Derita Masyarakat Kelas Menengah Kebawah yang Tak Terlindungi dan Rentan Jatuh Miskin
JAKARTA – Daya beli masyarakat semakin lesu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga di kuartal IV-2023 hanya tumbuh 4,47% secara tahunan atau year on year (yoy), turun dari kuartal sebelumnya yang sebesar 5,06%. Merosotnya konsumsi rumah tangga ini pun lantas menyebabkan perekonomian Indonesia pada kuartal hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% pada periode yang sama, sedikit lebih tinggi dari proyeksi pemerintah yang sebesar 5%.
“Melemahnya konsumsi rumah tangga kalau diperhatikan dari data yang kami catat, terutama berasal dari perlambatan pengeluaran kelompok menengah atas,” jelas Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, dalam rilis BPS, Senin (26/2/2024) lalu.
Hal ini tercermin dari melambatnya realisasi pajak penjualan barang mewah (PPnBM), merosotnya jumlah penumpang angkutan udara, dan penjualan mobil penumpang.
Selain itu kenaikan konsumsi dari kelompok masyarakat berpenghasilan menengah-rendah terbatas, di tengah terkereknya belanja sosial dan politik menjelang pemilihan umum (pemilu). Dengan ketidakstabilan geopolitik global hingga dampak El Nino yang membuat harga banyak bahan pangan pokok melambung, peneliti dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menilai, turunnya laju konsumsi rumah tangga lebih banyak disumbang oleh melempemnya konsumsi masyarakat dari golongan menengah ke bawah.
“Masalah utamanya adalah daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah yang tergerus karena faktor naiknya inflasi harga bergejolak,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (29/2).
Kata Riefky, faktor yang menyebabkan konsumsi rumah tangga tumbuh di angka 4,47% di akhir tahun kemarin atau 4,8% di sepanjang 2023 adalah karena pemerintah masih menggulirkan bantuan sosial (bansos) pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Namun, bansos dinilai hanya menumbuhkan konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin saja, namun tidak dengan masyarakat kelas menengah.
Rentan miskin
Nyatanya, masyarakat dari kelompok ini hanya bisa mengandalkan tabungan yang disisihkan dari sebagian pendapatan mereka. Fenomena ini tercermin dari Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Desember 2023 yang menunjukkan kelompok pendapatan bawah dengan pengeluaran Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan, baik untuk konsumsi, pembayaran cicilan atau utang, maupun proporsi tabungan mencatatkan penurunan.
Rinciannya, pada Desember 2023, rata-rata proporsi konsumsi kelompok penghasilan ini hanya sebesar 75,2%, turun 60 basis poin (bps) dari posisi November. Sedangkan porsi untuk pembayaran cicilan atau utang sebesar 8,2%, turun 20 bps dan proporsi untuk simpanan atau tabungan 16,7%, naik 90 bps.
Sementara untuk konsumen berpendapatan Rp2,1 juta hingga Rp3 juta per bulan, rata-rata konsumsinya turun 120 bps ke 76,3%. Lalu proporsi pembayaran cicilan atau utang stabil dari bulan sebelumnya di 9,1% dan porsi untuk simpanan turun 110 bps ke 14,6%.
“Konsumsi rumah tangga yang menurun dan berkurangnya konsumsi serta tabungan masyarakat kelas menengah menunjukkan kalau kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” nilai Riefky.
Jika terus dibiarkan, Social Policy Officer The Prakarsa Darmawan Prasetya khawatir, kelompok masyarakat menengah bakal terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Dus, jumlah penduduk miskin di Indonesia pun terancam melonjak.
Bank Dunia dalam laporan yang bertajuk Aspiring Indonesia – Expanding the Middle Class menyebutkan, ada 114,7 juta orang yang menuju kelas menengah dan 61,6 juta orang termasuk kategori kelompok rentan. Dalam klasifikasi ini, Bank Dunia mendefinisikan penduduk rentan sebagai kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp354.000 hingga Rp532.000 per orang per bulan, sedangkan kelompok menuju kelas menengah Rp532.000 hingga Rp1,2 juta per orang per bulan.
Darmawan bilang, rentannya masyarakat kelompok menengah menjadi miskin disebabkan oleh nihilnya perlindungan dari pemerintah di tengah kondisi ekonomi global dan domestik yang sulit. Sebaliknya, bantuan dari pemerintah, yang sering kali digelontorkan dengan sebutan bansos hanya menyasar masyarakat miskin dan miskin ekstrem.
“Bansos kita kalau dilihat secara tesktur dan postur itu sebenarnya menargetkan kategori masyarakat yang masih miskin, miskin ekstrem atau miskin. Artinya, belum menyasar kelompok rentan yang sifatnya menyeluruh, katakanlah ke kelompok lansia atau disabilitas,” ungkapnyadinukil dari Alinea.id, Kamis (29/2/2024).
Peneliti ekonomi yang karib disapa Awan itu menggolongkan kelompok disabilitas dan lansia ke dalam kelompok masyarakat rentan miskin karena keduanya seringkali belum bisa mandiri secara ekonomi. Meski kadang orang dengan disabilitas dan lansia memiliki keluarga yang berkecukupan, namun kebutuhan mereka jauh lebih besar dibanding orang nondisabilitas ataupun orang-orang muda yang masih produktif dan aktif bekerja.
Tidak hanya itu, seiring dengan berkembangnya bisnis layanan ride hailing atau jasa transportasi daring, banyak pula masyarakat yang hanya bisa menggantungkan hidupnya dengan menjadi pengojek online. Meski pengeluaran pengojek daring bisa mencapai lebih dari Rp700.000 per bulan, namun orang dengan profesi ini sangat rentan jatuh miskin apabila terkena goncangan, misalnya saat mengalami kecelakaan.
“Nah, kelompok rentan ini masih belum banyak disasar oleh bansos kita. Kalau nanti dana bansos dialokasikan atau direalokasikan untuk kebijakan populis lainnya, seperti makan siang gratis, yang ditakutkan adalah akan mengurangi masyarakat yang justru membutuhkan sekali,” ujar Awan, menyinggung kemungkinan realokasi dana bansos untuk penerapan program makan siang gratis yang bakal dilaksanakan tahun 2025.
Karenanya, untuk menjaga agar masyarakat menengah tidak rentan jatuh miskin, dia menyarankan agar pemerintah dapat menambah kuota dan kategori penerima bansos. Dalam hal ini, pemerintah perlu memasukan masyarakat kelas menengah ‘calon miskin’ yang memiliki penghasilan hanya sejengkal dari masyarakat miskin sebagai penerima bansos.
“Kategorinya jangan cuma masyarakat miskin dan miskin ekstrem, tapi juga rentan. Artinya mereka yang tidak miskin, tapi ketika terjadi goncangan, entah dipecat, kecelakaan dan sakit, itu mereka menjadi miskin, seperti pekerja ojol (ojek online),” ujarnya.
Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu memperkuat jaminan sosial bagi kelas menengah ke bawah. Dengan pemberian bansos dan juga diikuti penguatan jaminan sosial, Awan menilai, pemerintah bisa mengentaskan masyarakat rentan yang berada di ambang garis kemiskinan.
“Artinya mereka bisa secure, kalau ada pemecatan, jadi mereka enggak takut. Ini menjadi catatan, untuk meningkatkan kelas dari rentan ke menengah yang betul-betul kelas menengah,” imbuh Awan. []