December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Hal Penting yang Harus Diketahui Pada Pernikahan yang Hamil Duluan

8 min read

ApakabarOnline.com – Fenomena hamil di luar pernikahan (non marital) beberapa tahun terakhir semakin meningkat. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya antara lain: karena faktor pergaulan bebas yang semakin marak terjadi, perselingkuhan/perzinahan dan kasus-kasus perkosaan yang terjadi. Dampak yang timbul tentunya bukan sekedar pelanggaran batas-batas normal susila, akan tetapi juga kehamilan yang akan dialami oleh pihak wanita. Begitu juga dengan korban kasus perkosaan bukan hanya aib yang ditanggung, tetapi derita mengandung beban psikis seumur hidup dan hilangnya beberapa kesempatan akibat aib diperkosa. Tentunya hal tersebut akan menimbulkan dampak yang harus ditanggung sendiri oleh pihak wanita yaitu trauma psikis untuk korban pemerkosaan dan kehamilan yang tidak diharapkan untuk kedua kasus tersebut.

Beberapa kasus, pihak wanita lebih memilih untuk menggugurkan kandungannya dari pada ia harus menanggung perasaan malu baik di hadapan orang tua nya maupun di hadapan masyarakat umum. Akan tetapi tidak sedikit juga yang memilih untuk mempertahankan kehamilan tersebut meskipun tidak ia harapkan dengan dalih ia tidak ingin membunuh janin yang tidak bersalah dan tidak ingin semakin menambah dosa baginya, cara melalui menggugurkan janin adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan, karena upaya tersebut tidak berdasarkan alasan yang dapat dibenarkan menurut hukum.

Kehamilan di luar nikah akan melahirkan fenomena hukum, lantas bagaimana untuk status anak tersebut? Karena kita ketahui ia hanya memiliki seorang ibu dan terlahir tanpa seorang ayah. Padahal anak yang sah adalah anak yang lahir akibat perkawinan yang sah (vide Pasal 42 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974). Kemudian, ketika ia besar nanti, apabila anak tersebut berjenis kelamin perempuan, siapakah yang berhak menjadi walinya ketika ia menikah? Bagaimanakah hak kewarisan dari anak luar nikah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang perlu jawaban di kemudian hari.

Menjawab pertanyan-pertanyaan di atas, akan penulis jabarkan berdasarkan klasifikasi asal muasal penyebab munculnya anak luar kawin berdasarkan kejadian/peristiwa. Karena masing-masing kejadian memiliki hukum yang berbeda-beda. Hal ini berdasarkan majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M yang diterbitkan oleh Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta yang disadur oleh penulis.

Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil

Keadaan seorang perempuan berzina ini bisa dikategorikan akibat pengaruh dari pergaulan bebas sehingga ia melakukan perbuatan yang melanggar batas-batas susila seperti melakukan seks non marital (di luar nikah). Berdasarkan kesepakatan ulama, anak yang terlahir berdasarkan hasil dari hubungan sexual non marital, maka status anak tersebut nantinya dinasabkan sebagai anak ibu dan tidak dinasabkan kepada bapak biologisnya.

Hubungan dengan bapak biologisnya terputus, termasuk secara hukum kewarisannya. Ia hanya berhak mewarisi dari ibunya dan sebaliknya, ibunya berhak mewarisinya.

 

Kemudian yang berhak menjadi wali nikah ketika ia menikah nantinya adalah wali hakim, karena ia tidak dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya.

 

Apabila terjadi sumpah li’an antara suami dengan istri

Pengertian sumpah liàn adalah sumpah yang dilakukan oleh suami dan istri dengan nama Allah yang disebabkan suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya sebagai anak kandungnya dimana suami tidak memiliki saksi atas tuduhan tersebut, sedangkan istri menolak tuduhan tersebut.

Biasanya hal ini terjadi karena suami berprasangka atau menuduh bahwa istrinya selama pernikahannya masih berlangsung dengannya telah berselingkuh dan melakukan perbuatan zina dengan laki-laki lain sehingga mengakibatkan kehamilan. Atau bisa saja karena suami benar-benar mengetahui bahwa istrinya telah berselingkuh dan berzina dengan laki-laki lain akan tetapi ia tidak memiliki bukti maupun saksi, sedangkan istri menyangkal tuduhan bahwa kehamilannya diakibatkan perzinahan tersebut.

