Hasil Kebijakan Fiskal Perlahan Telah Memperbaiki Defisit
JAKARTA – Bank Indonesia (BI) bersama pemerintah terus berkolaborasi dengan meluncurkan sejumlah kebijakan baru untuk menekan dan mengelola defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD).
Kebijakan ini diperlukan untuk mengendalikan pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS. Kebijakan tersebut dinilai berhasil seiring dengan penguatan mata uang rupiah beberapa hari terakhir.
“Sudah mulai terlihat, namun memang belum bisa dilihat secara maksimal,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Jakarta, kemarin. Perbaikan kinerja terhadap neraca perdagangan memang terus digenjot pemerintah.
Sebagaimana diketahui, kondisi defisit pada transaksi berjalan merupakan salah satu penyebab dari melemahnya mata uang rupiah. Menurut Dody, hasil dari penerapan berbagai kebijakan itu kemungkinan baru akan bisa terlihat lebih banyak pada kuartal IV/2018.
Karena kebijakan tersebut baru di terbitkan sekitar September 2018 lalu, maka hasilnya pun masih relatif belum begitu terasa. Kebijakan pada sejumlah aspek, seperti investasi dan infrastruktur, disebutkan Dody, masih terus berlangsung.
Sedangkan untuk impor barang-barang nonstrategis seperti konsumsi dinilainya sudah relatif lebih rendah. “Angka pertumbuhan impor riil sendiri pada kuartal III/2018 lebih rendah di bandingkan kuartal II/2018. Jangan langsung kita lihat dampak impornya langsung berkurang. Karena bagaimanapun ada impor untuk capex (capital expenditure) itu yang terus berjalan,” kata Dody.
Selain itu, langkah yang ditempuh BI adalah dalam bentuk menaikkan suku bunga yang bertujuan agar daya tarik aset keuangan Indonesia tetap menarik. BI menargetkan dengan berbagai bauran kebijakan yang dilakukan, tren defisit transaksi berjalan akan menurun lebih jauh pada akhir 2018, yakni di bawah 3% dari PDB.
Langkah stabilisasi fiskal akan membuat CAD pada 2019 akan turun lagi diperkirakan 2,5% dari PDB. Sementara itu, nilai tukar yang relatif stabil di bawah Rp15.000 atau depresiasi sebesar 10,6%, menurut Dody, karena langkah-langkah dari pemerintah dan BI dalam menekan defisit transaksi berjalan.
“Bank Indonesia akan terus menjaga rupiah tetap berada di fundamentalnya,” katanya. Stabilisasi rupiah akan terus dilakukan, meski tentu dalam beberapa hal, seperti memainkan suku bunga, intervensi, dan nilai tukar itu sendiri di depresikan secara gradual.
“Jika dilihat dari sisi regional rupiah masih stabil,” ujarnya. Pemerintah dalam beberapa bulan terakhir memang telah berkomitmen untuk ikut menjaga defisit transaksi berjalan melalui berbagai kebijakan yang memang sudah dikeluarkan.
Mulai dari mandatori B20 sampai dengan pengendalian ribuan impor barang konsumsi untuk menekan lonjakan impor yang menjadi salah satu biang kerok defisit transaksi berjalan tekor.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, Kamis (1/11) lalu, menegaskan kebijakan tersebut tak serta merta langsung menurunkan defisit transaksi berjalan. Dibutuhkan waktu lebih untuk melihat efektivitas kebijakan pemerintah.
“Kalau lihat momentum defisit transaksi berjalan, tidak mungkin langsung drop. Karena pertumbuhan ekonomi kita sedang meningkat,” kata Sri Mulyani. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menuturkan, dengan mempertimbangkan kondisi neraca perdagangan Januari hingga September yang defisit, maka diperkirakan CAD hingga akhir tahun masih akan defisit.
Dia memprediksi defisit transaksi berjalan akan melebar di atas 2,5% PDB atau bahkan melewati 3% PDB. “Sampai dengan September CAD kita sudah di kisaran 2,5% dan selama kuartal IV, CAD dipastikan akan bertambah karena defisit neraca perdagangan barang dan jasa serta yang lebih besar neraca pendapatan primer,” ujarnya.
Global Head of Currency Strategy & Market Research FXTM Jameel Ahmad menilai pekan ini secara umum akan sibuk bagi pasar berkembang. Ini bermakna volatilitas rupiah masih mungkin terus berlanjut.
Ada beberapa risiko peristiwa di pasar global berperan penting dalam menentukan arah pasar berkembang. Rapat Federal Reserve dan pemilu paruh waktu mendatang di Amerika Serikat adalah dua peristiwa yang akan dipantau investor dengan sangat cermat.
“Pemilu paruh waktu biasanya tidak dianggap sebagai peristiwa besar di pasar finansial, tapi ketidakpastian yang berkelanjutan mengenai pemerintahan Trump berarti investor bisa saja lebih reaktif terhadap peristiwa ini,” kata Jameel.
Adapun PDB kuartal III yang mencapai 5,17%, pasar masih memandang bahwa ekonomi Indonesia terancam melambat karena ketegangan perang dagang AS-China yang berkepanjangan. Ini tetap menjadi kekhawatiran besar di pasar berkembang yang sangat bergantung pada perdagangan global.[Kunthi]