Perlindungan PMI ABK Terancam oleh Uji Materi UU 18/2017?
JAKARTA – Pelaut migran adalah pekerja migran di Indonesia yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Profesi tersebut mutlak harus mendapatkan perlindungan seperti halnya para pekerja migran lain yang ada di Indonesia.
Argumentasi tersebut diungkapkan Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) saat menyampaikan keterangan secara langsung di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada persidangan uji materi dengan nomor perkara 127/PUU-XXI/2023.
Persidangan tersebut digelar pada 6 Februari 2024 saat TAPMI sudah berstatus sebagai “Pihak Terkait”. Pada momen itu, TAPMI menegaskan bahwa “Pemohon” tidak memiliki kerugian konstitusional atas keberadaan norma Pasal 4 ayat 1 huruf c UU No.18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Keterangan itu disampaikan oleh Kuasa Hukum TAPMI Matthew Michele Lenggu. Dia mengatakan, ketentuan pasal terkait sebenarnya justru telah memberikan kedudukan dan kepastian hukum yang jelas bagi awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran sebagai pekerja migran Indonesia.
Menurut TAPMI, ketentuan pasal 4 ayat 1 huruf c dinilai sudah memberikan kejelasan norma dan lingkup pelindungan bagi pelaut migran Indonesia, baik pelaut yang bekerja di kapal niaga ataupun di kapal perikanan berbendera asing di luar negeri.
Tetapi, semua itu berjalan penuh dengan kontrol dan pengawasan menyeluruh dari Pemerintah pada proses bisnis perekrutan dan penempatan dengan melibatkan pemerintah pusat, perwakilan pemerintah di luar negeri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah desa.
“Kami berpendapat bahwa ketentuan pasal tersebut sejalan dengan ketentuan UUD 1945,” jelasnya.
Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan bahwa uji materi yang diajukan para “Pemohon” telah keliru dalam menafsirkan definisi pekerja migran dan pelaut yang diatur dalam pasal 2 Konvensi Internasional tentang perlindungan hak semua buruh migran (ICRMW).
Ketentuan ICRMW kemudian diratifikasi oleh Indonesia ke dalam UU No.6/2012 tentang Pengesahan International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi International Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya).
Kekeliruan dari “Pemohon” dijelaskan oleh TAPMI dan sekaligus meluruskan bahwa dalam hukum internasional, awak kapal niaga dan perikanan migran yang bekerja di kapal ikan berbendera asing di luar negeri juga dikategorikan sebagai pekerja migran.
Pasal 2 ayat 1 ICRMW mendefinisikan pekerja migran sebagai seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan aktifitas yang dibayar di suatu negara, di mana ia bukan merupakan warga negara. Lalu, Pasal 2 (c) ICRMW menyebutkan, ”the term ‘seafarer‘, which includes a fisherman, refers to a migrant worker employed on board a vessel registered in a state of which he or she is not a national”.
Terjemahan untuk terminologi tersebut dalam bahasa Indonesia, adalah “istilah “pelaut” yang mencakup nelayan, mengacu pada seorang pekerja migran yang dipekerjakan di atas kapal yang terdaftar di suatu negara yang ia bukan merupakan warga negaranya”.
Berdasarkan definisi di atas, pelaut, termasuk awak kapal perikanan, jelas dimasukkan sebagai bagian pekerja migran.
Tak hanya keliru di atas, TAPMI juga menilai kalau “Pemohon” keliru menafsirkan terminologi pengecualian pada pasal 2 huruf f ICRMW yang bahwa “Konvensi ini tidak berlaku bagi: pelaut dan pekerja pada suatu instalasi lepas pantai yang belum memperoleh izin tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja”.
Itu berarti, “Pemohon” menyimpulkan bahwa norma-norma pelindungan dalam ICRMW hanya berlaku bagi pelaut yang sudah memperoleh izin tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja. Sementara, bagi yang belum mendapatkan izin dan tidak dibayar, itu tidak berlaku.
Sementara, TAPMI menilai bahwa pasal 3 huruf f ICRMW tidak mengeluarkan atau menggugurkan pelaut migran sebagai pekerja migran sebagaimana yang telah ditegaskan dan dimaksudkan pada Pasal 2 (c) dari konvensi tersebut.
Oleh karena itu, TAPMI menyimpulkan kalau memahami kerangka dan substansi sebuah perundang-undangan dari suatu konvensi sangatlah penting. Proses pemahaman tersebut harus dilakukan secara komprehensif dan tidak parsial.
Memadukan semua pandangan dan penilaian, TAPMI memohon kepada MK untuk menolak permohonan “Pemohon” terhadap Pasal 4 ayat 1 huruf c UU No.18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Penolakan tersebut sangat penting untuk membangun landasan normatif konstitusional, sekaligus penegasan yang konklusif bahwa norma dari pasal yang disengketakan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Justru, pasal yang disengketakan sudah turut memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh, adil dan tidak diskriminatif bagi seluruh pekerja migran Indonesia. Termasuk, bagi pelaut niaga migran dan pelaut perikanan migran Indonesia.
