Mendapatkan Pekerjaan Dengan Menyuap
JAKARTA – Di masa-masa penerimaan Pegawai, kerap didengar adanya praktek suap menyuap antara calon pegawai dengan oknum pegawai yang menjanjikan pekerjaan.
Agar dapat diterima, calon pegawai wajib menyetorkan sejumlah uang dengan alasan sebagai jaminan bahwa ia pasti diterima sebagai pegawai.
Bagi mereka yang menganut kompetisi secara adil, tentunya cara-cara ini sangatlah dirasa tidak adil. Karena calon pegawai yang diterima tidak sesuai dengan kompetensi dan kebutuhan lembaga melainkan karena uang.
Karena itu, praktek penerimaan pegawai semacam ini semestinya dilarang karena pegawai yang diterima tidak sesuai dengan kompetensi dan kebutuhan lembaga.
Bagaimana Islam memandang hal ini?
Hukum melamar kerja pakai uang adalah dilarang karena hal tersebut termasuk dalam perbuatan suap. Dalam Islam, aksi suap menyuap untuk kepentingan tertentu sangat dilarang.
Dalam QS Al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman yang artinya,
“Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS.Al-Baqarah : 188)
Abu Hurairah rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap dalam suatu perkara.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnul Jarud, Ibnu Hibban, Al- Hakim, Al-Khathib)
Dari hadits di atas, dapat dikatakan bahwa mereka yang menyogok demi memperoleh pekerjaan tertentu maupun si penerima uang sogokan akan terkena dosa.
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa menerima suap termasuk salah satu dosa besar dalam Islam.
Selain pemberi dan penerima suap, mereka yang menjadi perantara juga terkena dosa yang sama.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga melaknat mereka yang menjadi penghubung antara penyuap dan yang disuap.
Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut.
“Laknat itu juga berlaku pula atas orang yang menjadi perantara dalam kasus suap.” (Ibnu Abi Syaibah, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Tsauban)
Meskipun hadits di atas di-dha’if-kan oleh Asy-Syaikh, namun mengandung makna yang tidak dapat dikatakan salah.
Perantara suap sejatinya telah membantu orang lain untuk melakukan dosa besar yang jelas-jelas dilarang dalam agama Islam.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahily rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa memberikan syafaat (rekomendasi) bagi saudaranya lalu orang itu memberikan hadiah atas hal itu dan ia menerima, sebenarnyalah ia telah mendatangi satu pintu terbesar dari pintu-pintu riba.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ath-Thabrani dari Abu Umamah, dihasankan oleh Asy-Syaikh dalam Shahih Al-Jami)
Bagaimana jika sistem menghendaki demikian?
Menurut pendapat sebagian besar ulama, jika berada dalam situasi dan kondisi yang menghendaki adanya praktek suap menyuap seperti ini maka uang suap hanya haram bagi si penerima dan bukan bagi si pemberi.
Misalnya, di masa lalu, sistem penerimaan Pegawai sangat kental dengan KKN. Jika si calon pegawai menyuap oknum pegawai untuk dapat diterima sebagai Pegawai maka hal itu dibenarkan.
Tetapi, ketika sistem penerimaan Pegawai tidak seeksklusif dulu, maka perbuatan suap menyuap seperti itu tidak dapat benarkan.
Lantas bagaimana sebaiknya?
Mengingat hukum bekerja dalam Islam adalah wajib, maka untuk memperoleh pekerjaan pun haruslah dilakukan dengan cara-cara yang baik dan halal.
Salah satunya, tidak melakukan suap menyuap karena hukum menyuap dalam Islam adalah haram.
Hal ini ditegaskan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah yang mengatakan,
“Haram hukumnya menerima suap.”
Selain hidup menjadi lebih tenang karena pekerjaan dan rezeki diperoleh dengan cara yang halal, murka Allah pun dapat dihindari.
Agar terhindar dari murka Allah, hendaknya berdoa merujuk pada hadits berikut.
“Ya Allah, aku minta pada-Mu agar mudah melakukan kebaikan dan dijauhkan dari perbuatan mungkar.” (HR. Tirmidzi) []