Harmoko, Mantan Menteri Penerangan Era Orba Meninggal Dunia
JAKARTA – Berita duka datang dari salah satu pejabat teras di era Orde Baru. Menteri Penerangan di era Presiden Soeharto, Harmoko, meninggal dunia.
Harmoko meninggal dunia hari ini, Minggu (04/07/2021) pada pukul 20.22 WIB di RSPAD Gatot Soebroto. Hal ini dibenarkan oleh politikus Golkar Dave Laksono.
Ia mengirimkan pesan berupa berita duka meninggalnya Harmoko.
“Sudah (meninggal). Innalillahi wa innailaihi rojiun telah meninggal dunia Bpk. H. Harmoko bin Asmoprawiro pada hari Minggu 4 Juli pada jam 20:22 WIB di RSPAD Gatot Soebroto. Mohon dimaafkan segala kesalahan beliau dan mohon doanya insya Allah beliau husnul khotimah. Aamiin YRA,” kata Dave.
Belum diketahui penyebab meninggal Harmoko.
Kenangan tentang Harmoko
Semasa hidupnya Harmoko, selain sebagai politikus Golkar yang pernah menjadi menteri penerangan di era Orde Baru–selama kurun waktu 1983-1997–ia juga pernah menjadi Ketua DPR.
Ia dikenal sebagai mantan wartawan yang kemudian berkarier politik di bawah naungan Golkar, lantas menjadi menteri penerangan selama tiga periode kabinet pembangunan di bawah komando Presiden Soeharto. Ia menjabat di kabinet pembangunan IV, V, hingga sebagian VI atau dari 1983 hingga 1997.
Sebagai wartawan, Harmoko menjalani karier tersebut selama 23 tahun sejak lulus SMA dan bekerja mula di harian Merdeka pada awal 1960an.
Selanjutnya, ia pindah di harian Angkatan Bersenjata pada 1964. Hanya berselang setahun, pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur ini berpindah lagi di harian API yang dikenal sebagai media yang “Pancasilais” pada waktu itu.
Pada saat yang sama, Harmoko juga menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Merdiko. Hingga akhirnya pada 1970, Harmoko bersama Jahja Surjawinata, Tahar S Abiyasa, dan Pansa Tampubolon menerbitkan surat kabar berbasis di Jakarta, Pos Kota.
Semasa menjabat sebagai Menteri Penerangan, Harmoko adalah pencetus gerakan Kelompencapir (Kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) yang disiarkan televisi nasional, TVRI.
Selain itu, selama menjadi Menteri Penerangan Harmoko merupakan `kepanjangan tangan` Presiden Soeharto melakukan pembredelan atas media-media masa dengan alasan demi menjaga stabilitas negara.
Beberapa di antara yang pernah kena `tangan dingin` Harmoko adalah surat kabar Sinar Harapan, majalah Tempo, tabloid Detik, dan majalah Editor.
Karier politik Harmoko berakhir sebagai Ketua DPR/MPR yang mengangkat Soeharto sebagai presiden pada 1998 silam. Namun, Harmoko yang membisikkan agar Soeharto kembali maju jadi presiden pada 1998, dia pula yang meminta sang penguasa Orba itu untuk mundur pada Mei 1998.
Jusuf Wanandi dalam buku Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998 menuliskan Harmoko dianggap sebagai salah satu pengkhianat oleh Soeharto di ujung kekuasaannya.
“Lebih dari itu, ia merasa dikhianati. Ia ditinggalkan oleh teman-teman dan mereka yang ia percaya selama ini. Itu melukai perasaannya,” ucap Jusuf Wanandi dalam buku tersebut, “Para menteri itu munafik. Di antaranya Ketua DPR Harmoko.”
Kenapa Harmoko?
Beberapa bulan sebelumnya, mantan Menteri Penerangan itu mengatakan kepada Soeharto bahwa, berdasarkan hasil Safari Ramadan ke sejumlah daerah, rakyat menganggap tidak ada tokoh lain yang dapat memimpin negara kecuali Soeharto.
Padahal, Soeharto sebelumnya sudah memiliki niat untuk lengser. Tapi gara-gara Harmoko, niatnya urung diwujudkan. Setelah kerusuhan Mei, dia mengatakan sebaliknya.
Kamis, 16 Mei 1998, Harmoko serta pimpinan DPR/MPR lainnya sempat bertemu Soeharto di Cendana. Mereka membicarakan kondisi Indonesia dan desakan rakyat agar Soeharto mundur.
Harmoko bahkan sempat menanyakan langsung kepada Soeharto.
“Ya, itu terserah DPR. Kalau pimpinan DPR/MPR menghendaki, ya saya mundur, namun memang tidak ringan mengatasi masalah ini,” jawab Soeharto, dalam buku Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi yang ditulis BJ Habibie.
Ribuan mahasiswa kemudian berdemo dan menduduki gedung DPR/MPR, Sabtu, 18 Mei 1998. Aksi menduduki gedung dewan itu merupakan puncak dari serangkaian aksi di sejumlah kota besar. Tuntutan utama mereka sama: Soeharto mundur.
“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko, pada 18 Mei 1998.
Ketika itu, ia didampingi pimpinan parlemen lainnya, yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid. []