Pada pertengahan Januari 2024, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang ikut bergabung ke dalam TAPMI, bersama enam serikat dan tiga lembaga swadaya masyarakat (NGO) melakukan audiensi dengan Kementerian Ketenagakerjaan RI.
Kegiatan tersebut dilakukan untuk menyamakan pandangan dengan Pemerintah dalam upaya mempertahankan Pasal 4 ayat 1 huruf c UU No.18/2017. Uji materi pada pasal tersebut, dinilai bisa membahayakan awak kapal niaga dan perikanan, karena mereka tidak lagi bisa mendapatkan jaminan perlindungan yang komprehensif sebagai pekerja migran Indonesia.
Permohonan uji materi tersebut, pada dasarnya bertujuan untuk mengecualikan awak kapal niaga dan awak kapal perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing sebagai pekerja migran. Jika MK mengabulkan permohonan tersebut, maka nasib awak kapal niaga dan perikanan akan semakin terpuruk.
Hendri Wijaya, perwakilan Tim Advokasi Ketenagakerjaan Kemnaker RI menyebutkan bahwa UU No.18/2017 diterbitkan sebagai bentuk pelindungan untuk para pelaut yang bekerja di kapal berbendera asing, yang mulanya sangat disingkirkan dari regulasi yang lama.
Dia menyebut, UU No.18/2017 beserta Peraturan Pemerintah No.22/2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran merupakan mandat yang dirumuskan langsung ke Kementerian Ketenagakerjaan, tanpa ada tujuan tersembunyi.
Sementara, Direktur Bina Penempatan PMI (P2PMI) Kemnaker RI Rendra Setiawan mengungkapkan kalau pengaturan dalam UU No.18/2017 hanya mengatur berkaitan dengan teknis perlindungan pekerja, bukan membawahi semua pengaturan teknis dokumen, perizinan, dan penempatan.
“Dalam hal ini, perlu kami tegaskan bahwa Kemnaker bukan lembaga pelayanan teknis PMI,” terangnya.
Menurut dia, Kemnaker tidak mempunyai mandat untuk dapat mengambil semua kewenangan terkait penempatan pekerja migran. Akan tetapi, Kemnaker berperan sebagai lembaga pelayanan ketenagakerjaan, dalam hal ini terkait pelindungannya.
Tentang ketatnya proses yang harus dijalani calon pegawai migran Indonesia (CPMI) di luar negeri, Hendri mengatakan kalau itu bertujuan agar pekerja pelaut bisa mendapatkan keamanan dan keselamatan saat berada di negara penempatan. Juga, agar tidak ada upaya penempatan asal-asalan di negara penempatan.
“Itu dasar filosofis kami menyusun regulasi ini,” tuturnya.
Ketua SBMI Hariyanto Suwarno mengapresiasi apa yang sudah ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia atas UU No.18/2017 dan UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dia menyebut itu sebagai sebuah sejarah yang harus dipertimbangkan oleh MK atas uji materi UU No.18/2017.
Sebagai bagian dari TAPMI, dia sepakat jika sejarah penerbitan UU No.18/2017 wajib menjadi bagian dari argumentasi Pemerintah atas uji materi. Kewajiban itu harus dilakukan, karena pasal 4 huruf c disiapkan dengan matang oleh tim perumus.
“Inilah hasil perjuangan kita semua telah lakukan. Bahkan pembahasan judul regulasi ini kita perdebatkan selama empat tahun lamanya,” jelas dia.
Dia menyebut kalau kepastian hukum perlindungan maksimal terhadap status awak kapal niaga dan awak kapal perikanan migran sebagai bagian dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi langkah advokasi yang panjang.
Walau UU No.39/2004 sudah menegaskan bahwa pelaut dikategorikan sebagai pekerja migran Indonesia, namun status hukumnya tetap tidak pasti, sampai UU No.18/2017 terbit. Ketidakpastian itu terjadi, karena tidak ada tindak lanjut melalui peraturan teknis.
TAPMI menegaskan bahwa pasal 4 ayat (1) huruf c yang mengkhususkan pelindungan pelaut migran harus tetap dipertahankan. Mengingat, jika mengacu pada UU No.17/2008 tentang Pelayaran, pelindungan tidak diberikan secara optimal kepada awak kapal niaga dan perikanan.
Hariyanto Suwarno mengatakan, kalau uji materi UU No.18/2017 dikabulkan, maka itu berarti menjadi sebuah kemunduran. Mengingat, pihaknya selama ini telah berjuang sangat panjang untuk kesejahteraan dan keselamatan pekerja migran Indonesia, termasuk pelaut dan nelayan migran.
