Ketika Instrumen BLK Tertinggal dari Perkembangan Teknologi Lapangan Kerja
JAKARTA – Keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) di Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas masih sangat terbatas. Infrastruktur BLK baik BLKLN (balai latihan kerja luar negeri) maupun domestik dinilai tertinggal oleh perkembangan teknologi yang digunakan kalangan industri. Demikian dikatakan Peneliti Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus.
Ia menjelaskan BLK yang di bawah binaan pemerintah pusat jumlahnya masih sangat kurang akibat terbatasnya anggaran yang dimiliki pemerintah. Kemudian BLK yang berada di bawah pemerintah daerah (pemda) kondisinya juga masih banyak yang telantar.
“Dari sisi infrastruktur, sehingga tidak sesuai dengan perkembangan teknologi yang digunakan oleh industri,” kata Ahmad, Minggu, (17/03/2019).
Oleh sebab itu, menurut Ahmad perlu ada kolaborasi antara pemerintah, dengan pihak swasta dan institusi pendidikan agar dapat meningkatkan skill tenaga kerja. Menurutnya perlu dilakukan revitalisasi BLK agar fungsi keberadaannya sesuai dengan yang dibutuhkan pasar.
“Pelatihan yang diberikan dalam berbagai sarana, belum cukup. Perlu diselaraskan dengan kebutuhan tenaga kerja. Revitalisasi BLK agar sesuai dengan kebutuhan pasar,” jelasnya.
Selain itu, adapun upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan fungsi BLK yakni dengan, memberdayakan lembaga kursus agar bermitra dengan BLK di seluruh daerah. Tujuannya agar dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Selain itu diperlukan juga Pembelajaran Berbasis Kegiatan Produksi (Teaching Factory / Production Based)
Sebelumnya dalam debat pemilihan presiden (pilpres) putaran ketiga yang diikuti oleh calon wakil presiden (cawapres) dari setiap pasangan kandidat pada minggu (17/3) para kandidat menyinggung peningkatan kualitas tenaga kerja. Cawapres nomor urut 01 Ma’ruf Amin mengatakan adapun salah satu caranya yakni dengan peningkatan pelatihan tenaga kerja melalui BLK. Sementara, cawapres nomor urut 02 menawarkan program Rumah Siap Kerja.
Peneliti INDEF Eshther Tri Astuti berpendapat bahwa program-program yang ditawarkan oleh para kandidat cawapres tersebut dapat dilaksanakan selama ada link and match antara calon pekerja, pusat pelatihan dan perusahaan yang siap menampung tenaga kerja tersebut.
“Menurut saya kedua program cawapres tentang rumah siap kerja dan balai kerja adalah program yang baik dan feasible untuk dilaksanakan,” katanya.
Esther menambahkan, dalam implementasinya, pemerintah tidak bisa menjalankan program ini sendiri. Dalam pelaksanaannya, perlu ada sinergitas antara tenaga kerja, pusat pelatihan dan industri.
“Pemerintah tidak bisa menjalankan program ini sendiri, tetapi kedua program ini harus menggandeng 3 aktor terkait,” jelasnya. [DP]