April 24, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mendidik Anak Jarak Jauh itu Tidak Mudah

5 min read

JAKARTA – Mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi untuk bisa memenuhi segala kebutuhan hidup keluarga (dan memberikan penghidupan yang lebih baik kepada mereka) adalah harapan yang selalu ingin dicapai oleh setiap pekerja migran.

Atas dasar harapan itulah, mereka rela pergi meninggalkan anak-anak mereka, berbulan-bulan, ke satu tempat yang tak pernah mereka ketahui bagaimana masyarakatnya, budayanya, iklimnya, kebijakan pemerintahnya, bahkan tidak pernah tahu dengan siapa mereka akan bekerja.

Apakah mereka akan mendapat majikan yang baik? Akan adakah orang yang bersedia menolong mereka, jika mereka membutuhkan pertolongan? Bisakah mereka berkomunikasi dengan baik untuk menyampaikan ide dan perasaan mereka?

Tinggal di negeri orang bukanlah suatu hal yang mudah bagi siapapun. Apalagi, jika ditambah dengan beban meninggalkan anak-anak nun jauh di sana. Apakah anak-anak mereka selalu aman?

Apakah mereka selalu sehat? Apakah mereka lancar bersekolah? Apakah mereka dapat menerima kiriman uang dengan baik untuk memenuhi segala kebutuhan mereka?

Dalam satu dialog interaktif yang diselenggarakan Indonesian Diaspora Network Global tentang kisah inspiratif para pekerja migran Indonesia (PMI), Sri Kunahari, seorang PMI di Singapura, menceritakan pengalamannya.

Sri Kunahari bekerja di Singapura sejak tahun 1997. Pada waktu itu anaknya masih berumur di bawah dua tahun. Keputusan bekerja di Singapura terpaksa diambilnya karena suaminya meninggalkannya, sementara ia sedang hamil tiga bulan. Ia ingin memberikan kehidupan yang terbaik untuk masa depan anaknya.

Dua tahun pertama bekerja di Singapura adalah masa yang sangat sulit bagi Sri. Tidak ada hari libur, tidak boleh memegang hp, serta tidak diberi istirahat dan makan yang cukup.

Pada tahun 2005 ia memberanikan diri meminta istirahat dan makan yang cukup kepada majikannya. Namun, sebagai jawabannya, kontrak diputus dan pada hari itu juga ia dipulangkan. Dua minggu kemudian, Sri kembali ke Singapura dan bekerja pada keluarga lain.

Sri menjelaskan bahwa menjadi orangtua tunggal dan harus mengasuh serta mendidik anak jarak jauh itu sulit dan penuh tantangan. Komunikasi dengan anak hanya bisa dilakukan melalui hp. Lewat hp itulah, ia juga bisa berkomunikasi dengan guru-guru anaknya.

“Saya beruntung, majikan saya memperbolehkan saya menggunakan hp. Banyak PMI yang tidak diijinkan menggunakan hp, padahal memiliki alat komunikasi untuk bisa menghubungi keluarga yang ditinggalkan adalah hak dasar pekerja migran,” ungkap Sri.

Singkat cerita, Sri akhirnya bisa menyekolahkan anaknya di Universitas Indonesia. Kemudian, anaknya mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Amerika dan Singapura.

“Perjuangan saya sebagai pekerja migran ternyata telah menginspirasi anak saya untuk menjadi penggerak hak pekerja migran. Sekarang ia aktif dalam advokasi hak pekerja migran di Asia bersama Human Rights Working Group,” kata Sri.

Dalam dialog interaktif yang diselenggarakan Indonesian Diaspora Network Global itu, Sri menyampaikan harapannya agar pemerintah memberikan hak kepada para pekerja migran, tanpa terkecuali, untuk dapat memiliki alat komunikasi, sehingga mereka dapat menghubungi keluarga dan anak yang ditinggalkan.

Ia juga berharap agar pemerintah memastikan adanya lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak PMI.

Pada diskusi yang sama, Eni Lestari, seorang PMI di Hong Kong, juga menceritakan pengalamannya. Ia menjelaskan bahwa alasan utama mengambil keputusan menjadi PMI adalah karena keluarganya terlibat hutang, sementara waktu itu tidak ada penghasilan.

“Masa setelah krismon tahun 1997 adalah masa yang sulit bagi keluarga saya. Sebagai anak sulung, saya terpaksa harus memilih pergi menjadi PMI, karena itu satu-satunya alternatif. Ditambah lagi, keluarga saya bercita-cita untuk mempunyai pendidikan yang tinggi,” ungkap Eni.

