Mengenal Sutopo Purwo Nugroho,Sosok Pemberi Petunjuk Saat Bencana, Kini Sedang Berjuang Melawan Kanker Yang Menggerogoti Tubuhnya
JAKARTA – Siang itu ia berjalan di koridor menuju ruang kantornya. Pundaknya miring. Yang kiri lebih rendah daripada sebelah kanan.
Perjalanannya sekitar semenit. Sutopo Purwo Nugroho terlihat lelah tapi masih dapat tersenyum menyapa kami bertiga, Fajar WH, Sorta Tobing, dan Bismo Agung.
“Fisik saya makin lemah,” katanya ketika sampai di ruang kerjanya di lantai 12 Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jalan Pramuka Nomor 38, Matraman, Jakarta Timur, pada Kamis (01/11/2018).
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB itu lalu duduk di depan meja kerjanya. Berlembar-lembar surat harus ia baca dan tanda tangani. Namun, yang menarik perhatian kami justru sebuah amplop tebal yang telah dibuka oleh stafnya.
Tanpa perlu melihat isinya, Sutopo sudah bisa menduga. “Ini isinya obat. Banyak sekali yang mengirim obat ke saya,” ujarnya sambil menunjuk meja rapat panjang di depannya. “Lihat saja di sana.”
Di meja itu memang banyak obat dalam berbagai kemasan. Ada pula sebuah botol madu yang belum dibuka tutupnya.
Amplop yang dipegang Sutopo berisi satu strip kapsul. Ada tiga lembar surat menyertainya. Pengirimnya adalah seorang perempuan berusia 66 tahun. Ia menganjurkan Sutopo meminum obat kapsul ular dari Cina untuk menyembuhkan penyakitnya.
Sutopo kemudian menyimpan kembali surat dan obat itu. Ia tak bisa meminumnya karena takut kontradiksi dengan pengobatan medis yang sedang ia jalani.
Dari puluhan obat yang sampai ke mejanya, ada satu berasal dari plasenta rusa yang ia minum. Harganya mahal sekali. Satu paket mencapai Rp5 juta. “Saya coba minum ini,” katanya menunjukkan kemasan obat itu yang berwarna putih.
Sutopo tak bisa menutupi rasa sakitnya. Selama hampir satu jam berbincang dengan kami, ia sering memegang dada kirinya yang terkena kanker paru-paru stadium 4b.
“Saya sekarang sulit sekali tidur,” kata pria 49 tahun ini. Terlentang, sakit. Tengkurap, mustahil. Miring pun membuat nyeri dada hingga punggungnya. Tak jarang, ia tidur sambil duduk. Tentu saja itu pun tak lelap.
Tangan kirinya mulai mati rasa. Kulitnya muncul flek hitam, efek lima kemoterapi yang telah ia jalani. Pundaknya miring karena kanker telah menyerang tulang punggungnya.
“Ada yang bilang saya kena guna-guna,” ujarnya. Ia mau-tak mau percaya karena lebih dari satu ustaz yang mengatakannya. “Saya sudah di-ruqyah enam sampai tujuh kali,” ujar Sutopo.
Tinggal satu kemoterapi lagi yang harus ia jalani. Rencananya, pekan depan. Itu akan menjadi set yang terakhir, sebelum ia melakukan pemeriksaan kembali kondisi kankernya.
Ia mengakui fisiknya tak membaik. Kesembuhan rasanya jauh dari harapan. Tapi tidak semangatnya. Ia masih bekerja seperti biasa. Berangkat pukul enam pagi dari rumahnya di Cibubur. Lalu, sampai kantor sekitar pukul setengah delapan.
Aktivitasnya masih seperti biasa. Memberikan informasi soal bencana. Melayani pertanyaan wartawan. Membuat rilis media. “Hanya ke luar kota tidak saya lakukan lagi,” kata Sutopo. Pukul lima sore ia menyelesaikan semua urusan kantor dan pulang.
Kepada kami, pria yang akrab dipanggil Pak Topo ini bercerita banyak soal kesibukan dan sakitnya. Ia juga menjelaskan alasan di balik keputusannya untuk tetap bekerja walaupun divonis tinggal satu sampai tiga tahun lagi umurnya. Simak ceritanya berikut ini.
