April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Kemilau Harapan dari Investasi Emas Batangan

3 min read

JAKARTA – Pekan lalu, harga emas dunia menyentuh rekor tertinggi dalam mata uang dolar AS. Demikian pula di Indonesia bila dilihat pada kurun Januari hingga Juli 2019 (per 05/07/2019) sempat mencapai Rp647.784 per gram pada 25 Juni.

Meski demikian, angka itu sebenarnya masih di bawah harga emas pada akhir 2018 yang menyentuh Rp677.000 per gram atau naik 5,25 persen dari akhir 2017 sebesar Rp632.000 per gram.

Ketika harga emas yang sebenarnya fluktuatif mengalami kenaikan cukup drastis, sebagian publik mulai meliriknya untuk dijadikan investasi. Godaan membeli emas batangan dianggap bisa memberi keuntungan, apalagi jika tren harganya naik terus.

Bagi mereka yang membeli emas pada 18 April 2019 saat harga masih Rp574.859 per gram, tentu keuntungan di depan mata bila menjualnya pada periode akhir Juni lalu. Namun, bagaimana jika membeli sekarang? Apakah harga relatif akan naik terus melebihi harga beli saat ini?

“Tidak ada jaminan. Bisa naik, bisa turun,” ujar Poltak Hotradero, Kepala Riset dan Pengembangan Bursa Efek Indonesia, Sabtu (06/07/2019).

Poltak memberi contoh, harga emas pernah naik terus selama 10 tahun –dari 1971 hingga 1981 ketika bank sentral AS, The Fed, melepas dukungan (backing) emas untuk cadangan devisanya. Namun sepanjang 20 tahun kemudian, harga emas anjlok karena The Fed menaikkan suku bunga.

Harga emas memang bergantung pada situasi perekonomian dunia. Kenaikan harga emas belakangan terjadi karena kekhawatiran eskalasi ancaman perang dagang antara AS dan Tiongkok.

Selain itu, harga emas bergantung sangat besar pada suku bunga bank sentral. Per Jumat (05/07/2019), harganya turun ke level Rp636.184 per gram karena kabar bahwa pengangguran di AS ternyata tidak setinggi prediksi sehingga The Fed diperkirakan akan menaikkan suka bunganya.

Di Indonesia, harga emas juga dipengaruhi oleh kurs nilai tukar rupiah. Pernah suatu masa, harga emas dunia turun tapi di Indonesia justru naik karena nilai tukar yang lemah.

Poltak yang mengaku konservatif menegaskan emas bukanlah instrumen investasi. Alasan utamanya adalah ketiadaan cash flow atau penghasilan berkala.

Ia pun menganalogikan tindakan investasi ibarat sebuah pohon. Jika pohon itu berbuah secara berkala, itu artinya ada cash flow. Ini yang dialami oleh saham perusahaan yang menjadi modal untuk membuat produk/jasa dan obligasi yang menghasilkan kupon.

“Emas tidak punya cash flow karena sifatnya spekulasi. Jika kita menjual emas, bisa ada yang beli atau bisa tidak. Tergantung kepercayaan,” tegasnya.

 

Hanya berdaya magis

Sebagai komoditas, emas tidaklah cukup berharga. Di pasar komoditas, emas hanya berada di urutan lima atau enam di bawah minyak bumi, kopi, dan tembaga. Penyebabnya, nilai tambah emas jauh lebih kecil dibanding komoditas lain dan relatif tak punya korelasi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Emas sebagai logam mulia menjadi berharga karena daya magisnya, terutama sejak digunakan oleh Mesir kuno. Bangsa Mesir kuno tak punya tambang emas tapi rajin membeli emas dari kawasan Nubia di selatan hingga mencapai Sudan di benua Afrika.

“Emas punya daya magis karena bentuknya tak berubah meski disimpan selama ribuan tahun. Nilai emas benar-benar karena alasan psikologis semata,” kata Poltak.

Jadi, apakah orang perlu membeli emas sebagai investasi atau menabung? Poltak tak berani melarang karena istrinya pun ikut tren membeli saat harga sedang naik.

“Emas perlu untuk diversifikasi, tapi jangan dijadikan instrumen investasi yang utama. Bila Anda beli baja sebanyak 1 ton, Anda bisa menghasilkan produk turunannya. Tapi jika beli emas 1 ton, Anda tak akan mendapat produk turunan,” katanya.

Selain Mesir kuno, praktik menyimpan emas batangan dilakukan oleh bank sentral untuk menjamin cadangan devisanya. Namun, hal itu kini tak lazim lagi.

Poltak menyebutkan negara terakhir yang masih menggunakan emas sebagai penjamin cadangan devisa adalah Swiss. Itu pun karena mandat UU dan jumlahnya tidak besar, hanya sekitar 20-30 persen.

Cadangan devisa tidak lagi menggunakan emas karena sifatnya tidak likuid atau tidak bisa digunakan seketika dibutuhkan. Cadangan devisa yang lazim digunakan seluruh bank sentral di dunia, termasuk Bank Indonesia, adalah surat utang negara lain.

Bahkan Arab Saudi menyimpan cadangan devisa dalam bentuk dolar AS karena nilai perdagangannya yang paling dalam. Nilai transaksi dolar AS di pasar uang bisa mencapai $1,5 triliun.

“Bank Sentral Venezuela sempat menukar cadangan devisa dalam bentuk surat utang ke emas. Kini mereka bangkrut karena emas tak bisa digunakan untuk pembiayaan darurat negerinya,” tutur Poltak.

Analogi lain, yang disebutkan Poltak, adalah ban serep. Bila seseorang punya uang untuk ditabung, lakukan seperlunya seperti ban serep yang hanya perlu satu. Sisanya patut dijadikan investasi ke saham atau obligasi untuk dipetik hasilnya dalam jangka panjang atau di atas lima tahun. [HN]

Advertisement
Advertisement