Gegara Aktif “Melawan” Dengan Tulisan, Seorang PMI Mendapat Penghargaan Bidang Sastra Kenamaan
JAKARTA – Kemajuan teknologi digital memang memungkinkan para pekerja migran untuk lebih leluasa menyuarakan aspirasi melalui tulisan.
Dengan menggunakan media sosial mereka merespons berbagai persoalan dari sudut pandang mereka sebagai pekerja migran.
Selain Novia, ada sejumlah perempuan pekerja migran lain yang juga lantang bersuara melalui tulisan yang diunggah di media sosial.
Etik Juwita salah satunya, di mana perempuan kelahiran Blitar yang dalam 10 tahun terakhir malang-melintang sebagai pekerja migran di Hong Kong, Singapura, dan Taiwan ini sejak 2018 aktif menulis di laman id.quora.com.
Dengan bahasa yang cair dan ringan, dia menanggapi berbagai pertanyaan publik seputar pekerja migran.
Tak jarang tulisan-tulisannya menampar pengambil kebijakan.
Saat menanggapi pertanyaan soal pekerja migran yang diagung-agungkan sebagai pahlawan devisa misalnya, dia dengan lugas menyatakan betapa tidak adilnya pemerintah terhadap mereka.
Dia mengatakan, pengiriman pekerja (migran) kasar ke luar negeri adalah bukti kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja.
Pekerja migran dimanfaatkan untuk menekan angka kemiskinan di daerah sekaligus juga menambah penghasilan dari remitansi.
“Namun sejauh mana upaya pemerintah meningkatkan daya tawar pekerja migran Indonesia di luar negeri dan memperbaiki nasib mereka, I can loudly say, ‘not much’,” tulisnya.
Meski belum terlalu lama aktif di quora, menulis bukan hal baru bagi Etik Juwita.
Sejak pertama menjadi pekerja migran di Hong Kong pada 2004, dia telah aktif menulis.
Sejumlah cerita pendek karyanya menghiasai berbagai media, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pada 2008, bersanding dengan sejumlah sastrawan kenamaan Indonesia, dia menerima penghargaan Anugerah Sastra Pena Kencana.
Tak mengherankan jika sejumlah karya lulusan Universitas Gajayana Malang ini telah dibukukan.
“Hampir semua cerpen saya tentang pekerja migran. Bagi saya, kehidupan pekerja migran adalah inspirasi yang tak pernah habis untuk ditulis,” katanya.
Kuliah Pascasarjana
Setali tiga uang dengan Etik Juwita, Etik Nurhalimah juga banyak menulis tentang pekerja migran dalam cerpen-cerpennya.
Keduanya pada tahun 2020 lalu sama-sama meraih penghargaan Taiwan Literature Awards, salah satu penghargaan bergengsi untuk para sastrawan yang diadakan oleh National Museum of Taiwan Literature.
Seperti Etik Juwita, Etik Nurhalimah juga sempat menjadi PRT di Singapura dan Hong Kong.
Namun dia mengaku jalan kepenulisannya baru dia temukan setelah bekerja di Taiwan.
Kini, di sela kesibukannya mengasuh nenek berusia 96 tahun, dia aktif membaca dan menulis baik fiksi maupun nonfiksi.
“Awalnya tahun 2014, saya menulis puisi di Facebook untuk mengungkapkan kerinduan pada anak dan kekuarga. Setelah itu saya bertemu banyak penulis di dunia maya dan mulai terlibat di banyak kegiatan kepenulisan.”
“Beberapa kali saya menang lomba menulis puisi. Setelah itu saya terpikir untuk menggali kemampuan di bidang menulis hingga akhirnya saat ini saya bahkan bisa mendapatkan penghasilan dari menulis,” katanya panjang lebar.
Etik kini tak hanya menulis cerpen dan puisi. Perempuan asal Way Jepara, Lampung Timur itu juga menjadi penulis artikel dan kolom di beberapa media setempat. Bermitra dengan sebuah NGO, dia mengadvokasi pekerja migran melalui tulisan.
Baginya, menulis adalah mengubah nasib. Tak hanya mengubah nasib pekerja migran yang diadvokasi, tapi juga mengubah nasibnya sendiri.
“Dengan menulis, saya jadi membaca. Dan dengan membaca, terbukalah cakrawala. Saya yang tak pernah bermimpi bisa kuliah, kini tengah menjadi mahasiswi pascasarjana. Semua tak mungkin saya capai jika saya tidak menulis,” kata Etik.
Baginya, hidup adalah terus bertumbuh dan berproses menjadi lebih baik. []
Sumber Suara Merdeka