Krisis Hong Kong Saat Ini Disebut yang Terparah Dalam 22 Tahun Belakangan
HONG KONG – Negara Hong Kong kini tengah menghadapi krisis terbesarnya dalam sejarah sejak dikembalikan Inggris ke China pada tahun 1997. Pernyataan tersebut membuat Pimpinan Kantor Hubungan Hong Kong dan Makau Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Zhang Xiaoming dalam sebuah pertemuan di Shenzhen pada Rabu.
“Krisis Hong Kong telah berlanjut selama 60 hari, dan semakin memburuk,” ujar Zhang, salah satu pejabat Cina paling senior yang mengawasi urusan Hong Kong sebagaimana dilansir Channel News Asia, Rabu 0(7/08/2019).
“Kegiatan kekerasan semakin meningkat dan dampaknya terhadap masyarakat menyebar lebih luas. Dapat dikatakan bahwa Hong Kong sekarang menghadapi situasi yang paling parah sejak penyerahannya,” jelasnya.
Seperti yang diketahui, Hong Kong, merupakan wilayah otonomi khusus Tiongkok, tengah menghadapi demonstrasi besar-besaran yang berujung dengan kekerasan dan kerusuhan dalam beberapa bulan terakhir. Hal tersebut berawal dari protes terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) ekstradisi yang memungkinkan tersangka dari Hong Kong untuk diadili di China daratan.
Akan tetapi, usai RUU tersebut ditunda pada Juni, para demonstrasi tidak juga berakhir dan berubah menjadi perlawanan langsung terhadap pemerintahan Hong Kong yang dipimpin oleh Carrie Lam, dan terhadap kewenangan China di sana.
Zhang sendiri menggelar forum yang mengikutsertakan delegasi dari Hong Kong ke dalam parlemen Tiongkok, Kongres Rakyat Nasional dan badan konsultatif utama China (CPPCC), untuk membahas krisis politik yang terjadi di teritorinya itu. Namun, tidak ada tokoh oposisi dan perwakilan demonstran yang diundang dalam delegasi tersebut.
Saat ini, Pemerintah China telah memperingatkan para demonstran untuk “tidak bermain api” agar tidak “binasa” menyusul protes dan kekerasan yang terus terjadi di Hong Kong.
Akan tetapi, sampai saat ini belum ada wacana untuk mengerahkan pasukan Tentara Rakyat China (PLA) yang memiliki garnisun di Hong Kong untuk memadamkan demonstrasi. Sampai saat ini, Beijing tetap percaya pada pemerintah Hong Kong dan polisi setempat untuk mengendalikan situasi. []