Dan Malaikatpun Malu Kepadanya
Saat itu Rasulullah sedang duduk bersama Siti Aisyah, di tengah perbincangan beliau dengan istrinya, datanglah sahabat Abu Bakar, namun Rasulullah tidak merubah posisi duduknya yang santai. Begitu pun saat Umar bin Khattab datang. Namun, saat Usman bin Affan datang, Rasulullah bergegas untuk merapikan duduk dan pakaianya. Hal tersebut membuat Aisyah bertanya, mengapa Rasulullah melakukan hal tersebut ketika Usman datang. Beliau pun menjawab bahwa Usman itu sangat pemalu dan sangat lembut, malaikat pun malu kepadanya.
“Tidakkah aku malu pada orang yang malaikat pun malu kepadanya?” (HR. Muslim) Begitulah perlakuan istimewa Rasulullah kepada Usman, sahabat yang pemalu dan lembut sikapnya. Ditengah fitnah yang melanda kepemimpinanya, dia adalah salah satu sahabat yang tidak ingin orang lain merasakan apa yang dirasakanya. Saat itu Usman menyuruh sahabat-sahabatnya yang lain, hingga ia dibunuh oleh musuh.
Tidak kah kita lihat kelembutan hati Usman, saat itu musim paceklik di Madinah, dimana susah mendapatkan makanan. Saat itu ada saudagar kaya yang ingin membeli daganganya dengan harga berkali-kali lipat. Namun Usman menolak, dengan tegas mengatakan, bahwa ia telah berdagang kepada Allah, Allah akan membalasnya lebih dari apa pun. Maka saat itu Usman pun lebih memilih untuk membagi-bagikan dagangannya kepada masyarakat di Madinah
Lalu bagaimana dengan kita hari ini, seseorang tega membunuh nyawa seseorang karena ingin mendapatkan harta. Pemimpin berani merampas hak rakyatnya karena ingin kaya raya. Masih banyak lagi penyakit sosial di masyarakat yang bersebab dari terkikisnya nilai moral. Sejenak kita belajar dari sosok Usman, beliau malu bukan karena tak berilmu, beliau penghafal Al-Quran dan pemimpin yang besar, malu bersikap kasar, malu kalau marah, malu menyakiti orang lain, malu tidak sholat. Beliau malu bermaksiat, malu saat statusnya sebagai hamba namun tidak taat.
Maka pantaslah malaikat malu kepada Utsman, sebab akhlaknya begitu mulia, sifat malu menjadi ciri khasnya. Utsman memberikan pengajaran bagi kita, bahwa malu menjadi benteng besar dalam diri manusia, untuk menghalanginya dari perbuatan yang melanggar syariat Islam. Itulah mengapa malu bagian dari iman.
Kita harus belajar bagaimana Usman memelihara sifat malunya, dengan begitu setidaknya kita bisa lebih tenang dalam menghadapi gejolak kehidupan. Rasa malu seperti alarm yang akan mengingatkan akal dan nurani seketika ingin berbuat mungkar. Menjadi pengawal yang akan menghalangi langkah untuk mengikuti hawa nafsu. Rasa malu pula yang akan menentukan seperti apa kualitas iman kita kepada Pencipta.
“Dan rasa malu merupakan satu bagian penting dari keimanan” (HR. Muttafaq Alaihi)
Ketika kita berbuat mungkar, sejatinya kita telah kehilangan rasa malu, dalam arti lain telah kehilangan bagian penting dari keimanan.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Laa ilaaha illahllaah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan, malu adalah salah satu cabang Iman.“ (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibarat sebuah pohon, rasa malu adalah bagian dari ranting-rantingnya, maka saat ranting itu telah patang, sebuah pohon tidak akan terlihat sempurna. Begitu halnya dengan manusia, nilainya sebagai manusia akan berkurang seiring dengan rasa malu yang telah hilang.
Rasa malu adalah sifat fundamental manusia, dan Islam sangat memuliakan orang-orang yang memiliki rasa malu terhadap-Nya, malu tidak menjalankan perintahnya, dan malu jika harus lalai dan berbuat dosa. “Sesungghnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu” (HR.Ibnu Madjah).
Dewasa ini, budaya malu di negeri ini perlahan mengikis, entah itu seorang muslim, banyak diantara kita yang terang-terangan membuka aurat tanpa rasa malu, melakukan korupsi tanpa malu saudara-saudaranya sedang haus dan kelaparan. “Bukan termasuk orang-orang yang percaya kepadaku, orang yang makan kenyang sedangkan tetangga disampingnya kelaparan dan ia mengetahui hal tersebut” (HR. Bukhari).
Mari kita belajar dari Usman, sahabat yang pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Sama-sama kita memupuk rasa malu dalam diri untuk menyuburkan iman kepada Allah, dengan begitu akan lahir banyak kebaikan dan mengundang limpahan keberkahan. Jika rasa malu kita buang, maka silahkan saja berbuat kemaksiatan sekehendak kita, tapi ingatlah, setiap kejahatan, meski sekecil biji sawi akan dihisab. [ Gigi Suroso, S.Pd.I.]
* Penulis adalah Alumni LPM Dinamika UIN SU