July 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Melawan Kolonial, Upaya Sultan Agung Menyatukan Jawa Dengan Kalender

8 min read

JAKARTA – Tradisi saat merayakan 1 Suro selalu berulang di sejumlah kraton di Tanah Air.  Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, hingga Kasepuhan Cirebon merayakannya.

Kraton Surakarta misalnya, menggelar agenda jamas (memandikan) pusaka-pusaka kraton pada malam 1 Suro. Kirab kerbau bule, Kiai Slamet juga dilaksanakan pada hari yang sama.

Ritual tersebut hanya sebagian dari pemanfaatan kalender Jawa yang dicanangkan oleh Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Anjokrokusumo atau dikenal dengan Sultan Agung; Raja Mataram Islam ketiga dan memerintah periode 1633-1645. Kalender yang dia ciptakan itu memadukan kalender Hijriah dengan kalender Saka, penyatuan antara animisme, dinamisme dan Hindu.

Kalender punya makna penanda waktu kegiatan atau ritual-ritual keagamaan. Dalam tradisi agama-agama di dunia kalender memiliki posisi penting dalam penentuan hari-hari besar atau waktu-waktu yang disakralkan.

Menurut Islam, sistem kalender terkait dengan waktu puasa, hari raya, dan ibadah haji. Setelah terjadi perpaduan antara budaya Jawa dan Islam dalam kalender Sultan Agung, fungsi kalender, semakin penting dan vital bagi kehidupan masyarakat.

Suku Jawa yang kuat dengan keyakinan akan animisme dan dinamisme, menjadikan kalender Sultan Agung sebagai acuan dalam mengatur kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan kalender Hijriyah, aturan hal-hal terkait ibadah dan tidak banyak jumlahnya, menjadi utama.

Berdasarkan Politik Hukum Dalam Perumusan Kalender Islam (Studi Tentang Kebijakan Kalender Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab dan Kalender Sultan Agung di Tanah Jawa), budaya Jawa sudah terbentuk dan berkembang sejak zaman prasejarah. Budaya Jawa zaman prasejarah berdasarkan pada kepercayaan animisme dan dinamisme. Yakni, berdasarkan pemikiran, alam semesta dihuni oleh arwah-arwah yang di antaranya adalah arwah leluhur.

Selain itu di antara karakteristik budaya masyarakat Jawa adalah kepercayaan bahwa segala yang ada di alam semesta merupakan simbol-simbol memiliki makna. Baik itu benda konkrit atau abstrak, semua memiliki makna dan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu.

Tatkala Islam datang ke Jawa, pola pikir kepercayaan lama masyarakat masih melekat. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para penyeru agama Islam, menyiarkan dakwah bercorak toleransi. Yakni, mengadopsi budaya lama tetapi dengan diisi dengan nilai-nilai agama Islam.

Kondisi umat Islam yang seperti ini terus berlanjut. Bahkan hingga kerajaan Mataram Islam berdiri.

Bukan tanpa sebab kalender itu dibuat oleh Sultan Agung. Dia memanfaatkan kalender yang dia buat untuk memfasilitasi dan mengarahkan orang Islam Jawa melaksanakan keyakinannya. Kalender tersebut bernuansa Jawa-Islam. Sebelumnya orang Jawa pemeluk Islam masih menggunakan kalender saka yang merupakan perpaduan Jawa asli dan Hindu.

 

Strategi Kreatif

Tatkala Sultan Agung berkuasa, sebagai muslim, ia punya motivasi untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Metode yang digunakan adalah dengan sinkretisasi budaya Jawa dan Islam sebagaimana yang dilakukan oleh penebar agama Islam sebelumnya, Sunan Kalijaga. Salah satu anggota wali sanga ini adalah asli orang Jawa.

Sebagai orang Jawa, Sultan Agung memahami karakter orang Jawa dan berdakwah seperti dilakukan pendahulunya itu.

Tapi, ada tujuan lain yang melatarbelakangi kebijakan kalender oleh Sultan Agung. Dia bermaksud memegang otoritas keagamaan, di mana sebelumnya otoritas keagamaan berada di tangan Sunan Giri yang berkedudukan di Giri Kedaton.

Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, dan Kerajaan Demak berdiri. Raden Patah menjadi raja dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar. Raden Patah sebagai raja Demak dinobatkan Sunan Giri sebagai pemegang otoritas keagamaan.

