Memaknai Hijrah yang Kekinian
JAKARTA – Jika dahulu ceramah dan kajian di masjid-masjid dihadiri lebih banyak warga kelompok usia 40 tahun ke atas, belakangan ini suasananya jauh berbeda. Agenda-agenda religi tak lagi eksklusif didominasi orang tua. Anak-anak muda dari kelompok milenial hingga gen Z pun menjadi mayoritas di masjid.
Perubahan ini bukan tanpa sebab. Pergeseran mulai terjadi seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi dan digitalisasi kehidupan manusia. Jika dahulu ceramah-ceramah dan kajian hanya bisa dilakukan secara offline, kini banyak pemuka agama yang memberikan tausiah, dan membagi ilmu mereka melalui beragam platform media.
Anak-anak muda mencari beragam khotbah dan pengetahuan agama via kanal YouTube dan berbagai platform media sosial.
Hasilnya bisa ditebak. Tausiah-tausiah itu akhirnya menjangkau ruang digital yang sejatinya dikuasai generasi milenial dan Z ini. Sebaliknya, para pemuka agama ini juga paham betul audience dengan mengusung konsep dakwah yang efektif di media sosial. Di antara ‘menu’ yang diracik adalah penyampaian dengan bahasa kekinian, busana santai casual, dan terkesan paham dengan ke-gaul-an anak-anak muda.
Nyaman dengan model penyampaian yang modern, jauh dari kata ‘keras’ yang sering tersemat pada ustaz, generasi muda pun dengan mudah menerima dogma-dogma yang dahulu lebih biasa dinikmati para orang tua. Apalagi sejak pandemi, ceramah dan kajian tidak lagi banyak dilakukan secara tatap muka.
Salah satunya adalah ustaz Husein Ja’far Al Hadar atau lebih dikenal dengan Habib Husein. Dakwah yang disampaikannya ringan dan mudah dipahami. Dia juga menggandeng pelawak-pelawak muda yang dekat dengan anak-anak milenial.
Selain dari pemuka agama, insinuasi untuk lebih dekat dengan agama pun datang dari public figure. Kebanyakan mereka menunjukkan dalam transisi menuju pribadi yang lebih baik. Para tokoh ini dengan mudah menularkan islah diri mereka kepada para penggemarnya lewat unggahan-unggahan media sosial.
Tak lupa, influencer-influencer di Instagram atau TikTok juga memiliki peran besar dalam meramahkan ajaran Islam untuk kaum muda.
Hal ini kemudian memantik istilah baru yang disematkan untuk mereka yang sedang mendalami agama, hijrah. Lalu, apakah istilah hijrah ini relevan dengan makna sesungguhnya?
Pergeseran Makna
Seorang guru Al-Qur’an yang mengajar di salah satu sekolah dasar di Jimbaran, Bali, Syarif Hidayatullah mengatakan, makna hijrah yang digunakan saat ini berbeda dengan makna hijrah sesungguhnya.
Dia menjelaskan, hijrah dalam Islam dimaknai dengan perpindahan Nabi Muhammad SAW dari Makkah menuju Madinah. Perpindahan itu dipicu karena umat muslim yang berada di Makkah kala itu kerap mendapatkan perlakuan buruk dan siksaan dari umat non-muslim.
Maka Nabi Muhammad SAW memerintahkan seluruh umat muslim untuk berpindah menuju Madinah, tempat yang lebih baik dan aman, meninggalkan Makkah yang saat itu penuh dengan keburukan.
Sementara, hijrah yang dimaksud saat ini adalah meninggalkan keburukan, artinya adanya perubahan perilaku dari yang tidak baik menjadi lebih baik. Dalam terminologi ini, proses memperdalam ilmu agama dengan mengikuti kajian, memperbanyak ibadah, dan memperbaiki tampilan berbusana, adalah indikatornya.
Maka menurutnya, istilah yang lebih pas adalah jihad yang artinya bersungguh-sungguh dan menjalankan ajaran dan aturan yang ditetapkan.
“Jihad juga tidak bisa diartikan membawa pedang atau senjata. Tapi jihad bersungguh-sungguh berada di jalan Allah,” ujar Syarif, Senin (17/04/2022).
