April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Kini PMI ABK Mendapat Jaminan Perlindungan

3 min read

JAKARTA – Pemerintah terus melakukan pembenahan tata kelola penempatan dan perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal berbendera asing. Salah satu langkah yang dilakukan dengan mengimplementasikan Undang Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

“Berbicara tentang perlindungan bagi PMI maka sesuai amanat undang-undang Nomor 18 tahun 2017 itu mencakup perlindungan PMI itu mencakup baik sebelum selama maupun setelah bekerja. PMI juga dilindungi dari sisi hukum, sosial, dan ekonomi,” ucap  Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam acara seminar bertajuk Melindungi ABK Indonesia di Kapal Asing yang berlangsung secara virtual, Rabu (14/04/2021).

Ida menuturkan regulasi tersebut juga ikut mengatur perlindungan dan hak dari  awak kapal perikanan Indonesia serta PMI dan keluarganya. Namun, Ida tidak menampik dalam kenyataannya masih terdapat  perbudakan modern di laut Indonesia masih melihat banyak hak-hak PMI yang dilanggar.

“Berbagai kasus yang menimpa awak kapal perikanan migran kita di kapal asing pada hakikatnya merupakan dampak yang ditimbulkan dari tahapan awal di dalam negeri hingga keseluruhan rangkaian proses penempatan,” ucap Ida.

Bila telusuri lebih jauh pada proses atau tahapan awal di dalam negeri untuk rangkaian proses penempatan awak kapal perikanan migran beberapa titik proses yang berpotensi menimbulkan berbagai masalah mulai dari proses pemberian izin bagi perusahaan yang akan menempatkan awak kapal, proses rekrutmen, pendataan, proses pelatihan, dan sertifikasi.

“Tahapan-tahapan tersebut kita lakukan evaluasi dan langkah-langkah pembenahan agar dampak masalah yang ditimbulkan nantinya pada saat mereka bekerja di atas kapal dapat kita tekan secara signifikan,” tutur Ida.

Menaker mengatakan untuk menjalankan pembenahan tentunya perlu keterlibatan, koordinasi, dan sinergi antar kementerian/lembaga guna mewujudkan tata kelola penempatan dan perlindungan awak kapal migran yang lebih baik. Menurutnya  berbagai regulasi nasional yang telah ada selama ini dalam upaya perlindungan awak kapal perikanan telah merujuk pada instrumen internasional walaupun belum secara utuh.

Ida menuturkan substansi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai perlindungan awak kapal dibuat berdasarkan instrumen internasional, yaitu Konvensi ILO mengenai maritim (Maritime Labour Convention) dan Konvensi ILO Nomor 188 mengenai Pekerja di Sektor Perikanan, serta aturan perundang-undangan nasional terkait lainnya, seperti di bidang pelayaran, kepelautan, serta perikanan. Melalui RPP tersebut agar memberikan perlindungan awak kapal perikanan mulai dari  sebelum selama dan setelah mereka bekerja.

Serta mengakomodasi sejumlah masalah yang terjadi yaitu permasalahan dualisme perizinan, lemahnya pendataan, dan koordinasi antar kementerian dan lembaga. Berikutnya yaitu rendahnya kompetensi awak Kapal Perikanan serta lemahnya pengawasan terhadap ABK.

“Kementerian Ketenagakerjaan juga senantiasa melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan penempatan pekerja migran, termasuk menempatkan awak kapal perikanan. Guna memastikan bahwa dalam operasionalnya perusahaan penempatan tidak melakukan pelanggaran aturan,” ucap Ida.

Ida mengatakan pendayagunaan potensi laut nasional beserta isi yang terkandung di dalamnya mutlak dilakukan untuk kepentingan bersama sehingga laut Indonesia dapat dimanfaatkan oleh rakyatnya sendiri.

“Dengan demikian para nelayan atau pun awak kapal perikanan Indonesia tidak perlu harus bekerja di kapal asing,” kata Ida.

Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan  dalam waktu setahun terakhir, BP2MI menangani 432 kasus ABK dan  dan kepulangan  ABK sebanyak 22.553 ABK dengan variasi kasus. Beberapa permasalahan yang dihadapi yaitu  gaji yang tidak layak , gaji yang tidak dibayarkan sepenuhnya. jam kerja yang tidak terbatas, kekerasan yang dialami oleh para ABK, kondisi kerja yang tidak manusiawi hingga tidak adanya jaminan sosial dan keselamatan kerja.

“Pokok permasalahan sulitnya penyelesaian penanganan kasus ABK perikanan ini adalah ketidakjelasan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK.  Kami berharap dengan  adanya UU 18 Tahun 2017 dan peraturan turunannya akan memberikan jawaban yang pasti  untuk tata kelola, penempatan dan perlindungan bagi ABK,” ucap Benny.

Salah satu kendala pemerintah adalah  tidak  adanya data tunggal yang valid  mengenai  jumlah ABK perikanan dan PMI secara umum. Pemerintah tidak bisa memberikan perlindungan secara maksimal bila tidak memiliki data yang pasti.

“Kondisi demikian dapat diantisipasi dengan meningkatkan koordinasi dan kerjasama seluruh pihak baik internal maupun ekternal termasuk masyarakat yang harus terlibat,” tutur Benny.

Benny menuturkan selama 11 bulan terakhir pihaknya telah melakukan tindak pencegahan melalui penggerebekan sebanyak 19 kali di lapangan. Dari hasil pencegahan tersebut, Ia menemukan calon pekerja migran Indonesia awak kapal perikanan berada di tempat yang sangat tidak layak, diberikan makan minum yang sangat tidak memadai.

ABK  tidak dibekali dengan pelatihan yang cukup untuk diberangkatkan bekerja. Bahkan mereka juga tidak memiliki pendidikan yang memadai dan cukup sebagai awal kapal perikanan.

“Kami juga pernah melakukan penggerebekan pada satu tempat yaitu di Garut, kurang lebih  ada 30 ABK yang mereka telah bekerja selama 2 tahun dan dikembalikan ke tanah air tetapi mereka tidak pernah menerima haknya,” ucap Benny.  []

Advertisement
Advertisement