Pada masa berikutnya penobatan raja-raja Jawa oleh Sunan Giri menjadi sebuah tradisi. Kesunanan Giri merupakan gelar turun temurun. Raden Patah menjadi Raja Demak dinobatkan oleh Sunan Giri pertama. Selanjutnya penobatan raja-raja Jawa dilakukan oleh keturunan Sunan Giri pertama yang juga bergelar Sunan Giri.

Semasa Sultan Agung memerintah Mataram Islam, otoritas Giri dipegang oleh Sunan Giri keempat. Sunan Giri sebagai pemegang otoritas keagamaan tertinggi di Jawa diakui sepenuhnya di tanah Jawa, dan bahkan sampai di luar pulau Jawa. Pengaruh Sunan Giri tersebut sangat dipahami oleh Sultan Agung. Walaupun demikian, pada saat naik tahta Sultan Agung tidak meminta restu kepada Sunan Giri sebagaimana para sultan terdahulu.

Karenanya, sejak berkuasa, silih berganti serangan datang pada Sultan Agung dilancarkan para adipati dan bupati di Jawa Timur sampai Blambangan. Wilayah tersebut masih tunduk kepada Sunan Giri dan tidak mau mengakui Sultan Agung sebagai raja sah. Selain mendapatkan serangan dari bangsa sendiri Sultan Agung juga harus bersiap untuk berperang melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia.

Menghadapi situasi tersebut, Sultan Agung membutuhkan dukungan rakyat dari semua kalangan. Baik dari kalangan abangan maupun kalangan putihan (santri). Untuk itu Sultan Agung harus menjatuhkan otoritas Sunan Giri dan menempatkan otoritas keagamaan pada dirinya.

Dengan bantuan Pangeran Pekik, adik ipar Sultan Agung dari Surabaya, pasukan Giri Kedaton dapat ditaklukkan. Sebagai usaha konkret menggenggam kepercayaan rakyat sebagai pemegang otoritas keagamaan, Sultan Agung mengeluarkan dekrit mengubah kalender Saka menjadi kalender Jawa-Islam.

Sebagai orang Jawa asli, Sultan Agung meskipun sudah memeluk Islam, tentu saja masih memiliki karakter sinkretisme dalam dirinya. Sebagai orang Jawa, dia tidak nyaman dengan keberadaan Sunan Giri yang beraliran puritan dan tidak toleran terhadap aliran sinkretis yang dianut Sultan Agung. Di luar motif penyatuan rakyat untuk melawan VOC di Batavia dan penyebaran agama Islam, penerapan kalender Jawa-Islam adalah usaha Sultan Agung untuk mengukuhkan Islam ala Jawa yang dianutnya.

Menurut buku Memayu Hayuning Bawono, penyatuan kedua kalender, membuat stabilitas politik Sultan Agung makin kokoh. Dia ingin memperoleh legitimasi lebih kuat lagi dari rakyatnya. Dia kemudian mendapuk dirinya sendiri sebagai, Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah. Makna gelar itu adalah dia adalah panglima perang, pemimpin agama, dan wakil Tuhan.

Penyatuan kalender dan berbagai tradisi lainnya, bertujuan untuk merangkul seluruh rakyat Jawa agar menyatu di bawah kekuasaan Mataram. Dan pada gilirannya kemudian dijadikan sebuah momentum politik menggalang kekuatan untuk menyerbu Belanda dengan VOC-nya di Batavia pada 1628 dan 1629.

Strategi kreatif Sultan Agung yang lain adalah melalui sastra. Pada masa itu, sastra keraton merupakan kiblat dunia sastra masyarakat. Sastra keraton menjadi media sekaligus corong pemerintah terhadap rakyatnya. Atas titah Sultan Agung, dibuatlah karya sastra monumental Serat Centhini. Meski berisi berbagai tuntunan keutamaan, Serat Centhini lebih banyak berisi mitos yang mengukuhkan legitimasi Sultan Agung. Misalnya, kisah “Syaikh Amongraga” yang berubah menjadi ulat dan ditelan oleh Sultan Agung (Mark Woodward, 2004:52).

Selain itu, legitimasi budaya pendirian Kerajaan Mataram semakin kokoh dengan dibuatnya Babad Tanah Jawa. Karya sastra ini merupakan salah satu metode pembenaran bahwa dinasti Mataram merupakan pemilik sah tanah Jawa. Melalui berbagai harmonisasi ramalan dan mitos, karya sastra ini memberikan keabsahan mutlak Sultan Agung atas Mataram dan seluruh tanah Jawa.