Maka dalam hal ini, suami-istri tersebut harus melaksanakan sumpah li`an, yang mana suami mengucapkan sumpah sebanyak empat kali untuk mengukuhkan tuduhannya dan istri mengucapkan sumpah sebanyak empat kali untuk menyangkal tuduhan suami, diikuti keduanya mengucapkan sumpah kelima yang isinya apabila ia berbohong maka laknat Allah bersamanya. Selanjutnya suami istri harus berpisah selama-lamanya dan tidak boleh rujuk maupun menikah kembali.

Status dari anak yang dilahirkan pada kondisi ini adalah dinasabkan pada ibunya karena suami mengucapkan sumpah li`an dan tidak mengakui anak tersebut sebagai anaknya. Sehingga hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak tersebut.

Mengenai wali nikah anak perempuan tersebut nantinya adalah wali hakim.

 

Apabila istri melakukan hubungan sexual dengan laki-laki lain saat pernikahan masih berlangsung

Adalah suatu keadaan dimana istri melakukan hubungan sexual dengan laki-laki lain, baik diketahui maupun tidak diketahui suaminya hingga mengakibatkan ia hamil.

Berdasarkan hadist sahih riwayat Imam al-Bukhâri, no. 6749 dan Muslim,    4/171 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam hadits yang panjang disebutkan bahwa :“anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).

Kejadian ini berbeda dengan sumpah li`an karena dalam hal ini suami mungkin saja tidak mengetahuinya, atau bisa saja suami mengetahui tapi ia enggan mengadakan sumpah li`an. Sehingga dalam hal ini, status anak yang lahir nantinya dinasabkan kepada suami yang sah, bukan kepada lelaki selingkuhan istri.

Sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak perempuan tersebut nantinya adalah ayahnya (suami dari ibunya). Kemudian karena masih dinasabkan kepada ayahnya maka anak perempuan tersebut berhak mewaris dari ayah ibunya dan begitu juga sebaliknya.

 

Apabila seorang wanita berhubungan sexual di luar nikah, kemudian hamil dan dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya.

Adalah suatu keadaan dimana seorang wanita yang belum menikah, ia berhubungan sexual dengan laki-laki sampai ia hamil. Kasus ini hampir sama dengan point         nomor 1, perbedaannya dalam kasus ini laki-laki yang berhubungan sexual dengannya mau bertanggungjawab menikahinya.

Dalam kasus ini, status anak yang nantinya lahir dinasabkan kepada ibunya karena dalam kasus ini tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman hadist seperti no 3, karena suami istri tersebut menikah setelah istri hamil duluan, bukan sebelum hamil. Meskipun demikian laki-laki tersebut tetap dapat dikatakan sebagai bapak biologis anak tersebut, akan tetapi tidak dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya.

Oleh karenanya, yang berhak menjadi wali nikah ketika anak perempuan tersebut menikah adalah wali hakim, karena statusnya hanya sebagai anak ibu sekalipun bapak biologisnya menikahi ibunya. Hanya saja yang membedakan dengan kriteria nomor 1 adalah anak perempuan tersebut secara hukum tertulis, dalam akta kelahirannya nantinya dicantumkan nama ayah dan ibu. Hal ini berdasarkan Kompilasi hukum Islam yang menyatakan secara eksplisit sebagai berikut :

Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam

  • Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
  • Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
  • Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir

Sehingga berdasarkan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam yang harus difahami adalah keabsahan nikah hamil, tetapi tidak berdampak pada anak yang diakibatkan nikah karena hamil. Anak yang dihasilkan dari nikah hamil tidak serta merta include dengan nasab orang tuanya. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya nasab dalam Islam yang hanya bisa diperoleh melalui jalan pernikahan.

Terkait hak kewarisan, karena hanya dinasabkan kepada ibunya, anak perempuan tersebut hanya dapat saling waris mewaris dengan ibunya.