Eni memilih bekerja di Hong Kong, karena dia mendengar bahwa di sana ada hak libur. “Ini penting buat saya, karena saya tidak mau hanya bekerja. Saya juga ingin mempunyai ruang dan waktu untuk belajar atau mengembangkan bakat,” katanya.

Enipun berharap bisa bekerja pada majikan yang baik. Namun, majikan pertamanya memberinya gaji di bawah standar, tidak memberinya libur, tidak memperbolehkannya keluar rumah sama sekali, juga tidak memberinya makanan yang layak.

“Ternyata  menjadi PMI itu berat. Berbulan-bulan bekerja dan saya tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya. Saya tidak diberi pakaian untuk musim dingin, padahal dingin sekali.

Saya menderita sekali. Banyak aturan rumah, yang mana setelah saya menjadi aktivis, saya pikir itu tidak masuk akal, ” tutur Eni.

“Saya tidak tahu harus ke mana saya mengadu. Paspor saya ditahan agen. Saya tidak mempunyai dokumen. Waktu itu, kalau tidak punya nomor telepon, kita total tidak bisa berkomunikasi.

Saya mencoba mencari bantuan, tetapi gagal. Lalu, saya mencoba negosiasi dengan majikan, tetapi mereka bilang bahwa dalam dua tahun pertama tidak ada libur.”

Oleh karena rasa rindu yang begitu besar pada keluarganya, Eni mulai mencari informasi tentang hukum di Hong Hong. Muncul pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Apakah ia mempunyai hak? Kalau mempunyai hak, ia harus bagaimana?

Suatu hari temannya memberinya informasi bahwa ia harus pergi ke Departemen Tenaga Kerja Hong Kong. Untunglah Eni bisa berbahasa inggris. Iapun mendapat informasi bahwa pekerja rumah tangga (PRT) juga memiliki hak yang sama.

“Saya merasa tertipu. Setelah tujuh bulan bekerja, saya kabur dengan modal dari sisa uang potongan dari agen. Saya pergi ke shelter Bethune House.

Di sana saya berkenalan dengan banyak pekerja migran dari berbagai negara. Mereka semua tahu hukum. Saya berkata pada diri sendiri, kok saya tidak tahu hukum? Bodoh sekali.”

Selama tiga bulan tinggal di shelter Bethune House, Eni belajar banyak tentang hukum. Dari situ ia baru mengerti bahwa ada masalah pada sistem penempatan tenaga kerja dari Indonesia, karena tidak diberi tahu mengenai sistem hukum di negara penempatan. Sejak itu iapun berbagi informasi kepada teman-temannya.

Pelan-pelan Eni membentuk asosiasi buruh migran Indonesia. Mereka melakukan pemberdayaan, edukasi, dan sosialisasi ke mana minta pertolongan.

Kemudian, ia mulai terlibat di International Migrants Alliance (IMA). IMA adalah aliansi migran dunia yang menangani 180 organisasi dari 32 negara.

“Di IMA saya mengenal dunia internasional. Sayapun tahu ada hukum internasional, ada PBB, ada ALO. Saya baru yakin bahwa memang benar kita semua punya hak. Sekarang, yang harus dilakukan adalah memperjuangkan agar hak kita diakui dan ditegakkan,” ujar Eni.

Pada tahun 2016 Eni Lestari ditunjuk PBB menjadi opening speaker pada KTT Pengungsi dan Migran di New York. Seperti yang dikatakan Eni pada dialog interaktif yang diselenggarakan Indonesian Diaspora Network Global, bahwa ia mungkin beruntung, karena ia bekerja pada seorang majikan memahaminya dan menghormatinya.

Namun, apa yang diperoleh Eni merupakan hasil dari sebuah kerja keras dan keinginan yang besar untuk maju. “Jangan habiskan waktu untuk sesuatu yang tidak berguna. Jangan menunda pekerjaan. Agar cita-cita kita tercapai, kita harus disiplin dan bersedia mengorbankan waktu untuk itu,” pesan Eni.

Atas dialog interaktif yang diselenggarakan Indonesian Diaspora Network Global, Eni berkomentar, “ini suatu kehormatan bahwa Indonesian Diaspora Global melibatkan, mengakui, dan memberikan ruang bagi PMI untuk menunjukkan dirinya dan juga bahwa kita setara dengan yang lain.”

Catatan: penulis adalah koordinator Public Relation IDN Global periode 2021-2023. []

Artikel ini ditulis oleh Evi Siregar dan pernah dimuat di Kolom Kompasiana, penulis adalah koordinator Public Relation IDN Global Periode 2021-2023.

 

Advertisement
Advertisement