November 21, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mendobrak Mitos Pahit di Ladang Sawit

3 min read

LAMANDAU – Hamparan luas lahan perkebunan sawit di wilayah Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, menjadi bukti bahwa tanaman tersebut merupakan komoditi primadona dan tulang punggung ekonomi warga setempat. Sebagian besar warga di sana memang bekerja di sektor perkebunan, terutama kelapa sawit. Tak perduli, itu milik perusahaan, koperasi, kelompok tani atau perorangan.

Salah satu tempat yang menjadi contoh sukses hasil kebun sawit mampu mengubah perekonomian warga menjadi lebih baik adalah Desa Bina Bhakti, Kecamatan Sematu Jaya. Kawasan ini awalnya merupakan pemukiman warga transmigrasi. Namun, saat ini sudah menjadi sebuah permukiman dengan bangunan rumah yang umumnya sudah berdiri permanen.

Di halaman hampir rumah warga, terparkir kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Semua fasilitas tersebut bukan didapat dari hasil korupsi. Melainkan, dari buah sawit yang selama ini mereka rawat dengan baik. Satu di antara warga yang bernasib baik itu yakni pasangan suami istri Rokim dan Siti Muawanah. Keduanya merupakan kombatan pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia dan Hong Kong.

Bagaimana ceritanya mereka bisa memiliki perkebunan, yang terbilang langka ditekuni oleh kalangan pekerja migran (apalagi Hong Kong) ini? Kepada Apakabar Plus, Rokim dan Muawanah mengaku telah merintis usaha ini sejak 14 tahun yang lalu. Saat itu Rokim masih bekerja di Malaysia, sedangkan Muawanah masih bekerja di Hong Kong.

”Saat itu kami membeli lahan milik saudara. Awalnya, tidak ada niatan ingin menanam sawit. Tapi oleh saudara, kami diberitahu bagaimana caranya dan seberapa besar potensi keuntungan menjadi petani sawit. Dari situ, kami tergugah untuk serius menjalaninya,” tutur Rokim.

Ringkas kisah, Rokim dan Muawanah membeli sebidang lahan sawit milik saudaranya tadi senilai Rp 20 juta pada 2004. Dua tahun kemudian, mereka menambah lagi membeli sebidang lahan. Sehingga, pasangan ini sekarang telah memiliki areal sawit seluas 6 hektare.

”Tahun 2008, saya berhenti bekerja dari Malaysia. Istri saya tetap bekerja di Hong Kong, karena memang kami butuh modal untuk operasional menanam sawit. Kondisi waktu itu, dua bidang lahan yang kami beli pertama, sudah ada tanamannya namun belum berbuah. Baru tahun 2009, kami merasakan nikmatnya panen pertama,” lanjut Rokim.

Menurut perhitungan Rokim, dari setiap hektare lahan kebun sawit yang sudah panen, biasanya dalam sebulan bisa dipanen sebanyak dua kali. Penghasilan bersihnya, setelah dipotong biaya perawatan dan pemupukan, berada di kisaran Rp 4-6 juta. ”Penghasilan tersebut tidak tetap. Tergantung naik turunnya harga tandan buah segar (TBS), antara Rp 1.000 sampai Rp 1.500 perkilo. Tapi pernah juga turun sampai Rp 700 perkilo,” ujarnya.

Diakui Rokim, penghasilan dari kebun sawit bagi para petani belum mampu dikalahkan oleh hasil kebun atau pertanian lainnya, seperti padi, sayuran dan buah-buahan, untuk areal lahan yang sama. ”Kami bersyukur, dari jerih payah dan hasil kebun yang tidak luas, sama seperti sebagian besar warga lainnya, kami mampu menutupi kebutuhan dapur sehari-hari. Bisa menyekolahkan anak dan merenovasi rumah, bahkan ada juga petani di sini yang mampu menunaikan ibadah haji dan membeli kendaraan roda empat,” ungkap pria asal Blora, Jawa Tengah, yang tinggal di Desa Bina Bhakti sejak 2008.

Hasil penjualan atau pemasukan kotor, sebelum dikurangi biaya operasional yang meliputi ongkos perawatan, upah tenaga kerja, bahan bakar, peremajaan alat, pemupukan dan beberapa pekerjaan yang memerlukan anggaran lain, Rokim menyebut angka di kisaran Rp 7 – 11 juta per hektar.

Dengan areal sawit seluas 6 hektare, pasangan ini rata-rata setiap bulan mampu mengantongi keuntungan bersih antara Rp 24 – 36 juta. Dari kebun yang sama, ia juga mampu menggaji 6 pekerja yang semua didatangkan dari kampung halamannya di Blora. [Asa]

 

Advertisement
Advertisement