Ia mencontohkan, mengubah perilaku dari anak yang tak sopan kepada orang tua menjadi lebih berbakti, termasuk jihad. Itu lebih esensial atau bernilai dari sekadar mengubah tampilan berbusana.
“Yang dikuatkan harusnya kualitas keimanannya bukan lahiriah. Misal dia merasa rugi, sedih jika terlambat salat sunah, bukan sekadar memikirkan tampilan diri lagi,” sambung Syarif.
Seorang ulama lainnya, Ustaz Perdamean Harahap atau karib disapa Bang Dame menilai bahwa makna hijrah saat ini mengalami reduksi dan penurunan makna.
“Fenomena hijrah saat ini sangat dipermukaan sekali maknanya. Kita terlalu dangkal memaknai hijrah. Padahal hijrah itu sangat dalam maknanya bagi Islam, bahkan sampai diperingati,” kata Dame.
Banyak kalangan ulama menyayangkan, makna hijrah cenderung dimaknai dengan kentalnya perubahan mode busana. Contohnya dari yang tidak berhijab menjadi berhijab atau bagi laki-laki mengenakan celana cingkrang.
“Akhirnya ini yang ditangkap oleh industri fesyen, dijadikan produk fesyen dengan brand-brand muslim. Padahal produk fesyen sekarang lebih ke mode busana pakaian di negara Arab, bukan pakaian Islam. Itu dulu harus lolos pemahaman itu,” jelas Dame.
Produk Fesyen
Baik Syarif maupun Bang Dame sepakat bahwa fenomena “hijrah” saat ini erat kaitannya dengan produk fesyen muslim. Ada dua sisi yang terkait. Pertama fesyen muslim sebagai simbol mayoritas muslim dan pemersatu umat. Kedua dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan.
Perkembangan fesyen muslim juga menggembirakan. Di level global, State of the Global Islamic Economy Report menyebutkan bahwa pada 2019–2020, konsumsi fesyen muslim di dunia mencapai US$283 miliar, dan terus meningkat dengan proyeksi laju pertumbuhan rata-rata 6% per tahun.
Dari prediksi ini, pada 2024 konsumsi fesyen muslim dunia diproyeksikan akan senilai US$402 miliar. Sementara konsumsi Indonesia sendiri berada di sekitar US$21 miliar.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Didin Hafidhuddin pun sepakat akan hal itu. Dia menilai, besarnya konsumsi industri fesyen muslim menunjukkan ekonomi syariah sedang tumbuh di Indonesia. Tidak serta merta itu terkait dengan meningkatnya keimanan warga.
“Bagus saja tidak masalah, karena itu juga masuk dalam produk ekonomi syariah yang saat ini sedang digalakkan. Jadi tentu ini bisa menjadi hal yang baik,” ujar Didin.
Baginya, seorang muslim yang memutuskan mengenakan pakaian menutup aurat adalah bagian dari proses menjalankan ajaran agama. Namun, ia mengingatkan adalah sebuah kekeliruan jika fesyen muslim ini kemudian menjadi tolok ukur atas keimanan seseorang.
“Iman itu naik turun, tidak bisa kita sebut dia sudah hijrah hanya karena dia pakai jilbab sebelumnya tidak. Bisa saja dia besok lepas hijab sering kan seperti itu,” tambahnya.
Yang menarik, fenomena label “hijrah” di kalangan anak muda ini juga tidak hanya dari tampilan berbusana atau fesyen saja. Sering pula ini terlihat dari konsumsi media sosial individu sekaligus unggahannya.
Sebaliknya, media sosial menurut Ustaz Dame bisa menjadi bumerang yang meruntuhkan kualitas keimanan. Menunjukkan keimanan lewat media sosial, apalagi menggurui pihak lain agar sepaham dengan iman yang ditunjukkannya, bukan lah makna hijrah sesungguhnya.
“Semakin berilmu semakin dia enggak mencolok, karena dia damai tidak ada itu rasa ingin menunjukkan menggurui, Islam sesungguhnya begitu, tenang,” tutur Dame.
Karenanya, para ulama menyerukan, mereka yang ingin hijrah dan mengklaim tengah hijrah, justru memperkokoh keimanan dengan selalu ingin belajar dan mencari tahu. Hal ini akan membuat diri tidak merasa lebih baik dari orang lain. []
Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Tristania Dyah Astuti