December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Kesenjangan Ekonomi Turut Mendorong Tingginya Minat Warga Menjadi Pekerja Migran

4 min read

SURABAYA – Keinginan untuk sejahtera karena berasal dari daerah berkekuatan ekonomi tidak terkemuka mendorong kalangan warga Jawa Timur menjadi buruh migran hingga ke mancanegara. Padahal, di luar negeri, risiko berbahaya yang dihadapi bisa lebih tinggi daripada mimpi menggapai kesuksesan.

Dalam kesaksian di forum buruh migran di Surabaya, Jatim, Dwi Wulandari, warga Blitar, menyatakan, keluguan dan sikap terlalu percaya kepada sahabat malah menjerumuskannya dalam jebakan kejahatan.

Dwi sempat dipenjara lebih dari 7 tahun oleh otoritas Filipina dengan tuduhan terlibat sindikat narkotika internasional. Namun, Dwi berhasil membuktikan diri tidak bersalah dan kembali ke Tanah Air, lalu melanjutkan hidup dengan bekerja dalam dunia pariwisata di Bali.

Dwi mengatakan, Blitar, kampung halamannya, merupakan satu dari delapan kabupaten di Jatim bagian selatan yang tertinggal daripada pesisir utara. Dari banyak aspek, terutama perekonomian, kawasan Jatim selatan memang masih jauh untuk mengejar keunggulan bagian utara.

Salah satu indikatornya ialah besaran nilai upah minimum yang separuh, bahkan sepertiga, dibandingkan dengan kawasan utara. Meski di kampung punya sawah atau ladang, lanjut Dwi, kebanyakan mengamini bahwa budidaya pertanian akan lamban meningkatkan derajat kesejahteraan warga. Generasi muda yang kebetulan melek pendidikan atau melihat ketertinggalan daerahnya terdorong untuk merantau.

Tidak mengherankan jika kemudian Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi merupakan kantong pengirim buruh migran besar di Jatim. Apalagi statistik nasional menyatakan, empat tahun terakhir, Jatim adalah provinsi yang kalangan warganya terbanyak se-Indonesia menjadi buruh migran mancanegara.

Luar negeri menjadi pilihan karena upah yang dijanjikan jauh lebih tinggi daripada bekerja di kota-kota terkemuka di Nusantara, apalagi di daerah sendiri. Padahal, tidak sedikit buruh migran yang berangkat dengan modal nekat atau keberanian yang terbungkus keluguan. Misalnya, Dwi yang awalnya tergiur upah besar akhirnya terjebak untuk dijerat dalam aktivitas sindikat narkotika.

Asep Maulidi, pegiat perburuhan dari Pulau Bawean, Gresik, mengatakan, wilayah di Laut Jawa yang jauh di utara daratan Jatim ini juga menjadi kantong buruh migran mancanegara.

Setidaknya 70 persen lelaki Pulau Bawean merantau ke Malaysia, Singapura, Australia, dan Taiwan. Akibatnya, pulau tersebut dijuluki ”Pulau Putri” karena nyaris hanya ditinggalkan oleh kaum perempuan.

Maulidi mengatakan, kalangan warga Bawean awalnya masuk mancanegara, terutama Malaysia, secara ilegal untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal, risiko mereka amat tinggi dari tertangkap hingga terbunuh. Namun, mereka percaya upah yang bisa didapat jauh lebih tinggi daripada di Jatim atau Indonesia untuk peningkatan kesejahteraan sehingga risiko berani ditanggung.

”Namun, sepengamatan saya, saat ini jalur-jalur ilegal ditinggalkan karena di negara tujuan sudah ada kerabat yang kemudian menjadi semacan guide (pemandu),” kata Maulidi.

 

Meraih impian

Hal senada diutarakan oleh Camat Tambak, Pulau Bawean, Agung Endro Dwi Setyo. Banyak warganya yang merantau ke mancanegara dengan impian meraih penghidupan lebih baik. Situasi lebih baik memang tidak terwujud di negeri orang, tetapi diwujudkan dalam kehidupan keluarga di Tanah Air. Ada yang membangun rumah dengan megah, mempunyai kendaraan mewah, dan atau menjamin pendidikan anak-anak serta kesejahteraan hidup keluarga.

Namun, sepengamatan saya, saat ini jalur-jalur ilegal ditinggalkan karena di negara tujuan sudah ada kerabat yang kemudian menjadi semacam pemandu. (Maulidi)

Menurut catatan Bank Indonesia, pengiriman uang dari luar negeri atau remitansi ke Jatim pada 2020 mencapai Rp 6,58 triliun melalui 1,071 juta transaksi. Nilai itu turun akibat pandemi Covid-19 dibandingkan dengan 2019 yang Rp 6,74 triliun melalui 1,035 transaksi.

Nilainya turun, tetapi bisa dianggap kurang signifikan karena penurunan terjadi dalam masa pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 yang memukul perekonomian global.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jatim Hiwan Estu Bagijo mengatakan, buruh migran mutlak memiliki pengetahuan, kompetensi, dan kewaspadaan. Berbagai kemampuan itu amat dibutuhkan sebagai bekal merantau dan bekerja di mancanegara sehingga menekan risiko dijerumuskan sebagai korban atau bagian dari suatu kejahatan.

”Selain itu, tempuhlah jalur-jalur resmi untuk penyaluran tenaga kerja ke luar negeri,” kata Hiwan. Cara lainnya, percayalah bahwa rezeki lebih baik bisa didapat dengan bekerja di dalam negeri.

Direktur Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Jatim Anwar Sholihin menyatakan, persoalan buruh migran bukan sekadar yang berangkat ke mancanegara, melainkan yang bekerja secara domestik tetapi harus merantau ke luar kabupaten, provinsi, atau pulau. Di dalam negeri, buruh migran juga rentan menjadi korban atau dijebak menjadi bagian dari suatu kejahatan.

”Perlindungan terhadap buruh migran, terutama keluarga yang ditinggalkan, sepatutnya berlaku juga bagi yang bekerja di dalam negeri,” kata Anwar.

Diskriminasi sosial menjadi beban hidup karena stigma disebut anak ATM (anjungan tunai mandiri), anak oleh-oleh, anak onta, bahkan anak haram, serta ”dimaklumi” ketika berperilaku nakal, genit, atau menyimpang. Ada juga yang menjadi korban kejahatan seksual orangtua (ayah atau ibu), kerabat (paman, bibi, kakek, nenek, saudara), bahkan dilacurkan.

”Dalam pemikiran kami, bagaimana daerah kantong-kantong buruh migran dapat meningkatkan daya saing menjadi cukup terkemuka dan menarik sebagai ladang pekerjaan warganya,” ujar Anwar.

Sementara itu, upah minimum di sejumlah kabupaten di Jatim yang terendah dialami oleh Magetan, Ponorogo, Trenggalek, Situbondo, Pamekasan, dan Sampang dengan nilai Rp 1,938 juta. Upah minimum tertinggi ada di Surabaya, ibu kota Jatim, senilai Rp 4,3 juta yang diikuti oleh Gresik dengan Rp 4,297 juta dan Sidoarjo Rp 4,293 juta.

Di kawasan Surabaya Raya (Surabaya, Gresik, Sidoarjo) itulah yang menjadi sasaran alternatif bagi buruh migran untuk mencari pekerjaan sehingga tidak perlu ke luar negeri. Namun, risikonya serupa, yakni meninggalkan keluarga, terutama anak-anak. []

Sumber Kompas.id

 

Advertisement
Advertisement