?

Dalam pengajian, dalam kisah, juga dalam lagu, ibu harus dihormati karena surga berada di telapak kaki ibu. Bahkan, sabda Nabi Muhammad saw juga menguatkan pepatah itu. ”Berbaktilah kepada ibumu, ibumu, ibumu dan ayahmu…” (HR. Bukhori dan Muslim)

Aku bersabar menghadapi ibu yang suka berutang seperti ini. Menganggapnya ujian dari-Nya untukku. Namun, terkadang hati ini merasa tidak tahan menanggung derita yang tiada berujung. Doa selalu terpanjat, agar Ibu selalu dianugerahi cahaya iman dan hidayah Islam. ”Mungkin belum waktunya saja.” Hiburku setiap hari dan di setiap selesai shalat.

Memang, ibuku tidak menganut Islam sejak lahir. Setelah menikah dengan Bapak saja beliau mengikrarkan diri menjadi muslimah. Hari-hari yang beliau lalui juga tidak seterang pikiran Bapak yang ingin melihat Ibu beribadah kepada Allah swt. Entah itu shalat, puasa, dan zakat. Ibu merespons anjuran Bapak hanya dengan kata ”kapan-kapan”, ”sekarang belum siap”.

Dengan sabar Bapak membimbing Ibu. Tapi selalu dibantah dan tak dihiraukan. Beliau malah senang dengan tradisi kejawen yang percaya pasaran hari (kliwon, wage, pon, pahing, legi) untuk melakukan sesuatu demi menghindari pantangan yang dilarang. Mungkin kebiasaan lama yang sudah mendarah daging, jadi sulit mengajak beliau ke jalan yang diridhai Allah swt. Tapi aku dan Bapak tak patah arang.

Menasihati atau mengingatkan Ibu sama saja dengan membuka sejarah Perang Dunia II. Aku berusaha hati-hati dalam setiap kalimat agar beliau tak tersinggung. Namun, apa daya, yang kudapat hanya cacian dan kalimat menyudutkan. Aku dibilang anak durhakalah, tak tahu diuntung, dan seterusnya.

Hingga adik keduaku menikah, sikap dan sifatnya tak berubah. Malah bertambah parah. Di mana ada peluang untuk melipatgandakan uang, pasti didatanginya. Ini terjadi setelah aku tidak lagi mengirim uang ke rekening beliau. Aku hanya kirim ke rekening adik tertua, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adik-adikku yang lain.

Walau begitu, aku masih menyisakan untuk beliau. Urusan bayar-membayar utang Ibu yang lampau, kuserahkan kepada adik. Alhamdulillah…di tahun ini bisa terlunasi, meski aku belum tahu pasti masih ada utang atau tidak pada orang yang lain. Aku hanya bisa berdoa dan berharap ada perubahan pada Ibu. Berubah menjadi ibu yang sabar, lemah lembut dan menyayangi keluarga. Terutama Bapak, demi anak-anaknya beliau rela menahan amarah.

Aku akui, Bapak itu pendiam dan sangat sabar. Sabar menghadapi Ibu yang cepat emosi, dan sabar ketika melihat Ibu ingin mengakhiri hidup di kala stres melanda. Bayangkan! Menyadarkan seorang istri seperti Ibu. Aku saja tak kuat menahan beban itu, hingga kuputuskan menjauh dari beliau dengan jalan merantau ke mana saja. Ya, sebelum ke Hong Kong, aku sudah pernah hidup di Jakarta, Surabaya, dan Malang. Namun, menghindar bukanlah langkah tepat. Masalah Ibu butuh solusi. Kalau bukan keluarganya yang peduli, siapa lagi? Kalau tidak segera diselesaikan, kapan lagi? Iya, kalau umur kita masih bisa diperpanjang, kalau tidak?

Tekadku makin membara. Bisa tidak bisa Ibu harus sadar dan bebas utang. Karena, menurut agama, meninggal dalam kondisi masih punya utang tidaklah baik, juga menurut ilmu pengetahuan. Dari segi agama, pahala ibadah kita terpotong. Dari segi ilmu, terutama ilmu kemasyarakatan, kita mendapat caci maki dari handai taulan. Meski dianjurkan memaafkan dan menghalalkan buat si mayit, tapi jika yang meminjami itu tidak ikhlas, rugilah kita. Timbangan amal kita berkurang. Wallahualam…

Oh…Bapak, betapa mulia hatimu. Demi anak-anaknya beliau tetap bertahan dan menghindari perceraian, hal yang halal tapi dibenci Allah swt. Nasihat Bapak yang selalu kupegang dan mampu meredam emosi karena memikirkan sifat Ibu adalah sabar dan tawakal. ”Sabarlah, ndhuk! Ini ujian bagi kita. Orang sabar itu dikasihi Gusti Allah.” Begitu pesan singkat yang bermuatan ibadah dari Bapak terkasihku.

Ya, aku harus sabar dan hati-hati bekerja di negeri orang. Semoga dengan kesabaran, hati keras Ibu melunak dan kembali ke jalan yang diridhai Allah swt. Amin. Aku ingin seperti Bapak yang selalu sabar dan tenang menghadapi Ibu yang suka menghambur-hamburkan uang dan menyakiti hatinya. Hal itu tertanam dalam hati hingga saat ini.

Setiap tahun, Ibu masih mendapat zakat dari masjid desa, karena Ibu dikenal sebagai gharim, orang yang utangnya banyak. Semoga saat aku siap tinggal di rumah, Ibu sudah tidak disebut gharim lagi. Aamiin. Dan, di hari itu pula aku akan percaya bila surga benar berada di telapak kaki ibu, terutama di kaki ibuku. [Dituturkan Raslina kepada Anna Ilham – Apakabar Plus]

Advertisement
Advertisement