Ika, Mengatur Rencana Teror Bom Dari Tseung Kwan O
PURWOREJO – Setelah lama tak jumpa, Robi sudah punya firasat bagaimana kepulangan Ika Puspitasari ke kampungnya di Purworejo, Jawa Tengah, akan berakhir. Robi ialah saudara lelaki Ika, buruh migran Indonesia yang telah bekerja 10 tahun di Hong Kong.
Firasat itu seolah makin mendekati kenyataan setelah hari-hari mereka diisi dengan perdebatan mengenai Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Apalagi setelah Robi diperdengarkan rekaman audio bermateri jihad yang tersimpan di gawai milik saudara perempuannya itu.
“Mungkin tidak lama lagi kamu ditangkap,” celetuk Robi kepada Ika pada satu sore di 12 Desember 2016.
Benar saja. Tiga hari setelah obrolan itu, seratusan polisi juga pasukan Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88) menggerebek rumah keluarga yang dibangun dari upah Ika selama bekerja di luar negeri.
Ketika ditangkap, Ika yang sedang memasak untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad di mushala –yang berjarak 150 meter dari rumah, tak melawan.
Sementara polisi menggeledah seisi rumah, Robi masih tertidur pulas di tempat lain selepas adzan dzuhur. Ia baru dibangunkan seorang teman lantaran banyak polisi di rumahnya. Semula Robi tenang saja. Namun ketika ia ingat saudara perempuannya, Robi terperanjat dan langsung tergopoh-gopoh menuju rumah yang sudah lama tidak ia tinggali. Begitu sampai, ia mendapati saudara perempuannya berteriak “tolong”.
Keluh bercampur takut, Robi menyaksikan pengerahan ratusan polisi ke kampungnya. Baginya, jumlah polisi yang dikerahkan ketika itu berlebihan.
“Banyak banget toh pak? Cuma mau menangkap satu orang. Ini perempuan yang mau ditangkap pak, yang di bawa banyak sekali ini,” tanya Robi ketika penangkapan.
Penggeledahan itu dilakukan karena polisi curiga, buruh migran yang tidak diperpanjang visa kerjanya ini menyimpan bahan peledak. Tapi Robi mencoba mementahkan kecurigaan itu.
“Dia itu tidak menyimpan ada apa-apa. Yang dikatakan bom itu, terus terang tidak ada, Jadi bapak selidiki sampai seminggu pun tidak ada apa-apa,” kata Robi meyakinkan Polisi.
Benar saja, bom yang dicari hingga jelang malam tak ditemukan. Densus 88 hanya menyita sejumlah barang seperti buku, telepon seluler, paspor, dan langsung menggelandang Ika ke Ibukota.
“Dia bilang tolong…tolong, saya bilang tidak usah melawan,” kata Robi mengingat percakapan terakhirnya dengan Ika.
Sesaat sebelum diboyong Polisi, Ika sempat menitipkan pesan di selembar kertas polos putih. Ia ditulis halus tegak bersambung. Di paragraf awal, Ika meminta Robi menjenguknya ke Mako Brimob di Kelapa Dua Depok, Jawa Barat, satu hari nanti. Namun, hingga ia divonis empat tahun penjara pada Oktober lalu, Robi belum bisa memenuhi permintaan tersebut.
Selama persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ika dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana terorisme dalam rentang 2014-2015. Pada tahun itu, perempuan kelahiran 1981 ini mulai berinisiatif membangun kontak dengan jaringan ISIS di Indonesia melalui online.
Mula-mula, Ika merekrut Riswandi alias Abi Zaid. Mereka tak pernah bertatap muka dan hanya menjalin komunikasi melalui media sosial serta aplikasi pesan instan. Terakhir, Abdullah Azzam yang dikenal Riswandi lewat grup Telegram bernama Waiddu bergabung dengan sel kecil bentukan Ika pada September 2015. Dia diplot sebagai pelaku peledakkan bom yang bakal dirakit oleh Riswandi.
Tapi sebagai penyokong dana, Ika yang berada di Hong Kong, butuh seseorang yang bisa dipercaya menjadi “mata” untuknya di Indonesia. Kepercayaan diberikan pada Zaenal Akbar, pria yang dikenalnya melalui media sosial. Keduanya menikah secara online pada pertengahan 2015 meski tak pernah bertatap muka.
Tapi dari semua orang itu, tak ada yang punya pengalaman dalam melakukan aksi teror. Berusaha menambal kekurangan tersebut, Riswandi berinisiatif mempromosikan Abu Jundi, pria dengan rekam jejak mumpuni dalam kelompok Islam ekstrim di Indonesia.
Jundi bergabung dengan Jamaah Anshorut Tauhid pimpinan Abu Bakar Baasyir pada 2008 dan memilih “melompat” ke kelompok Katibul Iman pimpinan Abu Husna tujuh tahun kemudian. Dalam kelompok tersebut dia berperan merekrut ikhwan untuk melakukan aksi amaliyah.
Bak gayung bersambut, niat Ika memperluas jaringan bertemu dengan keinginan Abu Jundi mendapatkan pendanaan. Rencana disusun, mereka pun merencanakan peledakan di Bandung, Jawa Barat.
Meski rencana peledakan itu batal, Ika kadung mentransfer uang secara bertahap hingga berjumlah Rp 11,4 juta dari Hong Kong. Uang pertama sebanyak Rp 1,4 juta dikirim kepada suaminya Zainal Akbar melalui toko Indonesia di kawasan elite Tseung Kwan O.
