April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Hukum Memakan Daging Mentah Dalam Ajaran Islam

3 min read
Menu Daging Mentah (Foto Istimewa)

Menu Daging Mentah (Foto Istimewa)

 

JAKARTA – Bagi yang hobi masakan Jepang, makan daging mentah merupakan hal yang biasa. Namun, bagaimanahakah sebenarnya hukum makan daging mentah menurut agama Islam?

Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ulama terkait dengan hukum makan daging mentah. Ada yang menyatakan mubah, makruh, dan haram.

Hal ini secara singkat dijelaskan dalam kitab Ghidza’ al-Albab Syarh Mandzumah al-Adab sebagai berikut.

“Apakah dimakruhkan mengonsumsi daging mentah atau tidak?

Syekh Abu Naja al-Hajawi dalam kitab al-Iqna’ menegaskan kemakruhan mengonsumsi daging mentah, berikut redaksinya : “Dimakruhkan terus menerus mengonsumsi daging, makruh pula mengonsumsi daging yang busuk dan daging mentah.”

Sedangkan Ibnu Najjar dalam kitab al-Muntaha menegaskan ketidakmakruhan mengonsumsi daging mentah dan daging busuk. Bahkan ulama yang mensyarahi kitab tersebut menyebutkan kata “nasshan” (secara jelas) tanpa menyebutkan perbedaan pandangan yang terdapat dalam kitab al-Iqna’.

Begitu juga dalam kitab al-Ghayah menegaskan ketidakmakruhan mengonsumsi daging mentah, tanpa mengisyaratkan adanya perbedaan pendapat.” (Syekh Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini)

Dari penjelasan singkat di atas, hukum makan daging mentah adalah sebagai berikut.

 

  1. Mubah

Hukum makan daging mentah dalam Islam adalah dibolehkan selama daging mentah yang dimakan berasal dari hewan halal menurut Islam dan tidak terdapat najis yang melekat padanya.

Syarat lainnya adalah tidak memberikan dampak negatif bagi orang yang memakannya.

Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Najjar dalam kitab al-Muntaha dan kitab al-Ghayah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ghidza’ al-Albab Syarh Mandzumah al-Adab.

 

  1. Makruh

Beberapa ulama menyatakan bahwa hukum makan daging mentah adalah makruh sebagaimana hukum membiasakan makan daging secara terus menerus dan hukum makan daging busuk.

Hal ini dinyatakan oleh Syeikh Abu Naja al-Hajawi dalam kitab al-Iqna’ sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ghidza’ al-Albab Syarh Mandzumah al-Adab.

“Dimakruhkan terus menerus mengonsumsi daging, makruh pula mengonsumsi daging yang busuk dan daging mentah.”

 

  1. Haram

Hukum makan daging mentah dinyatakan haram apabila memberikan dampak negatif bagi yang memakannya seperti membawa keburukan bagi tubuh dan akal.

Hadits dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri dan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum makan daging mentah adalah mubah atau dibolehkan apabila dipenuhi beberapa syarat dan ketentuan sebagai berikut:

 

  • Tidak termasuk dalam golongan daging hewan yang diharamkan.
  • Tidak terdapat najis yang merupakan syarat makanan halal.
  • Tidak memberikan dampak negatif bagi yang memakannya.

 

Namun, apabila seseorang merasa ragu akan hukum makan tanpa tahu halal dan haram daging mentah yang akan dimakan, maka menghindari atau meninggalkannya adalah lebih baik karena tergolong syubhat.

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata,

“(Apabila) seseorang ragu mengenai sesuatu, ia tidak tahu apakah halal ataukah haram, dan mengandung dua kemungkinan tersebut, serta tidak ada petunjuk atas salah atu dari keduanya, maka yang terbaik adalah menjauhinya. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai kurma yang tercecer ketika beliau menemukannya di rumahnya, lalu beliau bersabda : “Seandainya aku tidak khawatir bahwa kurma tersebut adalah dari sedekah, niscaya aku memakannya (HR. Bukhari Muslim)” (Ad-Durratus Salafiyah)

Sebaliknya, jika tidak ada dalil yang secara jelas yang melarang untuk makan makanan tertentu, maka sikap menghindari makanan tersebut merupakan sikap yang berlebihan dalam agama.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan,

“Apabila didapati kemungkinan ketidakjelasan (dalam suatu makanan) dan kemungkinannya kuat, maka kecondongan ditinggalkannya lebih kuat. Sebaliknya, jika (kecondongannya) lemah, (maka) lemah pula kecondongan (untuk) ditinggalkannya. Jika ketidakjelasan tersebut tidak didapati sama sekali, maka sikap meninggalkan dianggap membebani diri yang dilarang syari’at.” []

Advertisement
Advertisement