Garam Indonesia paling tercemar mikroplastik
Sebanyak 39 merek garam meja rumahan di 21 negara, kontaminasi mikroplastik di 10 negara Asia tercatat paling tinggi. Indonesia menduduki peringkat nomor wahid.
Demikian temuan studi baru dalam jurnal Environmental Science and Technology yang dirilis pada 4 Oktober 2018 lalu.
Penelitian ini dihelat tim dari Incheon National University di Korea Selatan berkolaborasi dengan Greenpeace Asia Timur. Meski menemukan kontaminasi, mereka tak bisa mengidentifikasi asalnya, karena sejumlah keterbatasan dalam penelitian.
Apa artinya studi ini bagi Indonesia? Seberapa berpengaruh dampak mikroplastik terhadap tubuh dan kesehatan manusia? Mari menyelisik.
National Geographic menulis, studi baru selangkah lebih maju dibanding lima studi sebelumnya tentang garam dan mikroplastik dalam mencari tahu proses dan lokasi suatu garam diproduksi.
Langkah itu merupakan indikator akurat terhadap seberapa banyak polusi plastik yang berasal dari wilayah tertentu mencemari lingkungan laut sekitarnya.
Secara garis besar, studi baru menemukan mikroplastik di lebih dari 90 persen garam meja pasaran di seluruh dunia.
Tanpa mempublikasikan merek, sebanyak 39 sampel garam berasal dari 21 negara di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, dan Australia.
Studi melaporkan, terdapat 28 garam laut, sembilan garam batu, dan dua garam danau. Hanya tiga sampel yang bebas dari mikroplastik, yaitu garam laut olahan dari Taiwan, garam batu halus dari Tiongkok, dan garam laut yang tidak dimurnikan—diproduksi lewat penguapan matahari—di Prancis.
Sementara itu, pencemaran mikroplastik tertinggi terdapat pada garam laut—sebagaimana produksi dari Indonesia—diikuti garam danau dan kemudian garam batu.
Menukil Ifl Science, garam laut dibuat secara sederhana dengan menguapkan air laut untuk mengambil garam yang tersisa karena sampah plastik mengalir dari sungai ke laut, maka tak heran jika garam mengandung jejak mineral dan elemen plastik.
Berdasarkan temuan studi, peneliti menyimpulkan setidaknya dua hal.
Pertama, garam laut sebagai indikator polusi menunjukkan bahwa Asia khususnya Indonesia yang memiliki 54.720 kilometer garis pantai, adalah titik pusat dari polusi plastik global.
Simpulan ini sesuai studi lain pada 2015 yang menyebutkan, Indonesia mengalami tingkat pencemaran plastik terburuk kedua di dunia. Lalu, studi pada 2018 yang menyatakan, tingginya polusi plastik Asia sangat memprihatinkan.
Kedua, rata-rata orang dewasa diperkirakan mencerna sekitar 2.000 potongan mikroplastik dalam konsumsi garam per tahun dan hanya sekitar enam persen dari total mikroplastik yang masuk ke tubuh kita.
Secara menyeluruh, catat Quartz, rata-rata orang menelan sekitar 32.000 keping mikroplastik dalam setahun.
Sejumlah studi telah mengungkap bahwa mikroplastik tersebar nyaris di mana-mana, mulai dari air keran, ikan, botol kemasan air minum, hingga paparan terbesar (80 persen) dari menghirup mikroplastik yang terkandung di udara terutama dari debu rumah tangga.
Sebuah siaran BBC, Blue Planet II, bahkan menunjukkan bahwa induk ayam bisa keliru memberi makan anaknya dengan plastik.
Butuh bukti lebih lanjut untuk melihat dampaknya
Peneliti mencurigai di dalam plastik terdapat paparan racun seperti logam berat dan ftalat yang bisa mengancam kesehatan hewan dengan mengubah hormon-hormon penting pengatur metabolisme, pertumbuhan, reproduksi, dan sebagainya.
Hewan-hewan terkontaminasi tersebut bisa saja dikonsumsi oleh manusia.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, ditambah fakta triliunan plastik yang mengambang di laut dan sulit terurai, berkontribusi terhadap kematian dini banyak makhluk laut. Para ilmuwan dan pemerhati lingkungan khawatir akan kemungkinan efek bahaya dari mikroplastik.
Mikroplastik, mengutip laman Advancedsciencenews.com, adalah partikel plastik berukuran kurang dari lima millimeter yang berasal dari limbah polusi plastik dan memasuki lingkungan setelah terpecah menjadi potongan-potongan kecil bahkan hampir tak terlihat.
Saat temuan baru mengungkap kandungan mikroplastik dalam air minum kemasan plastik berbagai merek, WHO berjanji akan menindaklanjutinya. WHO saat itu menegaskan selama ini belum ada bukti keras bahwa mikroplastik dapat membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan BPOM RI mengimbau konsumen tetap tenang.
Koordinator Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk isu air dan sanitasi global, Bruce Gordon, mengatakan kepada BBC News (15/3/2018) bahwa pertanyaan utama menyikapi temuan tersebut adalah; apakah mengonsumsi air yang mengandung mikroplastik berdampak pada kesehatan atau tidak.
Menurut Program Lingkungan PBB, mikroplastik pertama kali muncul sekitar 50 tahun lalu, bisa berasal dari berbagai sumber seperti kosmetik, ban, hingga pakaian terutama baju hangat—dalam bentuk serat sintetis.
Sejauh ini, dampak kesehatan akibat mengonsumsi mikroplastik disepakati ahli sebagai belum jelas diketahui karena ini merupakan bidang studi yang relatif baru. Di sisi lain, ada juga yang betul-betul meragukan dampaknya.
Satu studi oleh peneliti dari University of York di Inggris yang muncul bersamaan dengan studi baru menyimpulkan bahwa belum ada cukup bukti untuk menentukan apakah mikroplastik menyebabkan dampak negatif, baik terhadap manusia maupun lingkungan.
Studi yang diterbitkan dalam Environmental Toxicology and Chemistry itu meninjau 320 studi global tentang mikroplastik.
Singkatnya, peneliti mengungkapkan, studi-studi mikroplastik cenderung hanya berfokus pada sebagian kecil dari kisaran ukuran mikroplastik dan mengarah pada “kesenjangan pengetahuan” yang signifikan dalam pemahaman kita soal efek mikroplastik.
Namun, sebagaimana ditegaskan Motherboard, studi ini tergolong bias karena didanai oleh sekelompok industri kecantikan. Ada kemungkinan kepentingan komersil, terutama dalam upaya mengubah undang-undang larangan mikroplastik.
Pada akhirnya, mengingat bahaya mikroplastik belum terbukti berefek langsung pada manusia, mengonsumsi makanan khususnya garam dengan bijak tentu lebih baik bagi kesehatan.
“Untuk membatasi paparan terhadap mikroplastik, langkah-langkah pencegahan diperlukan. Contohnya, dengan membuang sampah pada tempatnya dan yang lebih penting, mengurangi sampah plastik,” tutup Profesor Seung-Kyu Kim, salah satu penulis studi baru dalam pernyataan.[]