Menelisik Efisiensi Anggaran Demi Makan Bergizi Gratis

JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu langkah strategis yang diinisiasi oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Program ini khususnya untuk mengatasi permasalahan gizi buruk, stunting, dan ketimpangan pangan yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Dengan menyediakan akses makanan sehat, MBG tidak hanya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tetapi juga menciptakan fondasi bagi generasi yang lebih sehat, produktif, dan sejahtera.
Di berbagai belahan dunia, akses terhadap makanan bergizi telah lama menjadi fokus kebijakan sosial untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Negara-negara seperti Jepang, Finlandia, dan Brazil telah membuktikan bahwa program makan bergizi gratis dapat menjadi solusi efektif dalam meningkatkan kesehatan, prestasi akademik, serta kesejahteraan sosial. Indonesia kini mengikuti langkah serupa melalui program makan bergizi gratis-sebuah inisiatif ambisius yang bertujuan mengatasi permasalahan gizi buruk, stunting, serta ketimpangan pangan yang masih menjadi tantangan besar.
Namun, bagaimana program ini dapat diimplementasikan secara efektif di Indonesia? Apakah tantangannya sebanding dengan manfaat yang diharapkan?
Pijakan Awal Makan Bergizi Gratis
Konsep MBG sejatinya bukan hal baru di dunia. Program ini terinspirasi dari berbagai inisiatif global yang telah diterapkan di beberapa negara dengan hasil yang signifikan. Salah satu referensi utama adalah School Feeding Programs yang telah diimplementasikan di beberapa negara, termasuk Jepang, Finlandia, Brazil, Kanada, dan Inggris.
Program tersebut berfokus pada penyediaan makanan sehat bagi anak-anak sekolah guna meningkatkan kualitas kesehatan mereka sekaligus mendukung prestasi akademik. Di Jepang, program makan siang sekolah sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Pemerintah Jepang tidak hanya memastikan bahwa anak-anak mendapatkan makanan bergizi, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai gizi dan pola makan sehat sejak dini.
Hasilnya, Jepang menjadi salah satu negara dengan angka harapan hidup tertinggi di dunia yang mencapai lebih dari 84 tahun. Jepang juga punya tingkat obesitas yang relatif rendah (4,5%) dibandingkan dengan negara maju lainnya.
Sementara itu, Finlandia telah lama menerapkan kebijakan makan siang gratis di sekolah sebagai bagian dari strategi pembangunan manusia. Program ini telah membantu meningkatkan kesehatan anak-anak sekaligus mengurangi kesenjangan sosial.
Dengan tolak ukur yang beriringan, Indonesia melihat peluang besar untuk menerapkan kebijakan serupa dengan penyesuaian kondisi sosial, ekonomi, dan geografis masyarakat Indonesia yang beragam. Mengingat Indonesia memiliki populasi besar dan tingkat ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi. Untuk itu, program MBG diharapkan dapat menjadi solusi untuk memastikan setiap anak mendapatkan nutrisi yang cukup guna mendukung tumbuh kembangnya.
Program ini juga menyasar pada kebijakan pangan yang inklusif, tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kesehatan masyarakat. Program juga harus juga berdampak pada sektor pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan yang dapat ditandai dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia.
Potensi MBG Tingkatkan IPM
Salah satu target utama dari program MBG adalah meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM terdiri dari tiga komponen utama, yaitu kesehatan (harapan hidup), pendidikan (rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah), serta kesejahteraan ekonomi (pengeluaran per kapita yang disesuaikan).
Dengan adanya MBG, pemerintah berharap dapat meningkatkan asupan gizi masyarakat, terutama di kalangan anak-anak dan kelompok rentan, sehingga nantinya dapat berkontribusi pada peningkatan angka harapan hidup dan kualitas pendidikan di Indonesia.
Program MBG juga diharapkan dapat menekan angka stunting yang masih menjadi permasalahan serius di Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka prevalensi stunting pada tahun 2023 mencapai 21,6%. Pemerintah menargetkan penurunan angka stunting hingga di bawah 14% pada tahun 2024, sejalan dengan target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Sayangnya, meski ditargetkan turun menjadi 14%, hingga akhir tahun 2024 belum ada data yang mengatakan demikian. Kemudian, akses terhadap makanan bergizi diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi dan performa akademik siswa di sekolah.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa asupan gizi yang baik berkontribusi pada perkembangan kognitif anak, sehingga mereka dapat menyerap pelajaran dengan lebih baik dan meningkatkan capaian pendidikan nasional.
Hal serupa dengan data BPS, IPM Indonesia pada 2023 mencapai 74,39 dan sudah meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini mencerminkan keberhasilan berbagai program pemerintah dalam mendorong pembangunan manusia yang lebih inklusif dan berkelanjutan, walaupun belum masifnya program MBG di seluruh wilayah.
Lalu muncul pertanyaan baru, apakah MBG akan meningkatkan IPM Indonesia?
Tercapai atau tidaknya tujuan ini mengacu pada upaya peningkatan program MBG di wilayah-wilayah dengan IPM rendah yang tidak terlepas dari tantangan distribusi dan ketersediaan bahan pangan. Perbedaan geografis serta keterbatasan infrastruktur membuat akses terhadap makanan bergizi menjadi tidak merata di berbagai daerah.
Akibatnya, standar menu program MBG pun bervariasi, tergantung pada kondisi setempat dan kemampuan penyediaan bahan pangan di masing-masing wilayah.
