December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Memprihatinkan, Saat Jendral Polisi Menjadi “Backing” Koruptor Buron

13 min read

JAKARTA – Pada akhirnya Mabes Polri mencopot Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo dari jabatannya setelah terbukti menandatangani surat jalan untuk buronan kasus Bank Bali Djoko Tjandra. Sanksi tersebut dijatuhkan usai yang bersangkutan menjalani pemeriksaan terkait dengan kasus yang disangkakan kepadanya.

Pencopotan itu sesuai dengan surat telegram Kapolri bernomor ST/1980/VII/KEP./2020 tertanggal 15 Juli 2020. Telegram itu telah dikonfirmasi oleh Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono.”Betul (penerbitan telegram). Dia dimutasi,” kata Argo seperti dikutip cnn.indonesia, Rabu (15/7).Dalam surat yang ditandatangani oleh As SDM Polri Irjen Sutrisno Yudi Hermawan atas nama Kapolri, Prasetyo Utomo dimutasi sebagai perwira tinggi (Pati) Yanma Polri.

Dalam surat itu, Djoko Tjandra berangkat dari Jakarta pada 19 Juni 2020 menuju Pontianak menggunakan pesawat. Keperluan perjalanan ialah konsultasi dan koordinasi. Dia direncanakan kembali ke ibu kota pada 22 Juni 2020.

 

Saktinya Djoko Tjandra

Siapa sebenarnya Djoko Tjandra yang bikin  ulah sehingga seorang jenderal polisi sampai dicopot dari jabatanya ?. Dilansir Kompas 2008, Djoko Tjandra merupakan pebisnis yang tergabung dalam Grup Mulia yang menaungi 41 anak perusahaan di dalam dan di luar negeri. Selain properti, grup yang pada 1998 memiliki aset Rp11,5 triliun itu, juga merambah ke bisnis keramik, metal, dan gelas.

Djoko Tjandra membangun bisnisnya bersama ketiga saudaranya, yakni Eka Tjandranegara, Tjandra Kusuma, dan Gunawan Tjandra. Perusahaan keluarga ini berkembang pesat sekitar 1990-an ketika dipimpin Djoko.

Djoko mendirikan dan menjadi Direktur PT Era Giat Prima (EGP) bersama mantan Ketua DPR RI Setya Novanto. Kala itu, Setya masih menjadi wakil bendahara Partai Golkar. Skandal cessie Bank Bali bermula ketika bank tersebut sulit menagih piutangnya yang ada di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada 1997. Total piutang dari tiga bank tersebut mencapai Rp3 triliun. Meski ketiga bank masuk perawatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), namun tagihan tak kunjung cair.

Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli kemudian bekerja sama dengan PT EGP. Perjanjian kerja sama diteken oleh Rudy Ramli, Direktur Bank Bali Firman Sucahya dan Setya Novanto. Melalui perusahaan inilah, perkara korupsi muncul dalam bentuk cessie dengan nilai sekitar Rp905 miliar. Dari dana yang diberikan Bank Indonesia dan BPPN itu, PT EGP menerima Rp 546 miliar, sedangkan Bank Bali Rp359 miliar.

Dana tersebut kemudian dicairkan, hingga membuat Djoko Tjandra diadili atas tuduhan penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2008 sempat memvonis bebas Djoko Tjandra. Namun, Kejaksaan Agung tidak terima atas vonis itu dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).

Hasilnya, Djoko Tjandra dinyatakan bersalah dalam perkara korupsi hak tagih Bank Bali, dan dijatuhi vonis dua tahun penjara. Hakim Agung ketika itu juga memerintahkan agar Djoko membayar denda Rp15 juta dan uang Rp 546 miliar di Bank Bali.

Pada akhirnya Djoko Tjandra menjadi warga negara Papua Nugini. Dikutip dari laman kejaksaan.go.id, Djoko Tjandra mendapatkan paspor dari Papua Nugini setelah menjadi warga negara Papua Nugini. “Dalam paspornya ia bernama Joe Chan,” ungkap Wakil Jaksa Agung Darmono di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, 17 Desember 2012.