Beberapa penulis sejarah berpendapat Sultan Agung mengembangkan budaya pedalaman Jawa yang berciri kejawen, feodal dan berbau mistik. Hal itu berbeda dengan para raja sebelumnya yang berciri perniagaan sehingga banyak pelabuhan tumbuh subur di pesisir utara Jawa.

Semasa Sultan Agung, Mataram bisa tumbuh menjadi kerajaan yang disegani. Lantaran, manunggaling kawula lan gusti, atau saling asah, asih asuh dan bersatu-padunya pemimpin dengan rakyatnya.

 

Diragukan

Kehidupan Sultan Agung pernah ditampilkan dalam layar lebar hasil garapan sineas Hanung Brahmantyo. Film bertajuk “Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta” ini tayang di penghujung Agustus 2018. Pendiri PT Mustika Ratu Tbk, Mooryati Soedibyo menjadi produser film berlatar sejarah ini saat dia berusia 90 tahun.

Cerita dalam film yang digarap di sebuah desa di Sleman, Yogyakarta ini dimulai dengan kisah Raden Mas Rangsang remaja. Ya, itu sebutan Sultan Agung saat remaja yang terlahir dengan naa Raden Mas Jatmika. Ayahnya, Panembahan Hanyokrowati memberika nama itu padanya saat lahir pada 1584 di Kotagede, Yogyakarta.

Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya, Ratu Mas Adi Dyah Banawati adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Kerajaan Pajang adalah kerajaan baru setelah kerajaan Demak runtuh.

Kala menjejak usia remaja, Mas Rangsang belajar di Padepokan Jejeran, yang dipimpin Kiai Jejer. Selama belajar di padepakan Ki Jejer, teman-temannya dan pengurusnya tidak ada yang mengetahui kalau sebearnya Raden Mas Rangsang merupakan anak kandung dari Raja Mataram.

Saat di padepokan itu, dia berjumpa dengan cinta masa remajanya yaitu Lembayung. Tuhan berkehendak lain. Cinta pertama terpaksa dia tinggalkan. Karena ayah Mas Rangsang, Panembahan Hanyokrowati, wafat.

Dia dihadapkan pada situasi yang tidak bisa ditolak. Patih utama kerajaan Mataram, atau panglima saat itu, Ki Juru Mertani menunjukkan realitas pahit yang dihadapi Mataram apabila kekuasaan kerajaan Islam dilanjutkan ke tangan Pangeran Martopuro. Nama terakhir adalah adik seayah dengan Mas Rangsang yang sudah diangkat sebagai raja Mataram.

Pangeran Martopuro memiliki keterbatasan mental, dan masih berusia delapan tahun, sehingga masa depan Mataram jelas akan mengkhawatirkan jika takhta diduduki oleh sosok yang paling legal, bukan yang paling baik. Akhirnya Mas Rangsang naik takhta, dengan gelar Panembahan Hanyokrokusumo.

Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang memiliki gelar Panembahan Agung. Namun, dia banyak ditentang oleh pemimpin wilayah yang masuk kerajaan Mataram Islam. Beberapa kali dia harus menghadapi pemberontakan adipati.

Pada 1624 setelah menaklukkan Madura, dia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau menjadi Sunan Agung. Pada 1641, Sunan Agung mendapat gelar Sultan yang didapatnya setelah mengutus salah seorang bawahannya menuju Arab dan bertemu dengan pemimpin Kakbah serta meminta gelar sultan kepadanya untuk diserahkan ke Sunan Agung.

 

Sastrawan Penakluk

Kerajaan Islam Mataram mencapai puncak kejayaannya dan menjadi kerajaan terbesar di pulau Jawa pada saat itu. Mataram berkembang pesat dalam berbagai bidang, mulai dari perluasan wilayah, politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya.

Menurut beberapa kesaksian salah seorang saudagar dari Eropa, yakni Balthasar van Eyndhoven, Sultan Agung adalah seorang sultan yang tidak bisa dianggap remeh. Wajahnya kejam, layaknya kaisar dengan dewan penasihat yang memerintah dengan keras, seperti memerintah sebuah negara besar.

Perluasan wilayah menegaskan pengaruh ini. Kekuasaan Mataram meliputi Jawa, Madura kecuali Banten dan Batavia karena dikuasai VOC. Lalu, beberapa daerah di luar Jawa, yakni Palembang, Jambi, dan Banjarmasin. Sultan Agung melakukan mobilisasi militer secara besar besaran sehingga mampu menundukkan sepanjang pantai utara Jawa dan mampu menyerang Belanda di Batavia hingga dua kali.

