April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Karena Masalah Upah, Ratusan Pabrik Pindah

3 min read

BANDUNG – Ratusan pabrik di Jawa Barat angkat kaki ke Jawa Tengah karena selisih upah. Kondisi ini terkait dengan kenaikan upah yang terjadi tiap tahun.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan ‘Emil’ Kamil menyatakan, dinamika upah tiap tahun ini, membuat beberapa industri gulung tikar dan pindah ke provinsi lain, bahkan ke luar negeri. “Sudah banyak pindah ke Jawa Tengah, jadi ini sudah lampu kuning,” kata Emil, di Bandung, Jawa Barat, Senin (19/11/2018) seperti dinukil dari Viva.co.id.

Emil memaparkan, di Bogor 10 perusahaan sudah susut, dari 50 ke 40. Kemudian di Purwakarta, dari 17 jadi 15. Lalu di Bekasi, dari 18 jadi nol.

Di Karawang, sejak tahun lalu 21 perusahaan memilih cabut dari Karawang karena tingginya upah minimum kabupaten ( UMK) Karawang. “Alasan mereka tidak mampu untuk membayar upah tinggi di Karawang,” kata Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Karawang Ahmad Suroto, Selasa (13/11/2018) lalu seperti dipetik dari Kompas.com.

UMK di Karawang termasuk yang paling tinggi. Dengan kenaikan 8,03 persen, pada 2019 naik dari Rp3.919.291 menjadi Rp4.233.226. UMK ini melampaui Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta Rp3.940.973.

Suroto menyatakan, perginya 21 perusahaan itu membuat 22 ribu orang kehilangan pekerjaan. Berdasarkan laporan kepada Disnakertrans, kata dia, pada 2019 ada lima perusahaan garmen yang bakal meninggalkan Karawang jika UMK kembali naik.

Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia, sejak 2012 sudah ada 120 perusahaan yang hengkang dari Jawa Barat karena perbedaan upah. Maka, kini tinggal sekitar 400 perusahaan tekstil di provinsi itu.

Ketua Asosiasi Ade Sudradjat mengklaim perbedaan upah buruh antara Jawa Tengah dan Jawa Barat mencapai sekitar 100 persen. Padahal lokasi dua provinsi ini sama sama berada di Pulau Jawa.

“Upah buruh di Jawa barat dua kali lipat dari upah buruh di Jawa Tengah. Ini yang menyebabkan banyak pabrik garmen pindah ke Jateng,” ujarnya kepada Pikiran Rakyat, Selasa (23/10/2018).

Menurut Ade, perusahaan itu pada pindah karena banyak demonstrasi di Jawa Barat yang menuntut upah naik. “Kebijakan upah lebih banyak dipengaruhi oleh politik,” ujar dia.

Ade menyatakan, perbedaan upah itu membuat daya saing produk tekstil di Jawa Barat menjadi rendah. ‎Perusahaan di jawa Barat membutuhkan ongkos produksi yang lebih mahal dibandingkan dengan di Jawa Tengah. Sementara pasar mereka sama-sama domestik.

Emil memastikan kondisi tersebut sudah masuk kategori waspada bagi ketersediaan lapangan pekerjaan. “Pertanyaan saya, kalau sudah begini, siapa yang tanggung jawab?” katanya.

Menurutnya, jika tuntutan kenaikan upah itu terus kebiasaan para buruh di tiap tahun, secara perlahan perusahaan akan banyak yang gulung tikar.

Standar upah di Jawa Tengah dan Jawa Barat sebenarnya tak jauh beda. Keduanya sama-sama provinsi dengan UMP papan terbawah di Indonesia. Dengan kenaikan upah yang reguler, dua provinsi ini menjadi 4 provinsi dengan upah terendah di Indonesia.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat UMP 2019 sebesar Rp1.668,372 atau naik 8,03 persen dari Rp1.544.360. Sedangkan Jawa Tengah, UMP naik Rp1.486.065 menjadi Rp1.605.396 tahun 2019.

Kementerian Ketenagakerjaan awal bulan ini menetapkan kenaikan UMP sebesar 8,03 persen. Kenaikan upah minimum provinsi itu masih berpatokan pada Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2015. Pasal 44 menyebutkan bahwa penghitungan UMP berdasarkan formula penambahan dari pertumbuhan ekonomi nasional (PDB) dan data inflasi nasional.

Formula ini yang diprotes buruh, sebab tak memasukkan komponen kelayakan hidup. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jawa Barat, Roy Jinto menyatakan, para buruh di Jawa Barat Senin kemarin berunjuk rasa minta kenaikan upah sebesar 20 persen.

“Intinya tadi mengenai keinginan kami agar upah minimum tidak berdasarkan PP 78 tahun 2015 dan karena secara hukum ada aturannya, yaitu Undang-undang nomor 13 tahun 2003,” ujar Roy seperti dikutip dari Tribun Jabar.[]

Advertisement
Advertisement