Gencarnya Membangun Infrastruktur Mengakibatkan Meningkatnya Konflik Agraria
JAKARTA – Jalan tol membentang dimana-mana, pembangunan Bandara menular dari daerah ke daerah. Masyarakat Indonesia bangga, pembangunan menampakkan mercusuarnya. Namun, hanya sedikit orang saja yang mengetahui dan peduli, ada onak dan duri yang melukai sebagian masyarakat akibat menjadi korban kebijakan agraria.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah secara besar-besaran dinilai Sekjen Konsorsoum Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika berpotensi meningkatkan konflik agraria.
“Pembangunan infrastruktur secara besar-besaran konsekuensi logisnya butuh pengadaan tanah dalam jumlah besar. Maka hal ini berpotensi terjadi pelanggaran hak atas tanah rakyat yang mendorong terjadinya konflik agraria,” kata Dewi dalam diskusi di kawasan Menteng Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2018) siang.
Menurut dia, pengaduan konflik yang terkait pembangunan infrastruktur juga sangat tinggi. Hal ini yang terkait dengan pembangunan bandara baru dan jalur kereta api cepat. Dewi mencontohkan pembebasan tanah terkait pembangunan Bandara Kertajati di Jawa Barat, yang mana terjadi pendekatan yang represif, proses ganti rugi yang tak transparan kepada pemilik lahan yang mayoritas petani, dan proses sosialisasi yang sangat kurang.
“Namun Pemerintah justru menurunkan 1200 anggota TNI-Polri dan Satpol PP, untuk memaksa satu Desa yang menolak pembebasan tanah untuk pembangunan Bandara Kertajati. Anehnya Gubernur Jabar dan aparat Pemprov nya memilih aktif memberi bantahan ke media dibandingkan berdialog dengan warganya yang ingin mendapatkan keadilan,” kata dia.
Selain itu juga mendorong konversi besar-besaran lahan pertanian yang mana hal tersebut mengganggu upaya swasembada pangan. Dan memunculkan spekulan-spekulan tanah. Dalam kasus Bandara Kertajati juga muncul rumah-rumah abal-abalan setelah tanah milik petani dibebaskan. Praktek pendirian “rumah hantu” tersebut adalah upaya spekulan untuk menaikkan harga tanah yang telah mereka kuasai.
“Kami sudah melaporkan ke Kantor Staf Presiden, bahkan dulu sudah kirim staf untuk meninjau praktek mafia dan spekulan-spekulan. Namun ya tidak ditindaklanjuti. Ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur saat ini menimbulkan masalah dan konflik agraria, namun tidak diselesaikan secara tuntas. Kalau menurut kami seharusnya rakyat dapat opsi jadi pemilik saham bandara Kertajati, bukan tanah rakyat dibeli putus dan rakyat jadi miskin dan terpinggirkan,” kata dia. [SM]