Keterbatasan Fasilitas Hingga Keracunan Makanan
Dalam upaya menyediakan makanan bergizi bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak sekolah dan kelompok rentan, berbagai tantangan muncul dalam proses penyediaan dan distribusi makanan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah keterbatasan fasilitas dapur di sekolah-sekolah, serta pusat distribusi makanan di berbagai daerah, terutama di wilayah terpencil.
Banyak sekolah di daerah tertinggal tidak memiliki dapur yang layak untuk menyiapkan makanan dalam jumlah besar, baik dari segi kapasitas maupun kelengkapan peralatan masak.
Minimnya fasilitas ini dikhawatirkan dapat menghambat proses produksi dan penyajian makanan menjadi tidak optimal. Selain itu, keterbatasan tenaga kerja yang bertugas mengolah dan menyajikan makanan juga menjadi kendala tersendiri. Banyak sekolah di daerah terpencil kekurangan tenaga dapur yang memiliki keterampilan memasak dengan standar nutrisi yang ditetapkan.
Di sisi lain, kasus keracunan makanan mengalami peningkatan sepanjang program MBG berlangsung. Pada Januari 2025, 40 siswa SD Negeri Dukuh 03 di Sukoharjo, Jawa Tengah, mengalami mual dan muntah setelah mengonsumsi makanan dari program tersebut. Lalu, puluhan murid dan guru di SDN 03 Nunukan Selatan mengalami diare setelah mengonsumsi menu ayam kecap dari program tersebut. Diduga, makanan yang disajikan sudah tidak layak konsumsi akibat kesalahan dalam penyimpanan dan distribusi. ‘
Insiden serupa terjadi di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, di mana delapan siswa SD Negeri 7 Tebing Tinggi mengalami sakit perut dan muntah-muntah usai menyantap makanan bergizi gratis.
Permasalahan ini mencerminkan kurangnya pengawasan dalam proses penyajian. Beberapa laporan dari daerah juga menunjukkan bahwa standar kebersihan dan kualitas makanan sangat bervariasi antarwilayah, tergantung pada ketersediaan fasilitas dan sumber daya manusia yang ada.
Demi menghadapi tantangan tersebut, pemerintah menekankan pentingnya efisiensi anggaran untuk memastikan keberlanjutan program MBG yang perlu dana besar.
Dalih Efisiensi Anggaran Untuk MBG
Program MBG menjadi salah satu agenda besar pemerintah dengan alokasi anggaran yang meningkat drastis.
Pada 2025, pemerintah awalnya menganggarkan Rp71 triliun untuk menjangkau 19,47 juta penerima manfaat. Namun, dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas cakupan program ini hingga 82,9 juta penerima, anggaran MBG ditingkatkan menjadi Rp171 triliun.
Hal ini menunjukkan adanya lonjakan pembiayaan yang sangat besar dalam waktu singkat. Wajar jika ini memunculkan pertanyaan terkait efisiensi dan keberlanjutan anggaran.
Pemerintah berencana menggunakan hasil efisiensi anggaran sebesar Rp750 triliun untuk mendukung program ini, dengan salah satu alokasinya adalah Rp100 triliun tambahan bagi MBG. Efisiensi anggaran ini mencakup pemangkasan belanja yang kurang prioritas serta peningkatan efektivitas distribusi dana di berbagai sektor.
Pemerintah juga berargumen bahwa lonjakan anggaran MBG dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional hingga 2%, mengingat sektor pangan dan distribusi makanan akan mengalami peningkatan permintaan. MBG berpotensi mendorong sektor pertanian, perikanan, dan UMKM penyedia makanan.
Adanya anggaran besar yang dikucurkan, petani dan pelaku usaha kecil dapat memperoleh pasar yang lebih luas dan stabil. Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari berbagai lini, bukan hanya penerima manfaat langsung, tetapi juga pelaku industri terkait.
Secara fiskal, peningkatan anggaran MBG memicu kekhawatiran mengenai keberlanjutan program ini dalam jangka panjang. Jika anggaran negara terus mengalami tekanan akibat pembiayaan MBG yang besar, pemerintah harus mencari sumber pendanaan yang lebih stabil, seperti pajak atau investasi sektor swasta, agar program ini tetap berkelanjutan tanpa mengorbankan pos anggaran lainnya.
Dalam persoalan ini ada beberapa tantangan dalam memastikan efisiensi anggaran agar benar-benar optimal, di antaranya adalah tata kelola anggaran. Pemerintah perlu memastikan bahwa alokasi dana untuk MBG tidak mengorbankan sektor penting lainnya, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Hal lain adalah kesiapan logistik dan infrastruktur. Program ini membutuhkan jaringan distribusi yang luas dan efisien agar makanan bergizi dapat sampai ke penerima manfaat tanpa mengalami pemborosan akibat keterlambatan atau penyimpangan.
Dan, yang tak kalah penting adalah monitoring dan evaluasi. Dengan anggaran sebesar itu, risiko kebocoran anggaran dan inefisiensi dalam penyaluran dana harus diminimalkan melalui pengawasan ketat dan sistem transparansi yang kuat.
Di tengah tekanan fiskal yang semakin meningkat, risiko kebocoran anggaran dan inefisiensi dalam rantai pasokan menjadi perhatian utama. Tanpa sistem monitoring dan evaluasi yang ketat, potensi pemborosan dapat mengikis manfaat program, sehingga target peningkatan kualitas hidup bagi 82,9 juta penerima manfaat hanya menjadi angan-angan.
Selain itu, investasi besar-besaran dalam distribusi dan infrastruktur pendukung harus benar-benar menghasilkan dampak jangka panjang—penurunan angka stunting dan peningkatan performa akademik, agar tidak hanya dianggap sebagai beban fiskal semata. []
Penulis: Devi Rahmawati