Tak punya admin
Ketika bencana melanda tanah air, Sutopo menjadi media darling. Pernyataannya dinanti-nanti awak pers, baik dalam maupun luar negeri, untuk mendapatkan informasi kredibel.
Yang menarik, sebagai seorang doktor bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, ia tak pernah memakai bahasa yang rumit. Bahkan tak sungkan ia memenggal lagu Raisa, Mantan Terindah, untuk memberi pesan di akun Twitternya.
Caranya ini yang membuatnya tak berjarak. Bukan hanya dengan para pemburu berita, tapi juga masyarakat awam.
Tak ingin gaya tulisannya berubah, ia mengaku tak mau memakai jasa admin. “Semua tweet saya yang menulis langsung,” ujar Sutopo. Padahal sebagai kepala bagian dengan golongan IVe, sebenarnya mudah saja ia menyuruh stafnya melakukan itu.
Untuk urusan rilis pun ia tak meminta bantuan orang lain. Ia mengerjakan semuanya sendiri. “Setiap tahun saya membuat 300 sampai 600 rilis,” ujarnya.
Pernah satu kali ketika ia sedang menjalani pengobatan kanker di Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Baru saja mau masuk ruang operasi, ada kejadian longsor di Brebes, Jawa Tengah.
Sutopo cepat-cepat menghubungi BPBD setempat. “Mereka tahu informasi itu masih awal sekali dari camat. Saya langsung minta nomor telponnya,” kata Sutopo. Ia kontak camat tersebut, membuat rilis, kirim ke awak media, setelah itu ke ruang operasi.
Pekerjaan lain yang konsisten ia kerjakan adalah menangkal berita bohong. Kabar seperti ini kerap muncul di tengah masyarakat dan membuat resah. Ketika pesawat Lion Air JT 610 jatuh pada awal pekan ini, Sutopo berkicau agar para netizen menghentikan penyebaran hoax. Ia juga mengklarifikasi gambar-gambar yang menipu banyak orang.
Tulisannya tak hanya menjadi rujukan media, tapi juga para turis mancanegara. Peristiwa Gunung Agung yang meletus di Bali tahun lalu sempat membuat wisatawan enggan ke sana.
Seorang warga negara Jerman sampai mengirim pesan privat ke akun Twitter Sutopo. Ia ingin memastikan apakah masih bisa melangsungkan pernikahannya di Pulau Dewata. Sutopo yakin bisa. Pesta itu pun berjalan lancar.
Bahkan pengantin baru tersebut sempat bertanya ke Sutopo tempat bulan madu yang tepat untuk mereka. Sutopo memilihkan, lagi-lagi, Bali. Lokasinya menghadap Gunung Agung tapi beradius aman, lebih 10 kilometer dari puncaknya. “Bayangkan Anda bisa honeymoon dengan pemandangan gunung yang meletus,” katanya ketika itu.
Mereka pun setuju dan merasa senang sekali dengan rekomendasi Sutopo. “Mereka mengucapkan banyak terima kasih ke saya,” ujarnya.
Berawal dari batuk ringan
Ia memilih tetap beraktivitas seperti biasa bukan tanpa sebab. Inilah yang membuatnya tetap merasa hidup. “Kalau saya diam saja di rumah, tidak menyelesaikan masalah,” kata Sutopo.
Dokter sebenarnya menyarankan Sutopo untuk lebih banyak istirahat. Tapi permintaan ini sulit ia penuhi. Ia malah merasa takut ketika Sabtu dan Minggu datang kepadanya. Di saat tidak bekerja, Sutopo justru merasa kesakitan yang luar biasa.
Menjadi juru bicara sebenarnya bukan cita-cita Sutopo. Anak pensiunan guru yang lahir dan besar di Boyolali, Jawa Tengah ini ingin menjadi peneliti. Meskipun lahir dari keluarga kurang mampu, tapi ia tak merasa hal itu menjadi kekurangan. Semangatnya dalam belajar membuatnya selalu menjadi siswa berprestasi.
