Menengok Kehidupan Warga Korban Lumpur Lapindo
SURABAYA – Empatbelas tahun sudah peristiwa semburan lumpur Lapindo terjadi. Bagi, Harwati warga Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo ini, tragedi itu masih begitu jelas dan menyisakan perih dan memilukan. Kala itu, dia sedang mengandung anak nomor duanya. Dia berupaya mencari perlindungan kala lumpur menggenangi kampung mereka.
“Kejadian itu buat saya luka yang sampai sekarang gak bisa disembuhkan. Kalau lihat lumpur begitu luasnya, kayak lihat diri kita sendiri ketumpahan lumpur,” kata perempuan 43 tahun ini, kala diskusi daring sebagai rangkaian diskusi memperingati Hari Anti Tambang (Hatam) yang digagas Jatam bersama organisasi simpul dan jaringan di berbagai daerah. Organisasi masyarakat sipil memperingati setiap 29 Mei, tanggal semburan lumpur Lapindo, sebagai Hari Anti Tambang.
Pada tanggal itu, 14 tahun lalu semburan lumpur keluar dari pengeboran minyak PT Lapindo Brantas, di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Muncul asap putih dari tanah yang pecah. Bersamaan dengan itu, muncul semburan lumpur. Lumpur meluber, mengenai perumahan warga, yang akhirnya merendam desa-desa sekitar tempat itu. Lumpur panas keluar tak terhenti. Kini, tanggul pun dibuat setinggi belasan meter, dan lumpur dialirkan ke sungai.
Peristiwa memang sudah 14 tahun berlalu, tetapi hidup warga yang menjadi korban compang camping hingga kini. Kini, Harwati tinggal di Desa Candipari, masih Kecamatan Porong bersama dua orang anaknya yang berusia 20 dan 13 tahun.
Dia bilang, hidup harus terus berlanjut. Namun, katanya, kehilangan desa, ruang hidup begitu berat terlebih pemerintah seakan melepas mereka begitu saja.
Tak ada pendampingan dari pemerintah baik daerah maupun pusat, kala warga harus jual beli lahan terdampak semburan ke perusahaan tambang itu.
“Kita hanya diberi uang jual beli. Kalau gak jual aset, kita gak akan dapat biaya apapun.” Tragedi lumpur Lapindo, katanya, tak hanya merugikan hidup warga, juga lingkungan.
Mereka harus bertahan dan berusaha menata hidup baru. Cari tempat tinggal baru, dan pekerjaan. Itu semua tak mudah. Korban lumpur Lapindo, di Kecamatan Porong, sebagian besar jadi tukang ojek di tanggul, termasuk Harwati.
Hidup Harwati begitu berat. Pukulan pertama terjadi dua tahun setelah bencana. Suaminya meninggal dunia karena kanker pada 2008. Orang tuanya, berturut-turut pergi pada 2011 dan 2012 karena penyakit sakit jantung dan paru-paru.
Menurut Harwati, bukan hanya keluarganya alami masalah kesehatan para korban lumpur Lapindo. Dia bilang, warga lain juga banyak alami masalah kesehatan.
Banyak rekan Harwati menderita penyakit di paru-paru yang berujung kanker. “Tahun lalu, tidak sampai satu tahun ada lima atau enam teman saya meninggal karena sakit paru-paru,” katanya.
Masalah kesehatan bagi korban lumpur Lapindo jadi satu aspek yang disorot Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Walhi Jawa Timur. Kedua organisasi lingkungan ini menemukan ada gangguan kesehatan berupa infeksi saluran pernapasan dan infeksi saluran kemih (ISK).
Temuan itu berdasarkan medical check-up kepada 30 warga korban lumpur Lapindo. Dari 30 warga, hanya satu yang tidak memiliki masalah kesehatan.
Berdasarkan dugaan awal, infeksi saluran pernapasan karena polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) dari gas luapan lumpur. PAH ditetapkan program lingkungan PBB (UNEP) sebagai senyawa karsinogen, atau yang dapat menyebabkan kanker dalam waktu panjang.
Selain PAH, Walhi Jatim pada 2008 menemuka, kandungan logam berat kadmium dan timbal dalam lumpur. Celakanya, kandungan ini makin mencemari lingkungan karena logam berat pada biota di Sungai Porong pada 2016.
“Kami temukan udang di Sungai Porong yang jadi buangan Lapindo tercemar kadmium dan timbal. Kandungan 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan,” kata Rere Christanto, Direktur Walhi Jatim.
