Inspiratif, Disaat Banyak Wanita Memilih Menjadi PMI Karena Didesak Ekonomi, Janda 3 Anak Ini Memilih Bergelut Dengan Bebatuan Andesit

KUDUS – Sebagai salah satu daerah pengirim pekerja migran Indonesia, saat berhadapan dengan kesulitan ekonomi, di daerah ini, banyak perempuan yang memilih menjadi PMI ketimbang bertahan di kampung halaman. Namun bukan berarti mereka yang tertimpa kesulitan, satu-satunya jalan hanyalah merantau ke negara orang.
Kisah perempuan asal Dukuh Lemah Sawah, Desa Jurang, Kecamatan Gebog, Kudus Jawa Tengah ini membuktikannya, dari kampung halaman, tetap bisa berdaya tanpa harus pergi jauh hingga tak mampu lagi mendekap anak-anaknya.
Dinukil dari Beta News, perempuan tersebut bernama Kartini. Berusia 37 tahun, Kartini merupakan pemilik usaha kerajinan batu Selo Waskito. Profesi yang identik dengan kaum adam, dijalani Kartini karena sebuah latar belakang.
Dia mengatakan, usaha kerajinan dari batu bernama Selo Waskito dirintis oleh Almarhum suaminya sejak 2008. Menurutnya, usaha kerajinan batu tersebut pelanggannya sudah lumayan banyak ketika sang suami masih hidup.
“Pembuatan kerajinan dari batu juga sudah menggunakan mesin. Namun, sayang usaha saya ini pernah tertimpa musibah tanah longsor. Semua mesin tertimbun tanah. Lebih nahas lagi tidak berselang lama suamiku meninggal karena penyakit,” ujar Tini kepada betanews.id dengan raut muka sedih, Selasa (20/10/2020).
Perempuan yang tinggal masih satu desa dengan tempat usahanya itu mengatakan, setelah suaminya meninggal, otomatis usaha kerajinan batu Selo waskito berhenti total. Sebab, sebelumnya ia memang tidak tahu menahu tentang usaha kerajinan dari batu. Karena dulu itu dihandel semua oleh almarhum suaminya.
Dia mengaku, saat itu kebingungan antara melanjutkan usaha kerajinan batu tersebut atau tidak. Namun, atas dorongan dan suport sahabat mendiang suaminya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan usaha peninggalan suaminya tersebut.
“Saat itu, banyak teman suami yang bilang agar usaha kerajinan batu suami dilanjut saja. Sayang, sebab sudah punya banyak pelanggan. Saya pun menyetujuinya. Serta mempekerjakan dua orang perajin,” ungkapnya.
Perempuan yang sudah dikaruniai tiga anak itu menuturkan, mulai usaha kerajinan batu dari nol. Lokasi kerja terkena longsor diperbaiki. Mesin gergaji batu yang tertimbun tanah longsor diperbaiki dan disetting ulang. Setelah siap semua, kemudian mulai beroperasi. Dia mengatakan, memproduksi aneka perabot dari batu.
Di antaranya, cobek plus ulekan di jual mulai Rp 25 ribu sampai Rp 350 ribu. Harga tergantung diameter cobek. Ia juga produksi lumpang plus alu yang dijual dengan harga Rp 50 ribu hingga Rp 300 ribu. Harga ditentukan oleh ukurannya. Ada juga wastafel yang dibandrol mulai Rp 700 ribu sampai Rp 1,5 juta. Khusus untuk wastafel harga ditentukan oleh ukuran serta jenis batunya.
“Kalau pakai bahan batu andesit agak murah, yang agak mahal itu wastafel berbahan batu marmer lokal. Saya juga menerima pesanan pembuatan batu nisan, cepuri pusara orang meninggal, meja batu, terus umpak penyangga saka dan lain sebagainya. Pokoknya apa yang dipesan pelanggan, kami layani,” ungkapnya.
Dia mengatakan, selain cobek, ulekan, lumpang dan alu, ia memproduksinya saat ada pesanan saja. Namun, untuk perabot dapur pengulek dan penumbuk bumbu itu dia produksi setiap hari. Sebab memang ada beberapa bakul yang siap menampung hasil kerajinannya tersebut. Bahkan saat ini sebenarnya ada banyak pesanan, tapi dia mengaku terkendala bahan baku.
“Bahan baku selama ini kami disetori batu dari pegunungan dan sungai dari Desa Rahtawu. Namun sayangnya itu, karena proses pengambilan batunya itu manual, jadi pengiriman batu bahan dasar cobek dan perabot lainnya itu sering telat,” tuturnya.
Dia berharap usahanya tersebut makin lancar dan berkembang. Pelanggan makin banyak. Sebab hanya usaha itulah tumpuan penghasilannya untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan membiayai ketiga anaknya. “Semoga usah saya diberi kelancaran oleh Sang Kuasa,” tutupnya. []