Bahkan, untuk memasukkan pelaut migran ke dalam kategori pekerja migran saja, itu menjadi perjuangan selama bertahun-tahun. Itu dilakukan, agar ada jaminan kesejahteraan dan pelindungan serta posisinya setara dengan pekerja migran di sektor lain.
Diketahui, permohonan untuk menghapus pasal 4 ayat 1 huruf c UU 18/2017 dilakukan tiga pihak berbeda yang mewakili kelompok, perorangan, dan lembaga perekrut (manning agency). Ketiganya, adalah Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako, dan PT Mirana Nusantara Indonesia. Pengajuan tersebut dilakukan pada 23 Oktober 2023 lalu.
Permohonan itu dilakukan kepada MK, karena UU 18/2018 dinilai tidak menjadi solusi yang tepat bagi pelaut migran Indonesia (PMI). Klausul yang harus diperbaiki, karena ada yang bertentangan dengan regulasi lain.
Pasal 4 ayat (1) huruf c, yang mengatur bahwa pelaut awak kapal dan pelaut perikanan termasuk pekerja migran Indonesia. Ketetapan tersebut dinilai harus segera dicabut atau dihapus, karena bertentangan dengan UU Pelayaran.
Para pihak yang menjadi pemohon menuntut penghapusan, karena ada dampak yang akan timbul dan bisa mengakibatkan tidak bisa diterapkan jaminan perlindungan dan hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan. Mengingat, aturan tersebut sudah ada pada peraturan perundang-undangan kepelayaran.
Tetapi, penilaian dari para pemohon tersebut, dinilai tidak tepat oleh sembilan organisasi pelaut dan masyarakat sipil. Itu kenapa, kesembilan organisasi tersebut secara resmi mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait atas Pengujian Materiil UU 18/2017 pada Senin (20/11/2023).
Menurut Kuasa Hukum sembilan Organisasi Pelaut dan Masyarakat Sipil Jeanny Silvia Sari Sirait, permohonan menjadi Pihak Terkait secara resmi terdaftar dalam perkara dengan nomor: 127/PUU-XXI/2023.
Tentang klaim dari para pemohon uji materi UU No.18/2017, disebut oleh Jeanny tidak tepat. Hal itu, karena pihaknya menilai jika klausul yang dimaksud kemudian dihapus, maka itu akan merugikan para pekerja migran di sektor pelayaran. Baik itu kapal niaga atau kapal perikanan.
“Jadi sangat keliru bila pihak Pemohon menganggap UU PPMI merugikan Pelaut,” tegasnya.
Landasan yang dipakai untuk mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait, adalah pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu menyebut setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Kemudian, setiap orang juga berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Itu artinya, pekerja migran di sektor pelayaran tidak boleh dikecualikan, karena justru akan berdampak pada pelanggaran hak atas pekerjaan yang layak.
Atas pertimbangan tersebut, pihaknya memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk menerima dan mengabulkan permohonan sebagai Pihak Terkait untuk seluruhnya. Juga, memohon agar menolak permohonan judicial review yang diajukan oleh Para Pemohon.
Tentang UU Pelayaran yang menjadi perbandingan UU 17/2018, Sekretaris Jenderal SAKTI Syofyan menyebut kalau itu secara teknis dan praktis hanya mengatur tentang awak kapal berbendera Indonesia. Sementara, awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing tidak diatur.
Jadi, walau Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritim (MLC) pada 2006 dan ditegaskan melalui UU No.15/2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention, 2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, 2006), namun sampai saat ini belum ada aturan turunan yang dibuat khusus oleh Pemerintah Indonesia.
“Kita belum punya aturan turunan yang melindungi awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal asing, yang merujuk ke undang-undang itu,” ungkapnya.
Itu berarti, jika klausul penghapusan klausul pekerja migran benar-benar terjadi, maka pihak yang akan menerima dampak buruknya, tidak lain adalah pelaut Indonesia. Mereka akan bekerja tanpa payung hukum yang melindungi.
Jika status pekerja migran bagi awak kapal niaga dan pelaut perikanan dihilangkan dari UU No.18/2017, maka Peraturan Pemerintah (PP) No.22/2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran tidak berlaku lagi sebagai aturan turunan dari UU tersebut.
Tim TAPMI sendiri mulai menjadi “Pihak Terkait” dalam uji materi UU PPMI, setelah MK menetapkannya melalui rapat permusyawaratan hakim pada 10 Januari lalu. Ketetapan itu terdaftar dalam perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 [1] pada Senin (22/1/2024).
Ada sembilan perwakilan organisasi pelaut niaga, pelaut perikanan, dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam TAPMI. Selain Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), ada juga Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara (SAKTI Sulut).
Lalu, Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU), Pelaut Borneo Bersatu (PBB), Serikat Pelaut Bulukumba (SPB), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia. []
Sumber Mongabay