Dibalik Fenomena Cinta Pada Pandangan Pertama
JAKARTA – Kisah-kisahnya cenderung identik: dua orang asing saling bertatapan di ruangan yang ramai, dan seolah waktu berhenti. Ada perasaan aneh di perut, udara terasa bergetar, dan entah kenapa—mereka seolah tahu: “inilah dia.”
Cinta pada pandangan pertama sudah lama jadi bahan bakar kisah romantis, dari novel, film, sampai pasangan manis yang tak henti bergandengan tangan di pesta makan malam. Tapi benarkah cinta bisa datang secepat itu? Atau hanya ilusi yang diciptakan tubuh kita sendiri?
Secara sederhana, cinta pada pandangan pertama adalah pengalaman merasakan ketertarikan yang begitu kuat pada seseorang di detik pertama bertemu—tanpa proses panjang saling mengenal atau jatuh perlahan.
Banyak orang percaya pada momen semacam ini, namun pertanyaannya: apakah “getaran pertama” itu sungguh cinta, atau sekadar reaksi biologis yang salah tafsir?
Sebuah studi dalam Indian Journal of Endocrinology and Metabolism menyebut bahwa cinta pada pandangan pertama lebih tepat disebut sebagai “ketertarikan intens pada pandangan pertama.” Menurut psikolog klinis Kristen Roye (PsyD), yang sering meneliti hubungan antara emosi dan biokimia tubuh, rasa itu muncul karena ledakan hormon yang mendorong kita mencari kedekatan dan keintiman dengan orang yang menarik perhatian kita.
“Respons ini bisa muncul seketika dan mendorong kita untuk menjajaki hubungan lebih jauh—yang, tentu saja, bisa berkembang menjadi cinta sejati,” kata Roye seperti dikutip dari Very Well Mind, Selasa (28/10/2025).
Ketika seseorang merasakan daya tarik instan itu, tubuhnya membanjiri sistem saraf dengan dopamin, norepinefrin, dan kortisol—hormon-hormon yang memicu perasaan senang, semangat, dan sedikit gugup. Kombinasi ini bisa membuat seseorang merasa seolah baru saja menemukan “orang yang ditakdirkan.”
Namun, seperti percikan api, sensasi awal itu tak selalu bertahan lama. Cinta sejati menuntut sesuatu yang jauh lebih sulit: kerja sama, komitmen, komunikasi, serta keberanian untuk membangun kepercayaan dan rasa aman di segala level—emosional, mental, spiritual, bahkan fisik.
“Perasaan yang dialami pada momen ‘cinta pada pandangan pertama’ sering kali memudar seiring waktu,” kata Roye, “sementara keterikatan yang sejati, dalam hubungan yang sehat, justru tumbuh perlahan.”
Menurutnya, perkembangan cinta sejati bergantung pada banyak hal: kesiapan kedua pihak untuk membuka diri, gaya komunikasi, pola keterikatan emosional, dan juga latar budaya. Ada pasangan yang berhasil menumbuhkan hubungan mendalam dari percikan pertama itu.
“Jika hal itu terjadi, biasanya diikuti peningkatan suasana hati, rasa aman, serta komitmen yang lebih kuat dalam hubungan,” imbuh Roye.
Cinta pandangan pertama lazimnya bermula dari ketertarikan fisik. Tatapan mata jadi penentu. Saling pandang, sebelum bertukar sapaan. Namun, otak juga ternyata turut berperan menciptakan momen-momen romantis itu.
William A. Haseltine, profesor di Harvard Medical School, mengatakan keputusan untuk “menjajaki” cinta pada pandangan pertama tenyata dibuat di bagian otak di balik dahi dan di atas mata yang bernama dorsomedial prefrontal cortex (dmPFC).
“Riset neurosains terbaru menunjukkan bahwa area kecil di otak ini berperan besar dalam menilai daya tarik dan potensi pasangan romantis—bahkan sebelum kita benar-benar sadar sedang menilainya,” jelas Haseltine seperti dikutip dari Psychology Today.
Dalam studi speed-dating menggunakan pencitraan otak, menurut Haseltine, ilmuwan menemukan bahwa ketika seseorang melihat wajah calon pasangan, dmPFC langsung “menyala.” Area itu mulai memilah sinyal-sinyal halus dari ekspresi wajah, bahasa tubuh, hingga kesan kepribadian.
Satu bagian dari area ini, kata Haseltine, sibuk mencari tanda-tanda universal yang memicu ketertarikan, seperti wajah simetris atau ekspresi hangat. Sementara bagian lainnya memproses hal-hal yang lebih personal—gaya bicara, cara tertawa, atau sesuatu yang terasa “klik” tanpa alasan logis.
“Seolah-olah otak memiliki aplikasi pencocokan sendiri: algoritma yang memadukan selera umum dan preferensi pribadi untuk memberi kita firasat, siapa yang pantas didekati dan siapa yang sebaiknya dibiarkan lewat,” jelasnya.
Tipe masing-masing
Ketika kita melihat seseorang dengan wajah proporsional atau fitur yang dianggap “rata-rata”—dalam arti mendekati bentuk umum yang sering dijumpai—area otak yang terkait dengan rasa senang dan penghargaan ikut aktif. Otak, dengan caranya yang halus, seperti memberi dorongan kecil: “Ayo, coba kenalan!”
Namun, koneksi sejati tak berhenti di situ. Ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar simetri wajah. Kadang, justru tawa yang aneh, gaya berpakaian yang nyentrik, atau hobi yang sama membuat seseorang terasa istimewa.
Ketika itu terjadi, menurut Haseltine, bagian lain dari dmPFC—khususnya rostromedial prefrontal cortex—ikut bereaksi. Inilah area otak yang menangkap keunikan dan kompatibilitas personal, menandai momen ketika seseorang terasa “nyambung” dengan cara yang tak bisa dijelaskan oleh logika.
“Cinta, dalam konteks ini, bukan hanya soal kecantikan atau ketampanan universal. Ia juga hasil dari tumpang tindih antara biologi dan biografi—antara preferensi bawaan manusia dan pengalaman hidup yang membentuk selera kita masing-masing. Karena itu, setiap orang punya tipe yang berbeda, dan tak ada satu formula yang bisa menjelaskan semuanya,” ujar dia. []