Kejadian ISK yang marak berdasarkan hasil medical check-up pun makin memperkuat dugaan pencemaran lingkungan mulai berimbas kepada masyarakat sekitar semburan lumpur. Apalagi, mayoritas warga masih mengandalkan air minum dari air tanah.
“Sisanya ada yang mengandalkan air PDAM, tapi kami belum cek sedotan air PDAM untuk kebutuhan warga itu diambil dari lokasi sebelum atau sesudah pipa buangan lumpur lapindo ke Sungai Porong,” kata Ki Bagus Hadikusumo, Juru Kampanye Jatam.
Situasi ini, katanya, jelas mengkhawatirkan mengingat hilir Sungai Porong juga dipakai warga untuk budidaya tambak bandeng.
“Kami khawatir, UMKM ini sudah terpukul karena kasus Lapindo, tapi kalau dinaikkan lagi isu paparan pada ikan, mereka akan makin terpuruk,” katanya.
Abai
Jatam memandang, masalah lingkungan dan kesehatan merupakan hal yang terabaikan oleh pemerintah dan Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab. Jaminan kesehatan, katanya, sama sekali belum tersentuh selama 14 tahun.
“Sampai sekarang, yang diurus masih hanya soal pelunasan lahan yang sudah terendam. Ini hanya dipandang sebagai masalah properti, tidak ada jaminan kesehatan sama sekali.”
Berkaca dari kasus Harwati, masalah kesehatan warga sebetulnya bisa diringankan andaikan ada akses terhadap BPJS Kesehatan. Sayangnya, masalah kependudukan korban lumpur Lapindo masih karut marut.
“Hak politik dicabut, sejak 2009 gak bisa milih. Ini kayak kita ini apa ya?” kata Harwati.
Bagus bilang, korban lumpur Lapindo ini secara administratif, tidak diakui. “Menurut pengakuan beberapa warga, meskipun mereka pegang eKTP, tapi untuk akses ke bantuan sosial, BPJS kesehatan dan lain-lain tidak diakui karena wilayah mereka tidak ada,” kata Bagus. Warga pun mereka harus pontang-panting ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) dan lain-lain guna mengurus administrasi ini.
Masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), warga harus mengalami berjuang lagi saat hendak mengakses bantuan penanganan COVID-19 dari pemerintah pusat. Warga harus mondar-mandir mengurus ke Dukcapil agar bisa mengakses bantuan.
Kondisi berbeda biasa terlihat menjelang pemilihan umum (pemilu) ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Saat momen itu, warga mudah mengurus kependudukan hingga dapat gunakan hak pilih.
“Warga hanya diakui saat pemilu atau pilkada, di luar itu jika mereka mau mengurus surat bahwa mereka adalah warga yang rumahnya terendam lumpur. Mereka mati-matian sampai harus sumpah pocong segala,” kata Bagus.
Menurut Harwati, hak sebagai warga sipil hilang karena data kependudukan tak ada. Administrasi kependudukan berantakan memperparah penderitaan warga. “Yang paling miris, data kependudukan dari tiga desa, Siring, Jatirejo dan Reno, itu tidak ada di tingkat kabupaten, provinsi dan Kecamatan Porong,” katanya.
Buntutnya, penduduk tak bisa mengakses jaminan kesehatan pemerintah dalam BPJS Kesehatan melalui Kartu Indonesia Sehat.
“Tidak bisa, saya tidak bisa akses jaminan kesehatan seperti BPJS untuk masyarakat miskin dan informasi pun tidak bisa saya akses dengan baik.”
Bayar cicil
Sebagai penyintas, Harwati merasakan benar bagaimana hidup serba tidak pasti karena jual beli bayar bertahap. Metode pembayaran itu, katanya, sangat merugikan dia dan orang lain yang tak memiliki cukup uang untuk membeli tanah atau tempat tinggal baru.
Awalnya, pembayaran uang tunai 20% dari kesepakatan jual beli yang ditandatangani pada 2008 dan pelunasan 80% sisa akan dilakukan Lapindo 2 tahun setelah penandatanganan itu. Itu hanya angka di atas kertas, karena pembayaran dengan cicil, mulai nominal Rp35 juta, turun jadi Rp25 juta, lalu Rp15 juta hingga terendah Rp5 juta. Itupun tak dengan interval konstan. Kadang pembayaran sebulan sekali, kadang lima bulan sekali bahkan, ada sampai tujuh bulan sekali.
