Ekonomi Singapura Terdampak Resesi Seks
HONG KONG – Fenomena “resesi seks” kini tengah terjadi di banyak negara di dunia, mulai dari wilayah Barat hingga Asia. Istilah ini merujuk pada menurunnya mood pasangan untuk melakukan hubungan seksual, menikah dan punya anak.
Singapura jadi salah satu yang mengalami fenomena ini. Di 2021, angka kelahiran negara kota itu hanya mencapai 1,12 bayi per wanita. Jumlah ini sangat rendah dibandingkan rata-rata global yang berkisar di angka 2,3.
Tidak hanya itu, Singapura mencatat rendahnya pernikahan. Mengutip Channel News Asia (CNA), berdasarkan data yang dirilis pada 2021, hanya ada 19.430 pernikahan yang terjadi pada tahun 2020.
Mengutip ulasan dari McKinsey & Company, resesi seks ini nyatanya memiliki dampak ekonomi. Resesi seks dapat menghasilkan sebuah kondisi yang dinamakan lonely economy.Jumlah ini menurun sebesar 12,3% dari 22.165 pernikahan pada tahun sebelumnya. Ini merupakan angka terendah sejak tahun 1986, yakni 19.348 pernikahan. Pandemi Covid-19 juga jadi sebab lain, dimana banyak warga juga menunda pernikahan karena pandemi.
Lonely economy merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan ekonomi yang didorong oleh masyarakat yang cenderung hidup menyendiri.
Bahkan, mengutip data Statista, rata-rata jumlah orang dalam sebuah rumah tangga terus menyusut. Sebaliknya, rumah tangga berisi satu orang, atau yang melajang, makin banyak.
“Pergeseran demografis yang signifikan ini mengubah pola permintaan,” tulis Mckinsey yang dikutip dar CNBC.
Meningkatnya jumlah orang yang lebih memilih hidup sendiri telah mendorong penguatan fenomena hewan peliharaan. Kepemilikan hewan peliharaan tercatat melonjak di Asia, termasuk Singapura.
Dalam 5 tahun terakhir, jumlah hewan peliharaan di China, Singapura, dan Thailand. Masing-masing melonjak 114%, 12% dan 23%.
Tak hanya hewan, terjadi peningkatan penggunaan aplikasi seperti Chatbot yang digerakkan oleh kecerdasan buatan. Aplikasi ini kian poluler dengan jumlah pengguna yang makin meningkat yang mayoritas merupakan lajang.
Selain itu, ada juga robot LOVOT dari perusahaan Jepang yang mampu menjaga suhu tubuhnya seperti manusia dan bisa meminta pelukan. Permintaannya meningkat hingga 15 kali lipat pada 2020 akibat pandemi dan efek dari lonely economy.
Pola konsumsi makanan juga diyakini berubah. Rumah tangga tunggal membutuhkan produk yang berbeda, termasuk makanan yang dikirim ke rumah dan porsi yang lebih kecil untuk makanan kemasan.
Di Jepang, pada 2012-2019, berat bersih rata-rata beberapa barang konsumsi yang bergerak cepat menurun sebesar 8%. []