April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Indonesia Dilanda Kekeringan Panjang, Sholat Istisqa Banyak Digelar Di Berbagai Daerah

3 min read

JAKARTA – BMKG memperkirakan 64,94 persen wilayah Indonesia mengalami curah hujan kategori rendah (di bawah 100 mm/bulan) pada bulan Agustus 2019.

BMKG menyatakan akan terjadi kekeringan panjang musim kemarau 2019. Hal ini disebabkan beberapa faktor yaitu fenomena El Nino, kuatnya Muson Australia, dan anomali peningkatan suhu udara akibat perubahan iklim.

Adi Ripaldi, Kepala Sub Bidang Analisa dan Informasi Iklim BMKG menyampaikan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia masuk musim kemarau sejak Mei-Juni 2019.

BMKG sudah memprediksi periode kemarau tahun ini (Mei-Oktober) akan lebih kering dibanding tahun 2018. Sehingga, perlu kewaspadaan dan antisipasi lebih dini dari pemerintah dan masyarakat.

“Berdasarkan pantauan BMKG hingga Awal Agustus 2019, beberapa wilayah sudah mengalami kekeringan meteorologi level ekstrim dimana tercatat ada daerah yang sudah lebih dari 60 hari tidak ada hujan, bahkan lebih lebih dari 90 tidak ada hujan. Kondisi ini tentu akan memiliki dampak lanjutan terhadap kekeringan pertanian dan kekurangan air bersih masyarakat.

Selain itu, ancaman gagal panen bagi wilayah-wilayah pertanian tadah hujan semakin tinggi. Kolaborasi BMKG dengan ACT sebagai lembaga kemanusiaan, akan terus berlangsung yaitu dengan memberikan update ke tim ACT terkait hasil monitor dan peringatan dini terkait wilayah-wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan, ungkapnya.

Sejalan dengan itu, Wahyu Novyan, Director Social Distribution Program (SDP) ACT menambahkan saat ini hampir 3,5 juta warga menjadi korban dampak kekeringan. Saat ini, bahkan 55 kota/kabupaten, 28% provinsi telah terdampak artinya lebih dari 2/3 dari total semua provinsi di Indonesia.

“Hasil dari pemetaan kita, ada lingkaran setan yang perlu diputus. Hal ini karena kemarau yang muncul merupakan dampak dari perubahan iklim yang ekstrem di dunia hingga pemanasan global yang dapat berdampak pada kekurangan gizi pada anak, kemiskinan hingga kematian, jika terus dibiarkan ini dapat menyebabkan lost generation. Hal ini yang perlu dijadikan perhatian utama.

Wahyu juga menambahkan, kekeringan memang bukan bencana yang bisa secara langsung berdampak pada kematian, namun kekeringan merupakan bencana yang sangat laten.

Di musim kemarau, akan terdapat banyak kemungkinan peningkatan penyebaran hepatitis A, tifus, malaria hingga demam berdarah, dan penyakit lainnya.

Meskipun, semua ini akan dipengaruhi juga tingkat keparahan kekeringan di daerah tersebut dan ketahanan fisik warganya. Selain itu, secara jangka panjang pengaruh buruk kekeringan panjang akan berdampak peningkatan stunting bagi anak-anak. Hal ini karena dengan bencana kekeringan ekstrim ini akan mempengaruhi pola makan, pola asuh hingga sanitasi pada warga yang terdampak, ungkapnya.

Sementara itu, data yang dihimpun, berdasarkan rangkuman BMKG mengenai bencana kekeringan di Indonesia selama 30 tahun, sejak 1979-2009, Jawa, menjadi pulau yang paling sering dilanda bencana kekeringan.

Berdasarkan monitoring hari tanpa hujan (HTH) berurutan umumnya wilayah DIY, terjadi dalam periode 31 hingga 60 hari. Kondisi ini berpotensi kekeringan meteorologis berkurangnya curah hujan dari keadaan normalnya dalam jangka waktu yang panjang bisa bulanan, dua bulanan, tiga bulanan.

“BMKG sudah memprediksi periode kemarau tahun 2019 ini (Mei- Oktober) akan lebih kering dibanding tahun 2018, sehingga perlu kewaspadaan dan antisipasi lebih dini dari pemerintah maupun masyarakat,” kata Kepala Stasiun Klimatologi Mlati BMKG Yogyakarta, Reni Kraningtyas dalam keterangannya, seperti dilansir dari KRJogja.com.

Kekeringan yang dimaksud adalah kekeringan meteorologis yaitu berkurangnya curah hujan dari keadaan normalnya, dalam jangka waktu yang panjang (bulanan, dua bulanan, tiga bulanan).

Menurutnya, periode pancaroba peralihan musim kemarau ke musim hujan diprakirakan akan berlangsung bulan September hingga Oktober 2019.

“Awal musim hujan 2019/2020 diprakirakan lebih lambat 1-2 dasarian (10-20 hari),” ucapnya.

Reni mengimbau kepada masyarakat agar dapat mengantisipasi kekeringan meteorologis yang terjadi dengan bijak mengelola ketersedian air yang ada. Hal itu disebabkan ketersediaan air tanah berkurang.

“Untuk petani harus bijak menentukan pola tanam dan menentukan masa tanam. Sementara bagi masyarakat umum agar menghemat air bersih, karena ketersediaan air tanah berkurang. Tidak lupa menjaga stamina serta kesehatan pada musim kemarau, udara lebih dari pada biasanya,” pungkasnya.

Sementara itu, jutaan umat Islam di berbagai pelosok Indonesia banyak yang melaksanakan Sholat Istisqa sebagai bentuk tawakkal mereka mengharap kemurahan Allah SWT segera mengakhiri kemarau panjang dengan berbagai dampaknya.

Dalam pantauan ApakabarOnline.com, selain di Solo, di Pekanbaru, Sumbawa NTT, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan beberapa wilayah lainnya secara beruntun menggelar sholat tersebut. []

Advertisement
Advertisement