Islam Mengutuk Segala Bentuk KDRT
JAKARTA – Dunia media sosial sedang ramai dengan dugaan adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh seorang artis ternama. Lebih-lebih, suami dari artis tersebut merupakan artis juga.
Seperti apa respon Al-Qur’an terhadap kekerasan dalam rumah tangga? Perlukah sebenarnya seorang istri menuntut keadilan ketika diperlakukan secara kasar fisik oleh suaminya?
Allah berfirman dalam Surah An-Nisa 4/: 34:
Artinya : “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
Ayat ini membahas tentang wanita-wanita yang berpotensi melakukan nusyuz atau membangkang kepada suaminya. Menurut makna leterlek ayat di atas, jika setelah diberikan nasihat dan pisah ranjang masih saja melakukan perbuatan tersebut, maka kalau perlu pukullah mereka.
Dalam kaitannya dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), Tafsir Kementerian Agama 2002 memberi penjelasan bahwa maksud ‘memukul’ pada ayat di atas adalah perintah yang tidak mutlak. Dalam tafsirannya, Kemenag menggunakan kalimat ‘(kalau perlu) pukullah mereka’. Ini sebagai bukti bahwa memukul bukan perintab mutlak, tetapi hanya ketika diperlukan saja.
Sedangkan Fakr al-Din ar-Razi memberikan kriteria memukul yang diperbolehkan, yaitu: tidak menyebabkan luka dan membahayakan, tidak terus memukul di satu bagian badan saja, tidak memukul wajah, tidak sampai 20 kali pukulan, menggunakan handuk yang terlipat atau tangan, tidak menggunakan cambuk atau tongkat.
Fazlurrahman, seorang tokoh tafsir kontemporer, menjelaskan bahwa, maksud memukul dalam ayat di atas tidak bisa dilepaskan dari kondisi dimana ayat itu turun. Sehingga perlu adanya penelaahan lebih jelas terkait sebab turunnya ayat ini.
Menurutnya, ketika ayat ini turun, umat Islam di Madinah terpukul setelah perang Uhud. Keadaan saat itu rentan sangat rentan dengan perpecahan. Fakta kasusnya terjadi pada perempuan Madinah bernama Habibah Ibn Zaid yang ditampar oleh suaminya setelah ia tidak taat kepada suaminya. Dalam arti yang lain, memukul tanpa adanya balasan hanya dibenarkan dalam konteks masyarakat yang rentan dengan perpecahan.
Berbeda dengan pandangan di atas adalah pendapat Muhamad Shahrur. Baginya, kata wadribuhunna dalam ayat di atas tidak diartikan sebagai pukulan fisik. Kata daraba tidak bisa diartikan sebagai pemukulan fisik jika tidak dibarengi dengan objek tubuh yang fisikal seperti tangan, kaki, atau kepala.
Kata daraba, lanjut Shahrur, jika diikuti dengan seseorang seperti perempuan dalam Surah An-Nisa 4/: 34 maka tidak dapat diartikan kecuali dengan arti “ambil langkah tegas dalam kasus ketiadaktaatan itu” setelah usaha nasihat dan pisah tempat tidur tidak membuahkan hasil. Ink sebagai langkah yang dilakukan sebelum ke ruang perceraian.
Keterangan di atas menegaskan bahwa memang Al-Qur’an memberikan keterangan perintah suami untuk memukul istrinya saat membangkang setelah sebelumnya sudah dinasehati dan dipisah ranjang secara maksimal. Akan tetapi, maksud dari pukulan pada ayat ini adalah pukulan yang seringan mungkin, bukan melukai dan menyakiti. Kalau perlu, harus menggunakan alas yang dapat menjauhkan pukulan dari rasa sakit. Bahkan jika bisa, tidak usah dipukul, tetapi cukup dengan nasihat dan peringatan yang tegas.
Kesimpulannya, KDRT dibenci dalam Islam. Islam melarang keras tindakan kekerasan di dalam rumah tangga. Kalaupun harus ‘menukul’ istri, ada tahapan-tahapan sebelumnya yang wajib dipenuhi dengan maksimal. Itupun, dengan pukulan yang tidak sampai menyakitkan. Wallahu A’lam. []