Meskipun Djoko Tjandra sudah menyandang status kewarganegaraan Papua Nugini melalui jalur naturalisasi, tetapi ia jarang berada di negara barunya tersebut. Tercatat, Djoko hanya empat kali berada di Papua Nugini sepanjang 2012. Darmono menjelaskan, berdasarkan hasil kunjungan tim terpadu ke Papua Nugini, diketahui Djoko Tjadra tidak memiliki tempat tinggal di negara itu. “Ia tidak punya tempat tinggal di Papua Nugini, rumahnya berada di Singapura,” ucap dia.

Mantan Direktur Era Giat Prima itu meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Port Moresby, Papua Nugini, pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkara cessie Bank Bali. Djoko diduga memberikan keterangan palsu bahwa dia tidak memiliki masalah hukum di Indonesia, hingga ia sukses menyandang status warga Papua Nugini. Padahal, di Indonesia ia berstatus buron.

Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang menjelaskan bagaimana kronologi Djoko Tjandra masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Pada awalnya tanggal 24 April 2008: Komisi Pemberantasan Korupsi melayangkan permintaan cegah ke luar negeri atas nama Djoko Soegiarto Tjandra. Pencegahan berlaku selama enam bulan. Tanggal 10 Juli 2009: red notice dari Interpol pada Djoko Soegiarto Tjandra terbit. Selannjutnya tanggal 29 Maret 2012: Kejaksaan Agung melayangkan permintaan pencegahan ke luar negeri terhadap Djoko, yang berlaku selama enam bulan. Ketika itu, Djoko sudah tidak berada di Indonesia.

Pada  tanggal 12 Februari 2015, Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia melayangkan status buron atas nama Djoko Tjandra. Perihal surat DPO atas nama Tjandra kemudian ditembuskan ke seluruh kantor imigrasi dan Kementerian Luar Negeri. Hingga akhirnya  tanggal 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol sistem red notice atas nama Djoko Tjandra sudah terhapus dari sistem sejak 2014. Hal itu karena tidak ada lagi permintaan dari Kejaksaan Agung terhadap nama Djoko Tjandra.

Fakta lain yang terungkap yaitu eks Jaksa Agung, H M Prasetyo pernah mengakui Djoko Tjandra sudah bukan lagi WNI. Ia diketahui banyak memberikan sumbangan kepada Pemerintah Papua Nugini, sehingga dikabulkan menjadi warga negara mereka.  “Djoko Tjandra ini sudah beralih status kewarganegaraannya menjadi PNG (Papua New Guinea),” kata Prasetyo, pada 2016 yang lalu.

Kasusnya menjadi ramai ketika terendus kabar kalau Djoko Tjandra berada di Indonesia. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Senin (29/6) lalu, Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengakui, mereka memiliki kelemahan sehingga tidak tahu Djoko Tjandra sudah masuk Indonesia. Bahkan, sidang perdana Peninjauan Kembali (PK) nya digelar secara perdana pada Senin (08/06/2020).

“Untuk Djoko Tjandra ini saya belum dapat informasinya, apakah hari ini datang atau tidak di sidang. Tapi yang saya herankan adalah pada 8 Juni, Djoko Tjandra informasinya datang di Pengadilan Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK-nya,” ungkap Burhanuddin di Kompleks Senayan, Jakarta Pusat.

Burhanuddin mengaku kebobolan karena lemahnya intelijen Kejaksaan. Dia juga mengaku sudah menanyakan kepada pihak pengadilan, dan proses pengajuan PK Djoko disebut melalui pelayanan terpadu. “Jadi, identitasnya tidak bisa diketahui,” kata Burhanuddin.

Masuknya kembali Djoko Tjandra ke Indonesia pada akhirnya memakan korban seorang jenderal polisi karena terbukti menandatangani surat jalan untuk buronan kasus Bank Bali Djoko Tjandra. Sanksi tersebut dijatuhkan usai yang bersangkutan menjalani pemeriksaan terkait dengan kasus yang disangkakan kepadanya.

 

Bekingi Koruptor

Kasus Djoko Tjandra barangkali hanya puncak gunung es dari adanya ketlibatan oknum polisi yang menjadi beking kejahatan dalam hal ini koruptor yang banyak uangnya. Kita teringat kasus kasus yang melibatkan polisi yang menjadi beking koruptor meskipun tidak semuanya berakhir dengan adanya sanksi pencopotan jabatan atau berhasil di penjara.

