Mati Kesepian Menghantui Para Pria di Korea Selatan
HONG KONG – Korea Selatan memiliki permasalahan mengenai ‘mati kesepian’, di mana ribuan warganya, kebanyakan pria berumur tanpa pasangan, terisolasi dan meninggal sendirian setiap tahun.
Mereka yang ‘mati kesepian’ pun baru ditemukan beberapa hari atau berminggu-minggu setelah kematiannya.
Fenomena yang tengah meluas ini disebut godoksa dan saat ini sedang diatasi pemerintah setempat selama bertahun-tahun. Permasalahan ini mendapat perhatian nasional selama dekade terakhir karena jumlah kematian akibat fenomena ini mengalami peningkatan.
Adapun yang menjadi faktor terjadinya ‘mati kesepian’ meliputi krisis demografi negara, kesenjangan sosial, hingga kemiskinan yang menjadi lebih jelas saat masa pandemi Covid-19.
Dilansir dari laman Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan melaporkan pada 2021 lalu, negara ini mencatat 3.378 kasus ‘mati kesepian’. Angka ini naik dari 2.412 pada 2017.
Laporan kementerian tersebut merupakan yang pertama sejak pemerintah memberlakukan Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Kematian Kesepian pada tahun 2021, di mana pembaruan diperlukan setiap lima tahun untuk membantu menetapkan kebijakan mencegah fenomena itu.
Meski ‘mati kesepian’ memengaruhi orang-orang di berbagai demografi, laporan tersebut menunjukkan pria paruh baya dan lanjut usia tampak sangat berisiko. Tercatat, jumlah pria yang berakhir ‘mati kesepian’ sebanyak 5,3 kali lipat dari wanita pada 2021 atau naik dari empat kali sebelumnya.
Orang-orang berusia 50-an dan 60-an menyumbang hingga 60% ‘mati kesepian’ pada tahun lalu, dengan jumlah besar di usia 40-an dan 70-an. Sementara warga berusia 20-an dan 30-an menyumbang 6% hingga 8%.
Dalam laporan itu tidak disebutkan penyebab persentase tersebut. Namun, fenomena ‘mati kesepian’ telah dipelajari selama bertahun-tahun ketika pihak berwenang mencoba memahami alasan terjadinya fenomena ini sekaligus upaya mitigasinya.
Lebih lanjut, kekhawatiran publik yang meningkat atas ‘mati kesepian’ mendorong berbagai inisiatif regional dan nasional selama bertahun-tahun. Pada 2018, pemerintah Kota Seoul mengumumkan program pengawas lingkungan, di mana masyarakat melakukan kunjungan ke daerah yang banyak masyarakat rentan, seperti apartemen bawah tanah atau perumahan khusus.
Di bawah rencana ini, rumah sakit, pemilik tanah, dan staf toko serba ada berperan sebagai penjaga dan memberi tahu pekerja komunitas ketika ada yang tidak terlihat untuk waktu lama.
Selain itu, beberapa kota, termasuk Seoul, Ulsan, dan Jeonju, meluncurkan aplikasi untuk mereka yang tinggal sendiri. Lewat aplikasi ini, mereka secara otomatis mengirimkan pesan ke kontak darurat jika ponsel tidak aktif selama beberapa waktu.
Organisasi lain seperti gereja dan organisasi nirlaba juga telah meningkatkan layanan penjangkauan dan acara komunitas. Selain itu, menangani upacara pemakaman bagi almarhum yang tidak memiliki kerabat.
Undang-undang untuk menangani fenomena ini yang disahkan tahun lalu adalah tindakan terbaru dan paling luas. Dalam peraturan ini, pemerintah daerah untuk membuat kebijakan untuk mengidentifikasi dan membantu mereka yang berisiko.
Selain membuat laporan situasi lima tahunan, pemerintah juga diminta untuk menulis rencana pencegahan komprehensif, yang masih dalam pengerjaan.
Dalam studi yang diterbitkan November, Pusat Kesejahteraan Seoul merekomendasikan pihak berwenang untuk membuat lebih banyak sistem dukungan bagi kelompok rentan untuk produktif, termasuk program pendidikan, pelatihan, dan konseling.
Sementara itu, Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Cho Kyu-hong mengatakan Korea Selatan sedang bekerja untuk seperti negara lain, termasuk Inggris dan Jepang, yang baru-baru ini meluncurkan strategi menghadapi ‘mati kesepian’.
“Studi tersebut bermakna sebagai langkah awal bagi pemerintah pusat dan daerah untuk secara bertanggung jawab menangani krisis titik buta baru dalam kesejahteraan ini,” ujarnya. []