“Akibatnya, saya cuma bisa menclak-menclok, pindah-pindah tempat tinggal karena tidak ada orang yang mau tanahnya dibeli dengan nyicil, kan? Belum lagi kami butuh uang itu untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah,” kata Harwati.
Pembayaran yang tak konsisten membuat pemenuhan hak warga jadi susah. Harwati bilang. sejak penandatanganan ikatan jual beli, masih ada warga yang belum sepenuhnya mendapatkan uang. Dia pun sejak 2013 hanya menerima Rp115 juta dari Rp150 juta yang disepakati.
“Ohh, saya kejar terus, saya tidak tahu bagaimana dan kenapa pelunasan hanya segitu, tapi karena tidak punya kekuatan, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Terutama karena semua surat diambil oleh Lapindo sejak pembayaran 20% di awal, kami hanya pegang akte jual beli saja sejak saat itu.”
Perubahan sosial dan bencana industri
Jual beli lahan warga korban lumpur Lapindo, kata Bagus sebagai jual beli paksa. Satu sisi masyarakat tidak mau lepaskan tanah dan tidak mendapatkan apa-apa, satu sisi mereka harus menjual dengan terpaksa.
“Satu sisi mereka dipaksa pindah, dipaksa berpencar dan secara ekonomi dipaksa mulai dari nol lagi. Secara sosial ingatan mereka pun harus mulai dari nol lagi, terutama generasi muda.”
Macam Harwati, kini jadi tulang punggung keluarga sebagai tukang ojek. Ironisnya, konsumen Harwati ialah para pengunjung yang mau datang dan berwisata melihat bentangan lumpur yang melahap kenangan masa kecil Harwati.
“Kabupaten Sidoarjo ini promosikan kawasan ini sebagai wisata lumpur Sidoarjo, bukan wisata lumpur Lapindo.”
Jatam dan Walhi menilai, lumpur Lapindo ini seharusnya bisa sebagai bencana industri mengacu pada Undang-undang Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dalam Pasal 1 ayat 3 terdapat definisi bencana non alam yang menyebutkan, kalau bencana itu merupakan peristiwa yang oleh peristiwa atau rangkaian nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.
Serupa dengan itu, United Nation Office of Disaster Risk Reduction memeberikan definis terkait kegagalan teknologi sebagai kejadian bencana yang disebabkan kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi atau industri. “Artinya, kejadian yang terjadi di Lapindo ini udah masuk dalam definisi bencana industri,” kata Rere.
Dengan ada pengeboran yang menghasilkan semburan lumpur panas sudah cukup untuk mendapuk efek aktivitas PT Lapindo sebagai bencana industri. Selain itu, katanya, bermacam penelitian juga menunjukkan kejadian bencana dengan aktivitas pengeboran.
“Laporan resmi audit BPK juga tunjukkan hal sama.”
Sayangnya, belum pernah ada kejadian kebencanaan di Indonesia yang disebut sebagai bencana industri. Padahal, pemerintah memiliki instrumen untuk menyatakan itu.
Dalam UU Penanggulangan Bencana, Industri wajib melakukan analisis risiko bencana, hingga bisa review perizinan perusahaan kalau terjadi pelanggaran serius hingga terjadi bencana. Analisis risiko bencana ini, kata Rere, sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaporkan secara periodik kepada pemerintah.
“Sekarang kita lihat tida ada istilah bencana industri, dan perusahaan pun bisa melengang dan terhindar dari kewajiban yang harus mereka lakukan.”
Jatam menilai, segala bentuk bencana yang terjadi di dalam dan sekitaran pertambangan seharusnya sebagai bentuk bencana industri.
“Kita bisa lihat banjir di Bengkulu yang sebabkan 1.200 orang mengungsi, lalu di Kowane Utara ada banjir berminggu-minggu. Itu tidak lepas dari ribuan pertambangan di sana,” kata Bagus.
Penegakan hukum terhadap industri tambang pun berpotensi akan terus tidak memiliki gigi seiring dengan penghapusan pasal 165 di Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara lama yang sebenarnya dapat mencegah kesewenang-wenangan pejabat untuk memberikan izin.
“Dengan demikian ketika ada pejabat yang ugal-ugalan berikan izin tambang, UU Minerba yang baru justru tidak menuliskan ada sanksi pidana bagi mereka. Karena itu lewat Hari Anti Tambang ini kami menyerukan agar pemerintah menyetop promosi dan proteksi industri pertambangan.” []
Penulis : Richaldo Hariandja