Mantan Kabareskrim Polri, Komjen (Pol) Susno Duadji, pernah menuding keterlibatan tiga jenderal di balik praktik makelar kasus dalam penanganan kasus money laundering dan korupsi dana wajib pajak di Polri. Keterlibatan jenderal-jenderal tersebut dikisahkan Susno terjadi saat Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri mengusut dugaan kasus pencucian uang yang dilakukan seorang aparat pajak bernama Gayus T Tambunan.

“Ada pegawai pajak, inspektur, dia bersama kelompoknya yang beranggotakan empat sampai enam orang mengawasi kewajiban pembayaran pajak di empat sampai enam perusahaan. Di rekening dia, berdasar hasil penelusuran sebuah instansi, masuk aliran dana mencurigakan senilai lebih kurang Rp 25 miliar,” kisah Susno mengawali, sebagaimana dikutip Network di kediamannya di Jakarta, Sabtu (12/03/2010) lalu.

Aliran dana mencurigakan berbentuk dollar dan rupiah yang masuk ke rekening Gayus itu menurutnya mengantarkan instansi yang menemukannya melaporkan hal itu ke Bareskrim. Dari hasil penelusuran Bareskrim, Gayus diketahui melakukan kejahatan pencucian uang senilai Rp 400 juta. Dari pengembangan penyidikan kasus ditemukan adanya kasus kejahatan korupsi dana wajib pajak senilai Rp 25 miliar.

Susno pun memerintahkan Direktur II Ekonomi Khusus kala itu, Brigjen Edmon Ilyas, untuk memprioritaskan pengusutan kasus itu hingga tuntas. Uang senilai Rp 25 milliar yang diduga sebagai uang hasil kejahatan itu pun dibekukan oleh Susno. “Waktu saya mau turun dari Kabareskrim, kasus kecil (pencucian uang) itu sudah selesai, tinggal dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Tangerang. Yang besar (pajak) masih disidik.

Saya masih sempat tanyakan kepada anak buah saya sebelum turun (dari Kabareskrim) bagaimana kelajutan penanganan kasus-kasus,” ujar Susno. “Saya juga masih perintahkan mereka agar kasus (pajak) itu diungkap korupsinya hingga tuntas. Bayangkan saja pegawai kecil saja dapat begitu besarnya, apalagi yang jabatannya lebih besar. Dia bisa begitu kan karena pasti dapat izin dari atasannya. Kan selalu harus melapor dan minta tanda tangan pimpinannya,” kata Susno.

Saat lengser dari jabatan Kabareskrim, Susno yang mengaku masih mempunyai jaringan ke dalam Bareskrim suatu saat akan menanyakan kelanjutan penanganan kasus itu. “Waktu saya tanya (kepada anggota Bareskrim), yang kecil katanya sudah dinyatakan P-21 (lengkap) oleh kejaksaan. Tapi yang besar katanya uangnya sudah dicairin. Saya tanya kenapa dicairin atau dibuka (uang senilai Rp 25 milliar yang dibekukan itu)? Katanya karena uang itu diakui sebagai milik Andi Kosasih,” ucap Susno.

Andi Kosasih kemudian diketahui Susno sebagai pengusaha. Dia, menurut pengakuan mantan anak buah Susno disertai penelusuran mantan Kapolda Jawa Barat, memiliki kedekatan dengan orang nomor dua di tubuh Polri. “Dia dibekingi orang kuat. Orang nomor dua (di Polri). Karena kalau bekingnya kompol atau kombes, dia enggak bakal berani main-main dengan direktur. Kalau bekingnya direktur, dia enggak bakal berani main-main sama Kabareskrim. Karena bekingnya orang nomor dua di Polri, makanya Kabareskrim juga enggak berani,” ujar Susno.

Menurut Susno, uang senilai Rp 25 milliar itu akhirnya dinyatakan sebagai milik Andi Kosasih yang dititipkannya di rekening Gayus T Tambunan untuk dana pembelian sebidang tanah. “Masa mau beli tanah pakai menitipkan uang segala. Ke rekening orang lagi. Menitipkannya sejak satu tahun yang lalu lagi. Logikanya, kalau mau beli tanah, ya titip saja dicarikan tanah. Kalau sudah dapat (tanahnya) baru dikasih uangnya atau dibayarkannya sendiri ke yang punya tanah,” terang Susno meragukan dana itu milik Andi Kosasih.

