April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Ketika Emak-Emak Mantan PMI Menjadi Pembatik

3 min read

TEGAL – Jika biasanya membatik dengan cara cap dan menggunakan canting, tapi ibu-ibu di Desa Purworejo Kecamatan Ringinarum justru  menggunakan limbah daun sebagai media dasar pembuatan batik alami.

Dengan menempelkan daun jati atau daun koropelik diatas, ibu-ibu ini  mendapatkan motif dan warna pada kain. Di atas selembar kain putih dengan ukuran 200 cm x 115 cm, lembaran daun jati ditata rapi diatasnya. Sebelumnya, di bawah kain terlebih dahulu dilapisi dengan plastik bening yang telah dibentangkan sebagai alas kain.

Hikmah Fitria Prabandani,  Relawan Inspirasi Rumah Zakat yang melakukan pemberdayaan di Desa Purworejo mengatakan, inisiatif para ibu-ibu purna migran membuat batik dengan motif dan bahan dasar daun jati dilakukan setelah mendengar dari daerah lain melakukan hal yang sama.

Di sini kita mencoba melakukan hal yang berbeda, Alhamdulillah hasilnya bagus dan banyak yang suka, kata Hikmah, Jumat (26/03/2021).

Daun jati dan daun lainnya yang digunakan sebagai motif sekaligus bahan dasar pembuatan batik didapat dari sekitar rumah para pengrajin batik.  Proses pembuatan batik daun jati yang diberi label batik Srikandi tidak membutuhkan waktu lama. Waktu yang diperlukan cukup lama hanya diperlukan saat mempersiapkan kain yang akan dibatik.

Sebelum dibatik, kain terlebih dahulu direbus dengan air mendidih selama 3 jam. Setelah ditiriskan dan menjadi dingin, kain lalu direndam selama 6 jam, kemudian diangin-anginkan.

Fungsi dari proses yang dilakukan supaya warna dari daun bisa meresap ke kain, ujarnya.  Kain yang telah diproses tersebut kemudian ditempeli beberapa daun jati ataupun daun yang lain, yang diinginkan sebagai motif batik. Setelah semua daun jati tertata rapi, kemudian kain dengan perlahan dilipat rapi, diikat kuat dan direbus kembali selama dua jam.

Usai direbus kain lalu diangin-anginkan kembali dan dikunci dengan cara dicelup sebentar dengan air bersih. Jadi prosesnya hanya sebentar. Sehari saja sudah cukup untuk memproduksi batik dari daun jati, ungkapnya.

Harga untuk batik hasil kerajinan emak-emak yang pernah menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) ke luar negeri dibandrol dengan harga Rp200 ribu hingga Rp 250 ribu. Pemasaran batik berbahan dasar limbah alam diakui belum sampai merambah ke pasar nasional. Hingga saat ini, permintaan pasar masih sebatas pasar lokal Kendal.

Sebelum pandemi, sebulan omset bisa mencapai 20 batik. Namun, omset turun drastis saat dilanda pandemi dan baru 3 bulan terakhir mencoba kembali bangkit. Dalam sebulan sekarang bisa laku satu dua potong saja, karena ada pesanan, sebutnya.

Terkait dengan kualitas batik yang diproduksi, dia menegaskan, banyak warga di desanya yang sudah memakai dan membuktikan sendiri bahwa batik yang diproduksi tidak luntur. Warga banyak yang sudah memakai mulai dari 1 tahun hingga lebih. Warna batik tidak memudar.

Yang terpenting saat mencucinya tidak dilakukan dengan kasar dan meminimalisir penggunaan deterjen pada kain batik, ucapnya.

Dipilihnya batik dengan pewarnaan alami disebabkan karena sudah banyak produksi pabrik yang menggunakan pewarna kimia. Pewarna dari bahan alami disebutkan tidak menyebabkan iritasi pada kulit pemakainya.

Seorang pengrajin batik daun jati, Nurhayati mengatakan, dalam membuat batik, awalnya banyak sekali kesulitan yang ditemui. Kesulitan itu akhirnya bisa diatasi setelah melakukan banyak share pengalaman dengan para pengrajin yang lain.

Saya berharap, kain batik di Kendal ini bisa dikenal lebih luas seperti batik Solo maupun batik Pekalongan supaya kami lebih mudah saat memasarkannya, kata Nurhayati yang mengaku pernah menjadi TKW selama 9 tahun di luar negeri. []

Sumber Ayo Network

Advertisement
Advertisement