December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Hong Kong Kembali Tidak Mempercayai Sertifikat Vaksin Indonesia Karena Ada yang Palsu

3 min read
Foto ANTARA

Foto ANTARA

HONG KONG – Kepercayaan otoritas Hong Kong terhadap proses vaksinasi covid-19 di Indonesia kembali terkoyak, setelah sebelumnya sempat menyatakan tidak mempercayai dan menolak kedatangan PRT asal Indonesia dan Filipina namun karena lobi dan komunikasi, per 30 Agustus kemarin, Hong Kong kembali membuka pintu untuk PRT asing dadi kedua negara tersebut meski dibawah prosedur yang sangat ketat.

Saat pintu kedatangan telah dibuka, kabar tentang ditemukannya sertifikat covid-19 palsu di Indonesia muncul ke permukaan. Hal tersebut membuat Hong Kong kembali mengerutkan alis berkaitan dengan kepercayaan.

Tak hanya dari Indonesia, hal serupa juha terjadi terhadap Filipina. Otentifikasi sertifikat vaksinasi covid-19 di Filipina juga tidak dipercayai oleh otoritas Hong Kong validitasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh sumber dari Badan Koordinasi Migran Asia di Hong Kong.

“(Berkembangnya) sertifikat vaksin palsu di Indonesia akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap (bukti vaksinasi) pekerja migran Indonesia. Ini menjadi perhatian (kami),” Eni Lestariyang mewakili Badan Koordinasi Migran Asia di Hong Kong,  dikutip dari SCMP, Jumat (10/09/2021).

“Bahkan tanpa (kasus) sertifikat vaksin palsu, pemerintah Hong Kong tidak terlalu mempercayai catatan vaksinasi yang dikeluarkan di Filipina dan Indonesia,” lanjutnya.

Kondisi tersebut tidak sepenuhnya disadari dan menjadi masalah bagi calon pekerja migran. Namun tentu menjadi beban yang membuat pusing pemerintahan baik Indonesia maupun Filipina.

Hal tersebut diperparah dengan insiden bocornya data dari lebih satu juta warga pada aplikasi kesehatan yang mendeteksi siapa-siapa saja yang telah divaksin dan siapa-siapa saja yang belum.

Bahkan, orang nomor dsatu di Indonesia, Presiden Joko Widodo turut menjadi korban dari kebocoran data tersebut.

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan maraknya sertifikat vaksin palsu akibat kebijakan pemerintah yang terburu-buru menetapkan sebagai syarat untuk beraktivitas sehari-hari.

“Kebijakan ini terpaksa karena program imunisasi di Indonesia tidak merata antar daerah. Persyaratan menggunakan bukti vaksinasi untuk segala jenis kebutuhan memacu peluang untuk mencetak (keuntungan) beberapa individu,” jelasnya.

Trubus memperingatkan bahwa pemalsuan itu dapat menumbuhkan ketidakpercayaan yang meluas terhadap program vaksinasi Indonesia. “Masyarakat Internasional mungkin bertanya, ‘benarkah 65 juta orang Indonesia telah divaksinasi?’ Juga sulit untuk memverifikasi data vaksinasi karena ini telah dimonopoli oleh pemerintah,” katanya.

 

Perlindungan Data yang Lemah

Indonesia tidak sendirian menghadapi masalah sertifikat vaksin palsu. Hal serupa juga ditemukan di Hong Kong, Malaysia, Filipina dan Prancis.

Namun tidak semua negara mengekspose data pribadi orang melalui aplikasi pelacak covid.

Pada bulan Juli, pakar keamanan siber dari vpnMentor yang berbasis di AS menemukan bahwa data pribadi 1,3 juta pengguna e-HAC disimpan di server terbuka, memungkinkan mereka mengakses “tanpa hambatan”.

Data pribadi tersebut meliputi identitas warga negara Indonesia dan asing, paspor dan nomor telepon, serta hasil tes Covid-19.

Menurut situs web vpnMentor, tim segera memberi tahu Kementerian Kesehatan Indonesia, Tanggap Darurat Komputer negara itu, dan Google, penyedia hosting aplikasi, tetapi tidak ada yang merespons.

“Sampai awal Agustus, kami belum menerima jawaban dari pihak terkait. Kami mencoba menjangkau instansi pemerintah tambahan, salah satunya adalah BSSN [Badan Siber dan Sandi Negara], yang didirikan untuk melakukan kegiatan di bidang keamanan siber. Kami menghubungi mereka pada 22 Agustus dan mereka menjawab pada hari yang sama. Dua hari kemudian, pada 24 Agustus, server dimatikan,” kata perusahaan itu.

Kementerian Kesehatan bulan lalu mengakui bahwa kebocoran data bersumber dari aplikasi e-HAC versi lama.

“Sekarang e-HAC sudah terintegrasi ke dalam aplikasi PeduliLindungi yang server dan infrastrukturnya berada di pusat data nasional dan [diamankan] Kementerian Komunikasi dan Informatika dan BSSN,” Anas Ma’ruf, Kepala Bidang Data Kementerian Kesehatan dan unit informasi, kata wartawan.

Kebocoran e-HAC menggarisbawahi betapa banyak sistem informasi dan teknologi yang dikelola pemerintah masih tidak mematuhi prinsip-prinsip perlindungan data pribadi, kata Wahyudi Djafar, direktur eksekutif di Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan (Elsam) yang berbasis di Jakarta.

“Penting bagi pemerintah untuk segera mengaudit perlindungan data pribadi di sistem PeduliLindungi untuk memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat. Mereka tidak bisa hanya mengatakan ‘data Anda aman, kami menyimpannya di pusat data nasional’. Itu tidak berarti apa-apa,” kata Wahyudi. []

Sumber SCMP

 

Advertisement
Advertisement