Selain menuding nama orang nomor dua di tubuh Polri (yang diduga Wakapolri kala itu, Komjen Makbul Padmanegara), Susno juga mengungkap keterlibatan nama beberapa mantan jajarannya di Direktorat Ii Ekonomi Khusus Bareskrim yang “bermain” dalam kasus itu. Mereka adalah Kompol A, Kombes E, AKBP M, Brigjen EI, dan Brigjen RE. Keterlibatan mereka menurutnya adalah turut menikmati uang senilai Rp 25 milliar yang diduga merupakan hasil kejahatan korupsi dana wajib pajak.

“Uang (Rp 25 milliar) itu ternyata dicincai, dibagi-bagi oleh mereka. Makanya uang itu dibuat sebagai milik Andi Kosasih. Saya enggak bisa bilang mereka masing-masing dapat berapa, dan siapa-siapa saja yang menerima. Nanti saya dibilang nuduh lagi. Biarkan saja itu jadi tugas tim pemburu mafia hukum. Percuma mereka digaji untuk itu (memberantas mafia hukum),” tandasnya.

Kasus polisi menjadi beking koruptor juga terjadi pada koruptor yang bernama Nurhadi, mantan Sekretaris Mahkamah Agung RI. Sebagaimana dikutip tempo.co , 3 Juni 2020, KPK telah menangkap mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Tersangka kasus dagang perkara di Mahkamah Agung itu dibekuk bersama menantunya, Rezky Hebriyono, Senin, 1 Juni 2020. Nurhadi lama menjadi buron dan sulit ditangkap karena diduga ada aparat yang membekinginya.

Menurut catatan Tempo, selama menjadi Sekretaris MA, Nurhadi memang dikenal dekat sejumlah kalangan termasuk para petinggi polisi. Saat rumahnya digeledah KPK dalam kasus kasus suap kepada Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution pada April 2016, ia diduga menyembunyikan barang-barang di kantor Kepolisian Daerah Metro jaya.

Dalam sejumlah dokumen pemeriksaan yang salinannya diperoleh Tempo, ada cerita dia membawa barang-barangnya ke kantor Polisi Polda Metro Jaya beberapa saat setelah penggeledahan. Menurut dokumen persidangan itu, seperti dimuat Majalah Tempo, Nurhadi memerintahkan ajudannya seorang polisi menghubungi salah satu anggota pengawalan di kediaman bosnya itu di Jalan Hang Lekir V Nomor 6, Jakarta Selatan, pada 21 April 2016. Siang itu pukul 13.53.

Sekretaris Mahkamah Agung dan ajudannya tersebut tengah bertandang ke ruang kerja Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Moechgiyarto. Setelah panggilan teleponnya dijawab, sang ajudan menyampaikan perinta Nurhadi kepada teman sesama pengawal, yang juga anggota Brigade Mobil Kepolisian RI.

Percakapan itu terjadi beberapa jam setelah rumah Nurhadi di Hang Lekir digeledah 15 penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Tanpa mereka sadari, seluruh komunikasi itu “terdengar” petugas komisi antikorupsi di kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan.

Penggeledahan rumah Nurhadi terkait dengan kasus suap kepada Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Pagi harinya, sebelum penggeledahan itu, penyidik menangkap Edy yang baru saja menerima duit suap Rp 50 juta dari Doddy Aryanto Supeno di tempat parkir Hotel Acacia, Jakarta Pusat. Doddy, pegawai PT Artha Pratama Anugerah, menyuap Edy guna memuluskan sejumlah perkara Grup Lippo di pengadilan dan Mahkamah Agung. PT Artha adalah anak usaha Grup Lippo.

Selain menggeledah, petugas KPK menyadap komunikasi Nurhadi dan orang-orang dekatnya. Seluruh percakapan itu diperdengarkan kepada Nurhadi saat diperiksa sebagai saksi pada 15 Juni lalu. Penyidik menduga isi tas LV itu adalah barang bukti penting yang hendak diselamatkan Nurhadi. Hari itu Nurhadi dicecar 66 pertanyaan.

Dalam sejumlah dokumen pemeriksaan yang salinannya diperoleh Tempo, Nurhadi tidak menyangkal rekaman suara itu. Dia menyebut isi rekaman itu mirip suara Ari Kuswanto, ajudannya. “Dia berbicara dengan seorang laki-laki yang mungkin pengawal di rumah,” ujarnya kepada ­penyidik.

