April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Hong Kong Kian Memanas, KTT G7 Mengingatkan Kemungkinan-Kemungkinan Berikut Bisa Terjadi Sewaktu-Waktu

3 min read

HONG KONG – Para pemimpin negara G7 menyerukan semua pihak di Hong Kong untuk bersikap tenang menyusul terjadinya bentrokan demonstran dan polisi pada unjuk rasa terakhir akhir pekan lalu.

Mereka juga mendukung otonomi Hong Kong, yang merupakan kesepakatan antara Inggris dan Cina pada 1984. Negara anggota G7 seperti Prancis, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Italia.

“G7 menegaskan dukungan kembali pada keberadaan kesepakatan penting antara Inggris dan Cina pada 1984 tentang Hong Kong dan mendesak semua pihak menghindari tindakan anarkis,” begitu bunyi pernyataan bersama yang dikeluarkan para pemimpin G7 di Biarritz, Prancis, seusai KTT G7, yang berlangsung selama tiga hari sejak Sabtu pekan lalu, seperti dilansir Channel News Asia pada Selasa, 27 Agustus 2019.

Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengatakan kepada media bahwa para pemimpin G7 merasa sangat prihatin terhadap situasi di Hong Kong saat ini.

“Negara G7 mendukung Hong Kong dan stabil dan makmur dan kami secara kolektif berkomitmen pada prinsip satu negara dengan dua sistem,” kata Johnson di sela-sela KTT G7.

Selama 12 pekan terakhir, Hong Kong dilanda unjuk rasa besar-besaran, yang kerap berakhir bentrok fisik dan tindak kekerasan antara polisi dan demonstran. Awalnya, seperti dilansir Reuters, demonstran menolak proses amandemen legislasi ekstradisi.

Ini terjadi karena poin dari legislasi itu memungkinkan pemerintah Hong Kong untuk mengekstradisi warganya ke Cina jika dianggap melanggar hukum di sana.

Belakangan, unjuk rasa ini berkembang begitu juga tuntutannya. Warga meminta penerapan sistem demokrasi secara penuh karena saat ini Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, merupakan orang yang ditunjuk oleh Beijing.

Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, menyesalkan tindak kekerasan yang terjadi pada demonstrasi pada akhir pekan lalu. Polisi mengatakan salah satu petugas terjatuh dan terancam keselamatan jiwanya akibat pukulan demonstran, yang mengepung sekelompok petugas.

Lam mengatakan pemeirntah masih bisa mengatasi keadaan dan tidak akan menyerah mengupayakan dialog dengan masyarakat.

“Kami ingin mengakhiri situasi kacau di Hong Kong,” kata Lam.

Meski opsi dialog masih terbuka dan belum menunjukkan hasil, pemerintah Cina telah menyiapkan opsi lain yaitu campur tangan polisi bersenjata untuk meredam aksi unjuk rasa ini.

Dua pekan lalu, rekaman video yang ditayangkan media Cina menunjukkan pasukan polisi berlatih di Kota Shenzen, yangg berbatasan degan Hong Kong.

Rekaman yang tersebar luas ini menimbulkan kekhawatiran Cina akan bersikap keras terhadap unjuk rasa pro-Demokrasi, yang semakin membesar di Hong Kong.

Markas militer Cina di Hong Kong juga sempat merilis video berisi latihan untuk penanganan situasi huru-hara. Menurut aturan, pemerintah Hong Kong bisa meminta bantuan militer Cina meski hingga kini itu tidak dilakukan.

Ini memancing reaksi dari sejumlah tokoh politik asal Amerika Serikat. Misalnya, Senator Mithc McConnell, memperingatkan pemerintah Cina agar tidak mencoba meredam aksi protes di Hong Kong dengan menggunakan cara kekerasan.

McConnell, yang merupakan pemimpin Partai Republik di Senat, mengatakan cara itu sama sekali tidak bisa diterima.

“Rakyat Hong Kong secara berani melawan Partai Komunis Cina saat Beijing mencoba menekan kebebasan dan otonomi mereka,” kata McConnell dalam cuitan di akun Twitternya seperti dilansir Channel News Asia pada Senin, 12 Agustus 2019.

Pernyataan keras juga muncul dari Senator AS, Ben Cardin, yang mewanti-wanti agar Cina tidak bersikap keras.

“Saya dapat pastikan jika Cina bertindak keras kepada demonstran di Hong Kong, bakal ada aksi di Kongres untuk menegakkan perjanjian otonomi yang menjadi bagian untuk pengakuan khusus Hong Kong,” kata Ben Cardin kepada Reuters pada Rabu, 14 Agustus 2019.

Cardin, yang merupakan tokoh Partai Demokrat, telah menggagas legislasi bipartisan yang akan mewajibkan pemerintah AS untuk memberikan dukungan dalam bentuk perlakuan istimewa terhadap Hong Kong.

Berdasarkan UU di AS tahun 1992, Hong Kong mendapat perlakuan istimewa dalam perdagangan dan ekonomi dibandingkan Cina. Ini termasuk dalam area penerbitan visa, penegakan hukum dan investasi.

Cardin mengatakan Hong Kong mendapat status istimewa ini sebagai bagian dari penerapan sistem satu negara, dua sistem. Ini menjamin penerapan otonomi tinggi dan HAM setelah penyerahan ke Cina oleh Inggris pada 1997.

“Jika Cina mencampuri otonomi Hong Kong, maka itu berdampak terhadap perjanjian Hong Kong terkait zona perdagangan,” kata Cardin. []

Advertisement
Advertisement