Melakukan kegiatan ekonomi yang bercorak agraris dan maritim sehingga Mataram menjadi pengekspor beras terbesar pada masa itu.

Sultan Agung juga melahirkan karya sastra, yakni kitab Sastra Gendhing dan Kitab Nitipraja. Serat Sastra Gendhing berisi tentang budi pekerti, luhur, mistik, dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja dibuatnya pada 1563 tahun Jawa atau 1641 Masehi berisi tentang moralitas penguasa dalam menjalankan kewajibannya, etika bawahan kepada atasan, hubungan rakyat dengan pemerintah, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis.

Dia juga menyusun kitab undang-undang baru yang merupakan perpaduan hukum Islam dengan adat istiadat Jawa, yaitu Surya Alam.

Ketegasan dalam memimpin pun dia terapkan mulai dari diri sendiri. Buktinya adalah dengan mengasingkan putra mahkotanya sendiri, Pangeran Adipati Anom. Kesalahan yang dilakukan pangeran saat itu adalah berbuat tidak senonoh terhadap istri muda Tumenggung Wiraguna.

Setelah menerima laporan mengenai perilaku putra mahkota, ia langsung menghukum anaknya dengan cara mengucilkannya. Tidak boleh bertatap muka dengan ayahnya selama tiga tahun. Hukuman itu berakhir tatkala sang pangeran benar-benar menyadari kesalahannya.

 

Serang Batavia

Dalam catatan sejarah, Sultan Agung melancarkan serangan terhadap VOC di Batavia sebanyak dua kali. Serangan pertama dilakukan pada 1628.

Sebelum penyerangan dilakukan, Sultan Agung mengirim utusan damai kepada VOC. Bupati Tegal, Kiai Rangga, menyampaikan tawaran damai dengan syarat tertentu dari Mataram. Tapi, dijawab dengan menolak.

Sultan Agung pun memilih kelahi dengan VOC. Satu armada perang Mataram ke Batavia di bawah pimpinan Tumenggung Bau Reksa dikirim. Armada tersebut terdiri dari 59 kapal dan 20.000 pasukan. Kemudian, pasukan tambahan menyusul sebulan kemudian, yakni bulan Oktober 1628 dipimpin Pangeran Mandurareja dengan membawa 10.000 prajurit.

Perang besar terjadi di Benteng Hollandia. Namun, serangan ini gagal lantaran pasukan Mataram terserang wabah penyakit dan kekurangan bekal.

Penyebab kegagalan juga disebabkan oleh terpecahnya konsentrasi pasukan. Saat bersamaan, pasukan berperang melawan kerajaan di sepanjang pesisir utara Jawa yang menolak tunduk pada Mataram Islam.

Serangan kedua terjadi pada 1629. Sultan Agung pun mengirimkan armada perang pada 1629. Kali ini, pasukan Mataram dipimpin oleh Adipati Puger.

Dari sisi persenjataan, penyerangan kedua ini dibekali persenjataan lebih lengkap dan persiapan lebih matang. Selain itu, untuk mengantisipasi kekurangan makanan, lumbung-lumbung makanan disiapkan di sekitar Batavia.

Penyerangan kedua dipimpin dua Panglima perang Mataram, yakni Adipati Ukur dan Adipati Juminah. Paukan pertama yang dipimpin oleh Adipati Ukur diberangkatkan pada Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Jumlah semua pasukan Mataram untuk penyerangan kedua ini adalah 14.000 orang.

Kegagalan kembali dihadapi pasukan Mataram. Salah satu penyebab kegagalan ini adalah dibakarnya tempat penyimpanan makanan pasukan Mataram oleh VOC dan banyak prajurit yang terjangkit wabah kolera, menyebabkan kematian. Bahkan, penyakit ini juga menewaskan Gubernur Jenderal VOC di Batavia, Jan Pieterzoon Coen.

Namun akhirnya kejayaan Mataram menemui ujungnya. Ini diawali dengan meninggalnya Sultan Agung di istananya pada 1645. Istana itu dibangun atas perintahnya pada awal dia menyandang Panembahan Hanyokrokusumo, terletak sekira 10 kilometer selatan Kota Gede, Yogyakarta.

Setelah wafat, satu persatu, daerah yang dia taklukan melawan untuk melepaskan diri dan dibantu VOC. [Annisa]

Advertisement
Advertisement