Kepada satu penyidik yang memeriksanya, Nurhadi mengaku saat itu memang tengah berada di ruangan Kepala Polda Metro Jaya Moechgiyarto. Ia mengatakan bertemu dengan Moechgiyarto sebagai teman dekat untuk menyampaikan informasi tentang penggeledahan rumahnya oleh KPK.

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dan memproses oknum-oknum yang turut terlibat melarikan Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono.

Menurut dia, oknum yang membantu melarikan dan melindungi Nurhadi dapat dijerat Pasal 21 UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Isi pasal itu berbunyi, `setiap orang dilarang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.

“Harus diungkap pakai rumah siapa saja. Siapa yang menolong.””Bersama yang memberikan bantuan-bantuan keamanan kebutuhan harian,” kata Haris dalam diskusi daring bersama Indonesia Corruption Watch, Jumat (05/06/2020).

Namun sampai kini tidak jelas bagaimana kelanjutan dari  tuntutan untuk mengadili oknum polisi yang membantu Nurhadi. Barangkali KPK takut melakukan tindakan hukum terhadap Jenderal polisi yang telah membantu Nurhadi.

Bau bau polisi menjadi beking pelaku korupsi juga tercium kencang ketika terjadi kasus “perseteruan” polisi dengan KPK yang berujung pada tindakan kriminalisasi petinggi KPK. Sampai sampai peristiwa ini memicu tanggapan luas di masyarakat supaya polisi menghentikan aksinya. Aspirasi diantaranya disampaikan oleh masyarakat Papua. Seperti diberitakan WE Online, Manokwari – Masyarakat Papua Barat minta kepada Kepolisian Republik Indonesia agar hentikan segala upaya kriminalisasi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Upaya kepolisian menjadikan tersangka beberapa pimpinan KPK pada saat lembaga pemberantasan korupsi itu sedang mengusut tindak pidana korupsi di lembaga kepolisian memperlihatkan bahwa kepolisian melindungi korupsi,” kata Tokoh Pemuda Papua Barat Yesy Arnolis Mandacan di Manokwari, Minggu (25/01/2015).

Ia mengatakan, masyarakat Papua Barat mendukung KPK proses hukum siapa pun di negara ini termaksud pejabat kepolisian yang melakukan tindak pidana korupsi. “Kami masyarakat Papua Barat menolak dengan tegas upaya Kepolisian Republik Indonesia kriminalisasi lembaga pemberantasan korupsi yang sudah banyak membongkar kejahatan koruptor di negara ini,” katanya.

 

Perlu Tindakan Tegas

Polisi merupakan salah satu unit bergengsi yang ada di struktur pemerintahan. Dalam unit ini, banyak hal yang ditangani terkait penanggulangan tindak pidana yang terjadi silih berganti. Idealnya tugas polisi sangatlah mulia, apalagi kita tahu, para polisi yang bertugas di unit ini, bekerja siang malam, banting tulang dan tidak mengenal waktu. Kalau unit-unit yang lain “bisa bersantai”, polisi dituntut bekerja ekstra secara terus-menerus untuk menanggulangi berbagai macam tindakan kriminalitas yang muncul di berbagai daerah.

Lahirnya Undang-Undang No. 02 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam tugas penyelidikan dan penyidikan, sebagai pengganti Undang-Undang No. 28 tahun 1997 tidak dapat dipisahkan dengan adanya reformasi dibidang hukum yang terjadi di Indonesia, bahkan dapat dikatakan sebagai hasil dari adanya reformasi.

Namun, tak dapat disangkal, polisi yang sejatinya sebagai penegak hukum (law enforcement), mengayomi, melayani, serta melindungi masyarakat, dalam kenyataan sosialnya tidak sedikit aparat kepolisian yang menyalahgunakan wewenangnya. Hal ini terbukti dalam berbagai macam kasus, diantaranya menjadi beking pelaku korupsi.

Apa yang dilakukan oleh beberapa oknum polisi yang menjadi beking pelaku korupsi  hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus pelanggaran polisi yang terungkap di media. Rata rata polisi yang melakukan pelanggaran itu tidak tahan dengan godaan materi yang ada didepan matanya.

Dalam tugasnya, polisi memang banyak berhubungan dengan materi. Bukan cuma materi hukum, tetapi materi yang bersifat kebendaan. Karena polisi memang memiliki wewenang untuk masuk ke dalam sektor-sektor yang berkaitan dengan materi, baik yang berkaitan dengan fungsi pengamanan maupun tugas pelayanan administratif.

