Marak PHK Besar-Besaran, Bagaimana UU Ciptakerja Beri Perlindungan ?
JAKARTA – Kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan PT. Hung-A Indonesia mencuat baru-baru ini. Perusahaan produsen ban asal Korea Selatan itu disebut-sebut bakal melakukan PHK sekitar 1.500 pekerjanya. Alasannya, perusahaan yang berlokasi di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat itu akan menghentikan operasional mulai Februari 2024. Beredar kabar, perusahaan tersebut berencana meninggalkan Indonesia, dan Vietnam bakal menjadi lokasi baru membangun pabrik.
Gelombang PHK menghantam berbagai industri padat karya dan padat modal di sejumlah daerah. Merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), selama Januari hingga November 2023 ada 57.923 karyawan yang terkena PHK. Namun, data ini beum mewakii keseluruhan PHK secara nasional. Dari jumlah tersebut, pekerja yang di-PHK terbanyak ada di Jawa Barat, yakni 17.545 orang. Diikuti Jawa Tengah 9.374 orang dan Banten 8.776 orang.
Menurut Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat, banyak perusahaan menggunakan PHK sebagai dalih untuk lepas tanggung jawab menunaikan hak pekerja.
“Semenjak ada undang-undang itu (UU Cipta Kerja), banyak sekali pekerja yang di-PHK tanpa pesangon,” ujar Mirah, Kamis (25/1/2024).
Tak diberikannya pesangon karyawan lantaran UU Cipta Kerja memberi keleluasaan perusahaan menggunakan pasal kerugian sebagai dalih. Kasus PT. Hung-A Indonesia, misalnya.
Dalam surat keterangan yang beredar, pabrik ban itu mengungkap beberapa alasan hingga akhirnya menghentikan operasional, antara lain pandemi Covid-19 yang memukul ekonomi dunia, peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia, serta dinamika hubungan perusahaan yang tak harmonis. Imbasnya, perusahaan mengalami kerugian karena pesanan berkurang drastis.
“Sebelum (ada) UU Cipta Kerja, perusahaan itu harus ada laporan keuangan dari lembaga audit independen. Dua tahun berturut-turut rugi, baru bisa di-PHK (karyawan). Tapi harus ada pesangon,” tutur Mirah.
“Kalau sekarang, perusahaan tidak wajib memberikan pesangon kepada pekerjanya sepanjang perusahaan itu memang rugi.”
Ia mencermati, sejak UU Cipta Kerja disahkan, perusahaan banyak yang menggunakan modus PHK untuk mengeluarkan karyawan tetap. Setelah itu, perusahaan akan membuka lowongan pekerjaan untuk merekrut karyawan kontrak outsourcing dari vendor-vendor. Padahal, perusahaan mempekerjakan jenis pekerjaan yang inti terus menerus, hanya enam bulan saja.
“Itu artinya tidak ada uang pesangon yang diwajibkan oleh perusahaan untuk bayar pesangon ke mereka karena cuma enam bulan bekerja,” ucap Mirah.
“Ini modus perusahaan yang dialami kader kami di lapangan. Menurut saya, tragis banget nasib buruh.”
Mirah memandang, salah satu cara agar perusahaan tidak sewenang-wenang ialah mendesak pemerintah, dalam hal ini pengawas ketenagakerjaan Kemnaker hadir melindungi pekerja dari PHK. “Mereka harus terlibat dan monitoring langsung, pastikan tidak bisa dia melepaskan juga ke pemerintah daerah,” kata Mirah.
“Jadi, jangan langsung percaya dengan laporan yang diberikan oleh perusahaan.”
Selain itu, Mirah menekankan, pemerintah juga harus tegas kepada investor agar tak serampangan melakukan PHK sepihak. Sebab, sejauh ini, Mirah melihat pemerintah terlalu memberi kemudahan kepada investor, namun tutup mata terhadap nasib buruh yang dipermainkan perusahaan.
“Itu bisa sangat mengurangi dan menahan laju PHK. Paling tidak kalau terjadi PHK, maka bisa diantisipasi dan hak-hak pekerja harus dibayar sesuai aturan main,” tutur dia.
“Jadi, enggak ada lagi cerita pilu ketika mereka di-PHK.”
Sebagai informasi, pada awal Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima permohonan uji formil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja. Melalui putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023, MK menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja secara formil tak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga beleid itu tetap punya kekuatan hukum mengikat.
Mirah berkata, akan kembali berusaha melakukan gugatan terhadap UU Cipta Kerja. Namun, kali ini fokus pada setiap pasal yang merugikan buruh. “Masih ada upaya hukum. Kalau kemarin itu, judicial review itu uji formil,” kata dia.
“Jadi kita masih bisa melaksanakan judicial review di uji materi. Kita belum masuk ke pasal per pasal.”
Terpisah, Guru Besar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga (Unair) M. Hadi Subhan memandang, gelombang PHK yang marak terjadi di awal 2024 bertalian erat dengan situasi politik menjelang Pemilu 2024. Pasalnya, pengusaha sedang menahan diri untuk membaca kondisi ekonomi pasca-pemilu di bawah pemerintahan baru.
“Jadi, roda ekonomi berjalan lambat dan berakibat banyaknya efisiensi,” ucap Hadi, Kamis (25/1).
Usai pemilu, Hadi menerkan, pengusaha baru akan menyelaraskan kepentingan perusahaan dengan kebijakan presiden terpilih. “Karena terkait dengan kebijakan yang telah ada, apakah akan dilanjutkan atau tidak, serta visi ke depannya bagaimana,” ujar Hadi.
Faktor lainnya, kata Hadi, adalah dampak buruk dari UU Cipta Kerja yang menganut prinsip mudah merekrut, namun juga mudah memecat. Hal ini memberikan banyak kesempatan untuk mendorong pengusaha dalam melakukan PHK.
Hadi pun tak terlalu yakin pengawas ketenagakerjaan bisa diharapkan membendung gelombang PHK. Alasannya, banyak kendala yang membuat pengawas ketenagakerjaan dapat bekerja maksimal.
“Seperti jumlah (personel) yang kurang, anggaran yang sedikit, sarana-prasarana yang minim, sehingga kurang efektif,” ucap Hadi. []