“Uang gaji saya pisah-pisah buat ini (melakukan aksi). Ketika ketemu sama suami, saya kasih ke suami saya sekian, ini ke sekian,” ungkap Ika di persidangan.
Tapi alih-alih dibelikan bahan pembuat bom dan senjata pelontar anak panah crossbow, uang yang dikirimkan Ika hanya dibelikan airsoftgun M84 seharga Rp 3.350.000. Sedang sisanya ditilep kemudian dibelikan mesin pembuat mi oleh Abu Jundi. Soal ini, Ika baru tahu di Persidangan.
Sejumlah transferan antar-negara ini rupanya berbuntut panjang pada tahun berikutnya. Jakarta mulai mengendus polahnya di Hong Kong. Ika mendapat kabar itu kali pertama dari suaminya yang lebih dulu ditangkap Densus 88. Melalui sambungan telepon, Ika diminta untuk menjauhi media sosial. Ia manut saja.
Akan tetapi, usaha sembunyi itu berakhir lebih cepat. Pada September 2016, Ika memutuskan untuk melakukan aksi bom bunuh diri di Tanah Air. Keputusan tersebut dibuat Ika setelah Imigrasi Hong Kong tak memperpanjang visa kerjanya yang jatuh tempo pada pertengahan Oktober 2016.
“Waktu itu banyak ingin pergi ke Suriah tetapi tidak bisa karena sulit. Dari situ, kalau tidak salah Jubirnya Daulah, mereka memberikan arahan kalau memang tidak bisa untuk hijrah yasudah bikin amaliyah saja di negara masing-masing,” kata Ika di hadapan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Terorisme di Jakarta.
“Kalau saya lihat dari situ, Daulah itu berada di jalan yang benar. Kan kita kalau mau tahu benar atau salahnya itu kan Islam harus sesuai dengan Alquran dan Al-Sunnah itu,” sambungnya.
Kami sempat mendatangi rumah mantan majikan Ika di Tseung Kwan O, Hong Kong. Namun, yang bersangkutan enggan ditemui dan hanya mau berkomunikasi lewat interkom di depan apartemen.
“Ika tidak pernah melakukan kesalahan,” ujar majikan Ika.
Rekam jejak Ika sebagai buruh migran memang tanpa cela. Orang dekatnya menyebut bahwa dia kerap diberi pakaian dan perhiasan oleh majikannya.
“Imigrasi tidak kasih izin tinggal,” ujar majikan menyayangkan.
Ketika perpanjangan visa kerjanya ditolak imigrasi Hong Kong pada September 2016, Ika sudah tahu bagaimana nasib dia selanjutnya. Ika pun memilih pulang ke Indonesia.
Selama 1,5 bulan tinggal di rumah, Ika lebih banyak mengobrol dengan Robi daripada anggota keluarga yang lain. Keduanya kerap berdebat mengenai agama dan negara. Ika ngotot dengan negara Islam, sedang Robi cenderung abangan.
“Dia bilang Jihad jaminan masuk surga. Siapa yang menjamin saya bilang? Ya pasti sudah jamin masuk surga, katanya. Lalu saya bilang, siapa pimpinan kamu suruh ke sini, nanti suruh ngomong ke saya. Kalau dia bisa menjamin masuk surga, itu nggak benar. Kalau manusia tidak mungkin, yang bisa menjamin masuk surga itu bukan manusia,” tegas Robi mengingat percakapannya dengan Ika.
Perdebatan seperti itu berlanjut tiap malam. Ika tidak lagi bisa menerima masukan selain narasi yang ia bangun selama bekerja di Hongkong. Ika menutup diri. Ia mengenakan niqab yang hanya menyisakan area sekitar mata untuk dikenali. Ini berbeda dengan ingatan Robi 10 tahun silam. Ia mengenal Ika sebagai sosok tomboi, banyak teman, sekaligus suka berhura-hura. Meneguk minuman keras sudah menjadi kegiatan rutin sepulang dari luar negeri.
“Kamu di sini saya bilangin susah. Saya bisa bunuh kamu. Jadi kamu jangan merasa punya jaringan basis Islam sehingga kamu merasa kuat, jangan,” kata Robi yang mulai meradang saat itu.
Betapun kesalnya Robi terhadap Ika saat ini. Robi merasa bertanggungjawab atas keadaan saudara perempuannya itu. Ia ingin segera berada lebih dekat dengan Ika, tetapi tidak di Jakarta. Buatnya, jarak antara Purworejo-Ibukota sejauh sepuluh jam tidak bisa dilipat dengan uang yang kini ia punya.
“Jangan dicampur sama temannya yang juga teroris. Setelah vonis, saya minta pindah ke Semarang. Biar saya yang kasih masukan, biar saya nanti tinggal di Semarang agar bisa tiap hari ketemu. Biar dia jadi tanggungjawab saya,” harap Robi.
Berdasarkan penelitian InstitutePolicy Analysis of Conflict (IPAC), terdapat puluhan perempuan lain yang terlibat aktivitas pro-ISIS di Hong Kong. Dari negara itu, Ika bergerilya lewat akun Facebooknya untuk berbagi materi Jihad. Mulai dari konten yang bersumber dari situs Ar-Rahmah, VOA Islam sampai video yang diklaim sebagai tindakan terhadap orang kafir. [Liputan ini hasil kolaborasi KBR dengan CNN Indonesia dan Jaring.id]