Godaan terhadap materi merupakan pintu masuk anggota kepolisian untuk melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugasnya. Baik pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat sipil, atau melanggar tugasnya sebagai petugas yang digaji oleh negara.

Harus diakui, sangat berbahaya jika polisi tergoda materi karena menjadi tidak lurus menjalankan kewajibannya. Jika itu terjadi, polisi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bisa berbalik menjadi ancaman bagi masyarakat yang seharusnya dilindunginya. Untuk menjaga hal itu tidak terjadi, masyarakat hanya bisa meminta kepada Kepolisian untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat kepada anggotanya, dan melakukan audit secara periodik terhadap harta kekayaan anggotanya. Jika perlu dengan pembuktian terbalik untuk menunjukkan asal usul harta kekayaannya.

Menurut Pasal 2 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.Dan sesuai tugasnya, polisi akan melaksanakan tugas tanpa harus diberi imbalan apa apa.

Selain itu Peraturan Kapolri No.9 tahun 2009 menegaskan, (petugas kepolisian) tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maupun penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang bertentangan dengan profesi penegak hukum; (Pasal 10 g); melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara (Pasal 13 f).

Bukan hanya anggota polisi di level bawah yang kerap kena tuding melakukan penyelewengan. Di level atas pun tak lepas dari tudingan, sehingga masyarakat jadi akrab dengan istilah rekening gendut milik petinggi Kepolisian yang ternyata aman aman saja. Sejauh ini tudingan itu belum bisa dibuktikan, kecuali dalam kasus-kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selama ini pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian ditangani internal kepolisian sendiri, karena Kepolisian memiliki Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menangani pelanggaran oleh anggotanya ayat (1) Pasal 35 UU Kepolisian). Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri ayat (2).

Sungguhpun demikian, anggota polisi bisa dipidana sesuai dengan KUHP bila melakukan pelanggaran pidana terhadap masyarakat sipil di luar tugasnya, atau melakukan tindak pidana korupsi dalam menjalankan tugasnya.

Sejauh ini banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh oknum anggota polisi, namun menurut  kacamata awam sangat ringan hukumannya. Padahal jika masyarakat sipil yang melakukan pelanggaran sama, hukumannya jauh lebih besar. Dalam kasus Djoko Tjandra misalnya, sanksi etik jelas tak cukup untuk menghukum komplotan polisi yang telah melindunginya. Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis harus memeriksa dan menjerat semua personelnya yang terlibat dalam skandal Joko Tjandra ini dengan delik pidana.

Karena kasus ini jelas lebih dari sekadar  urusan pelanggaran menerbitkan surat jalan tanpa izin atasan. Kepolisian harus mengusut tuntas skandal ini, termasuk memeriksa penghapusan nama Joko Tjandra dari database DPO Interpol yang ditengarai melibatkan Sekretaris NCB Interpol Polri Brigadir Jenderal Nugroho Wibowo. Para jenderal ini patut diduga menghalangi penyidikan dan penahanan yang diancam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Karena tindakan mereka tak hanya membuat wajah kepolisian ternoda , tapi juga mengangkangi hukum yang seharusnya dihormatinya.

Pengusutan juga harus dilakukan terhadap dugaan adanya suap dalam skenario melindungi DJoko Tjandra. Sulit membayangkan bos perusahaan properti dengan aset triliunan rupiah tersebut mendapat beraneka “layanan” secara gratis oleh petinggi aparat yang seharusnya menangkapnya. Selain itu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dapat menelusuri transaksi-transaksi mencurigakan di antara sejumlah orang yang ada kaitannya dengan kasus ini termasuk pejabat Polri yang diduga terlibat didalamnya.

Tidak ketinggalan Komisi Yudisial juga harus mengawal ketat sidang peninjauan kembali perkara DJoko Tjandra yang kini bergulir di Mahkamah Agung.  Siapa saja yang terlibat harus di usut dan diberikan sanksi tegas supaya menjadi jera. Kalau kasus kasus seperti ini tidak ditangani secara serius maka potensial akan berulang pada kasus lainnya. Tetapi apakah memang ini yang dikehendakinya ? []

Advertisement
Advertisement