 

Apabila seorang perempuan melakukan hubungan sexual non marital kemudian hamil lalu menikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya

Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Adapun kedua pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

 

  • Pendapat pertama mengatakan boleh dan halal dinikahi. madzhab Imam Syafi’i rahimahullah dan Imam Abu Hanifah rahimahullah beralasan bahwa perempuan tersebut hamil karena hubungan sexual non marita bukan dari hasil nikah, padahal kita sudah ketahui bahwa menurut syara, tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil hubungan sexual non marital, sebagaimana beberapa kali dijelaskan di atas. Oleh karena itu halal bagi lelaki lain itu untuk menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan anaknya. Hanya saja, imam Abu Hanifah menyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan.
  • Pendapat kedua mengatakan haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan. Inilah yang menjadi madzhab Imam Ahmad t dan Imam Malik t . Dan madzhab yang kedua ini lebih kuat daripada madzhab pertama dan lebih mendekati kebenaran.

Status anak yang lahir nantinya dinasabkan pada ibunya saja. tidak kepada lelaki yang menzinahi dan menghamili ibunya dan tidak pula kepada lelaki yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkan.

Sehingga yang berhak menjadi wali nikah ketika anak perempuan tersebut nanti menikah adalah wali hakim. Kemudian hak kewarisan hanya timbul antara anak dan ibu.

 

Apabila anak terlahir dari akad nikah yang fasid atau batil

Yang dimaksud akad nikah yang fasid atau batil adalah akad nikah yang diharamkan syariat atau salah satu rukun nikah tidak terpenuhi sehingga menyebabkan akad nikah tidak sah, misalnya : menikah dengan mahram, saudara sepersusuan, istri bapak atau anak atau mertua atau dengan anak tiri yang ibunya sudah digauli, nikah mutàh, nikah dengan lebih dari empat wanita, nikah tanpa wali, dan sebagainya.

Dalam kondisi ini, dikategorikan menjadi :

  • Apabila keduanya, suami-istri tidak mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tetap dinasabkan kepada suami sehingga suami berhak menjadi wali nikahnya dan hak kewarisan timbul olehnya.
  • Apabila keduanya, suami-istri mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut hanya sebagai anak ibu sehingga yang berhak menjadi wali ketika anak tersebut menikah adalah wali hakim dan hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak.
  • Apabila hanya suami yang mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepadanya sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak tersebut adalah wali hakim dan hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak.
  • Apabila hanya istri yang mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tetap dinasabkan kepada suaminya sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak tersebut adalah suami dan hak kewarisan timbul olehnya.

Selanjutnya apabila ayah biologis dari anak luar kawin yang tadinya tidak mau             bertanggungjawab, kemudian hari ia ingin mengakui anak tersebut secara hukum dan ingin namanya tertera dalam akta kelahiran anak tersebut, maka apakah ia dapat mengajukan permohonan  ke muka pengadilan agama agar pengakuannya tersebut dapat dianggap sah secara hukum?

Dalam kondisi ini, ayah biologis dari anak luar pernikahan tidak dapat mengajukan permohonan ke pengadilan agama, karena anak yang terlahir oleh karenanya adalah anak hasil hubungan sexual non marital, sehingga hanya dinasabkan kepada ibunya saja. Begitupun secara hukum, anak tersebut berstatus sebagai anak ibu sehingga dalam akta kelahiran anak tersebut hanya dapat tercantum nama ibunya saja, meskipun di kemudian hari ayah biologisnya mengakuinya. Sekalipun ayah biologis tersebut tetap mencoba mengajukan permohonan ke muka pengadilan agama, kemungkinan besar akan ditolak oleh pengadilan agama.

Meskipun demikian, berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 yang  menyatakan bahwa“Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk : a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

Sehingga meskipun secara hukum, ayah biologis tidak bisa mendapatkan pengakuan secara hukum bahwa ia adalah ayah dari anak tersebut, ia masih bisa memberikan nafkah kepada anak tersebut dan memberikan harta waris melalui wasiat wajibah.

Berbeda dengan kasus anak yang terlahir di luar pernikahan yang sah secara hukum, dalam artian ini adalah anak hasil pernikahan siri / di bawah tangan seorang perempuan dan seorang laki-laki yang keduanya tidak terikat perkawinan yang sah dengan perempuan/laki-laki lain. Ayah biologis dapat mengajukan permohonan asal usul anak ke muka pengadilan agama untuk mendapatkan penetapan pengesahan asal-usul anak tersebut. yang dapat menimbulkan akibat hukum berdasarkan penetapan tersebut seperti hubungan nasab, perwalian dan kewarisan. Sehingga akta kelahiran anak tersebut nantinya dapat dicantumkan nama ayah dan ibunya. []

Advertisement
Advertisement