Jalan Panjang Memuliakan Martabat Pekerja Migran Indonesia
2 min readIndonesia perlu belajar dari Filipina dalam mengatasi persoalan buruh migran. Negeri jiran itu menggunakan pendekatan ekonomi dalam menangani para pekerja migran, sehingga bisa memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian nasional.
Dengan mengubah paradigma penempatan buruh migran seperti itu, maka berbagai persoalan yang selama ini dialami para pekerja migran Indonesia bisa diatasi, seperti masalah perlindungan yang masih lemah dan maraknya calo tenaga kerja. Dari tahun ke tahun, persoalan itu tetap ada dan terkesan sulit untuk diatasi dengan tuntas.
Dengan melakukan perubahan paradigma penanganan buruh migran, kasus yang menimpa Adelina Lisao asal NTT yang bekerja di Malaysia, tidak akan terulang kembali. Adelina tewas karena diduga mengalami kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi oleh majikannya. Kematian Adelina memperpanjang daftar kematian buruh migran Indonesia asal NTT, yang selama 2017 mencapai 62 orang.
Dengan pendekatan ekonomi terhadap buruh migran, Indonesia bisa mengubah para pekerja itu menjadi sumber devisa terbesar. Saat ini, para buruh migran berada di urutan keenam sebagai penyumbang devisa terbesar Indonesia, di bawah ekspor kelapa sawit, pariwisata, ekspor tekstil, migas, dan batu bara.
Bank Dunia mencatat, pada 2016, kontribusi pengiriman uang dari para buruh migran ke negara asalnya (remitansi) mencapai US$ 8,9 miliar atau sekitar Rp 118 triliun. Realisasi itu setara dengan 1% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo Chaves menyebutkan, sumbangan remitansi itu berasal dari sekitar 9 juta orang yang bekerja di luar Indonesia.
Jumlah itu, ujar Bank Dunia, mencerminkan bahwa pendapatan para TKI jauh lebih besar ketika bekerja di luar negeri dibandingkan di dalam negeri. Rata-rata, para pekerja migran memperoleh penghasilan sekitar enam kali lebih besar ketika bekerja di luar negeri. Dengan penghasilan tersebut, kalkulasi Bank Dunia menunjukkan bahwa pendapatan para TKI mampu mengurangi kemungkinan rumah tangga jatuh miskin sebanyak 28 persen.
Dari 9 juta buruh migran, sekitar 55 persen bekerja di Malaysia, 13 persen di Arab Saudi, 10 persen di Taiwan, 6 persen di Hong Kong, 5 persen di Singapura, dan sisanya tersebar di negara-negara lain. Namun, mayoritas bekerja di sektor domestik, yakni pekerjaan-pekerjaan yang minim keterampilan, seperti menjadi asisten rumah tangga (ART) atau buruh pertanian dan perkebunan.
Masih berdasarkan data Bank Dunia, buruh migran yang bekerja sebagai ART atau pengasuh anak sekitar 32 persen, pekerja pertanian 19 persen, pekerja konstruksi 18 persen, dan pekerja pabrik 8 persen. Lalu, sekitar 6 persen bekerja sebagai perawat orang-orang lanjut usia (lansia), 4 persen pekerja toko, restoran, dan hotel, 2 persen sebagai sopir, dan hanya sekitar 0,5 persen yang bekerja di kapal pesiar.