Mengapa China Sering Menjadi Pusat Penyebaran Awal Penyakit yang Menular ke Berbagai Negara di Dunia ?
JAKARTA – Pandemi virus corona Covid-19 yang kasus awalnya muncul pertama kali di China belum mereda setelah lebih dari satu tahun. Sementara itu, saat banyak negara masih berusaha mengatasi penyebaran Covid-19, dilaporkan kasus flu burung H10N3 yang menginfeksi satu orang di China beberapa waktu lalu.
Apabila melihat sejarahnya, banyak epidemi berasal dari negara China. Dua pandemi flu yaitu flu Asia dan flu Hong Kong, yang memicu tiga juta kematian secara global, bermula dari China. Demikian juga SARS, flu burung H5N1, dan sekarang Covid-19 bermula dari China.
Sebelumnya, China juga mengalami munculnya flu burung H7N9 dan severe fever thrombocytopenia syndrome (SFTS), serta munculnya kembali rabies, brucellosis, dan zoonosis lainnya.
Mengapa China kerap menjadi episenter awal wabah penyakit menular?
Hotspot
Wabah penyakit menular bisa terjadi karena limpahan patogen dari hewan ke manusia. Berdasarkan kajian terbaru dari para peneliti Universitas California, Berkeley, yang dipublikasikan di jurnal Nature pada 31 Mei 2021 menyebut bahwa China dan Asia Tenggara kerap menjadi episentrum awal wabah.
Mereka memetakan titik panas wabah yang dipicu oleh penggundulan hutan, perluasan lahan pertanian dan produksi ternak. Studi itu mengungkapkan, sebagian besar titik panas risiko lompatan virus korona baru berada di China.
Ini karena peningkatan permintaan produk daging yang mendorong perluasan peternakan industri skala besar.
Selain China, negara di Asia Tenggara dianggap berisiko, termasuk Pulau Jawa, Indonesia.
Sebelumnya, beberapa virus yang berawal dari patogen hewan ke manusia juga ditemukan di China dan Asia.
Mengutip Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, virus H2N2 dilaporkan pertama kali di Singapura pada Februari 1957 dan Hongkong April 1957. Kemudian, virus flu burung H5N1 pertama kali dideteksi di China pada 1996, kemudian merebak di Hong Kong pada 1997.
Kemudian, flu burung H7N9 yang paling banyak menginfeksi manusia juga bermula dari China pada Maret 2013. Rabu (02/06/2021) lalu, virus flu burung H10N3 pertama kali menjangkiti manusia yang ditemukan pada seorang pria berusia 41 tahun di Jiangsu, China.
Perubahan penggunaan lahan
Studi yang dilakukan oleh Paolo D’Odorico, profesor ilmu lingkungan, kebijakan, dan manajemen di UC Berkeley, mengungkapkan kaitan transmisi virus corona dan perubahan penggunaan lahan.
Perubahan penggunaan lahan disebut menciptakan titik panas yang berisiko memicu lompatan virus dari binatang ke manusia.
Penggunaan lahan yang dimaksud yaitu fragmentasi atau penggundulan hutan, perusakan habitat, perluasan pertanian, produksi ternak terkonsentrasi dan penetrasi manusia ke habitat satwa liar Ia menyebut, China menjadi titik panas global dari fragmentasi hutan yang tinggi, kepadatan ternak dan pemukiman manusia secara bersamaan.
Perubahan penggunaan lahan memang bukan hanya di China dan Asia Tenggara, tetapi secara global. Namun akibatnya, episentrum banyak ditemukan di dua wilayah itu.
Selain penggunaan lahan, studi ini menganalisa sebaran kelelawar tapal kuda diduga menjadi inang dari sejumlah virus corona. Strainnya secara genetik mirip dengan yang menyebabkan Covid-19 dan sindrom pernapasan akut parah (SARS).
Ia mendata jangkauan kelelawar tapal kuda, yang membentang dari Eropa Barat hingga Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Hasilnya, ditemukan sejumlah titik panas atau hotspot yang diidentifikasi berisiko menjadi episentrum wabah penyakit menular.
Titik panas global utama lainnya di luar China ditemukan di Jawa, Bhutan, Nepal Timur, Bangladesh Utara, negara bagian Kerala India dan Timur Laut Laut yang sebelumnya merupakan episentrum wabah virus Nipah.
Daerah lain yang rentan terhadap transisi titik panas sebagai akibat dari fragmentasi hutan termasuk Jepang dan Filipina utara.
Kepadatan populasi dan kotak dekat
Ahli kesehatan hewan dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies, Tri Satya Putri Naipospos mengatakan bahwa episentrum wabah juga bisa disebabkan tingginya kepadatan populasi dan kontak dekat dengan berbagai spesies hewan.
Mengutip Harian Kompas, Jumat (04/06/2021), kontak dekat dengan banyaknya spesies hewan yang potensial menjadi reservoir virus memberikan peluang lebih mudah bagi virus-virus untuk melompat keluar.
Faktor lainnya adalah adanya perdagangan satwa liar yang berlangsung setiap hari dan pencemaran sungai oleh kotoran sehingga menyebabkan munculnya virus-virus baru. Terkait flu burung dia mengatakan, kita harus terus waspada pada setiap varian virus flu burung, yang terus bersirkulasi di peternakan unggas di dunia.
”Virus ini punya sejarah mampu menjangkiti manusia meski penularan orang ke orang sebagaimana terjadi dengan H7N9 terbatas,” ujarnya.
Menurut Tri, virus flu burung memiliki kombinasi yang sangat banyak dan karena itu memiliki banyak varian.
”Variasi N ada 16 dan H ada 9 sehingga kombinasinya lebih dari 200 varian,” katanya.
Sebelumnya, strain flu burung H5N1 mewabah sejak 2003, yang menurut laporan WHO pada 2020 secara akumulatif telah menginfeksi 861 orang dengan total korban jiwa sebanyak 455 orang.
Indonesia diketahui menjadi negara dengan korban jiwa terbanyak akibat virus ini, yaitu dari 200 orang yang terinfeksi, 168 orang meninggal. Saat ini salah satu varian flu burung virus H5N8 sejak 2020 hingga kini masih menimbulkan wabah pada unggas di Eropa, Amerika, dan Australia.
Pada Feburari 2021, Rusia telah melaporkan kasus pertama orang yang terinfeksi H5N8. Mereka yang terinfeksi adalah tujuh pekerja di peternakan ayam.
”Para ahli mengatakan, dari beragam varian flu burung ini, yang sementara ini perlu diwaspadai karena dianggap high pathogenic avian influenza adalah H5 dan H7. Sementara H10 digolongkan low pathogenic,” kata Tri.
Sekalipun demikian, virus flu ini diketahui memiliki kemampuan mutasi yang cepat.
”Di kalangan ahli, pandemi influenza masih tetap ancaman besar. Namun, kita belum tahu, varian mana yang akan menjadi pandemi berikutnya. Virus flu ini terus berevolusi dan ini harus diwaspadai,” jelas Tri.[]
Sumber Kompas.com