Lulus cumlaude dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Sutopo bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Saya awalnya mau masuk fakultas kedokteran tapi tidak diterima,” katanya tertawa.
Sedang asyik menjadi peneliti, tiba-tiba ia pindah ke BNPB pada 2010. Di sini kariernya semakin mocer terutama ketika memimpin bagian informasi dan humas. Banyak peristiwa alam terjadi dan ia tampil sebagai juru bicara yang mumpuni. Sutopo belajar sendiri bagaimana melakukan komunikasi yang tepat untuk media dan masyarakat.
Di usia 40 tahun ia sudah sarjana strata tiga dan menjadi kepala bagian. Kehidupan pribadinya bersama istri dan dua anak berjalan harmonis. Rasanya semesta berputar positif mengelilingi Sutopo kala itu.
Tapi kehidupan juga yang mengambil cepat seluruh kebahagiaan itu. Januari lalu, vonis itu datang kepada Sutopo. Kanker stadium 4b. Tanda-tanda sakit yang tak biasa sudah ia rasakan dua bulan sebelumnya.
“Awalnya, batuk-batuk kecil. Saya minum obat di pasaran. Sembuh, lalu sakit lagi,” ujarnya. Kalau berdiri terlalu lama pun punggungnya terasa sakit.
Ia cek jantung. Dokter mengatakan semua normal. Lalu, ke dokter internis. “Dia bilang ini asam lambung naik,” kata Sutopo. Obat yang ia minum tak membuat batuknya hilang.
Awal tahun lalu, ia iseng ke dokter paru-paru. Hasil Rontgen menunjukkan kabut menutup paru-paru kirinya. Lalu, ketika melihat CT Scan dokter mengatakan ia menderita kanker paru-paru stadium 4.
Ia sempat memeriksakan kembali hasil itu ke dokter ke Malaysia. Vonisnya sama. Bahkan dokter itu mengatakan hidupnya tinggal satu sampai tiga tahun lagi. Sutopo terkejut dan tak bisa menerima keadaan tersebut. “Saya langsung ingat keluarga. Anak-anak saya masih kecil,” ujarnya.
Rasa marah dan banyak pertanyaan mengisi hati dan kepalanya. “Mengapa saya yang tidak merokok, hidup sehat, makan buah dan sayur, olahraga renang dan fitness teratur, kena sakit ini?” katanya. Ia pun tak punya garis keturunan langsung yang kena kanker.
Ada yang mengatakan kepadanya, sakit ini untuk mengurangi dosa-dosanya. Sutopo makin memberontak. “Lah, kenapa bukan politikus yang bikin gaduh atau koruptor?” tanyanya lagi.
Sampai akhirnya Sutopo masuk pesantren di Malang, Jawa Timur. Menjadi santri dan sempat di-ruqyah, ia pun bisa tenang dan menemukan kembali kedamaian hidup. “Bapak saya juga bilang hidup ini tidak linear,” kata Sutopo.
Rasa nrimo ini yang membuat Sutopo berhasil bekerja seperti biasa. Tapi ia juga mengaku sering kesakitan. Pada saat gempa dan tsunami terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, akhir September lalu, selama dua minggu ia rutin menggelar konferensi pers di kantornya, setidaknya dua kali dalam sehari.
Untuk mengurangi rasa sakit, Sutopo menempel koyo berisi morfin di dadanya. Selama 24 jam ia bisa merasa seperti fly, lalu setelahnya mual dan muntah.
“Tapi saya tidak bisa istirahat. Banyak yang mencari saya dan butuh informasi akurat,” ujarnya.
Lantas, apakah ia optimis akan sembuh? “Ya harus. Saya lihat jutaan masyarakat mendoakan. Insya Allah, satu dari jutaan tadi ada yang di-ijabah Allah,” ujar Sutopo.
Ia yakin kesempatan untuk sembuh masih ada. Di sisi lain, Sutopo terus bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya. “Saya meyakini hidup ini bukan ditentukan panjang-pendek usia tapi seberapa besar memberi manfaat kepada sesama,” katanya. [Sorta Tobing/BT]
Biodata Sutopo :
Sutopo Purwo Nugroho
Tempat, tanggal lahir: Boyolali, 7 Oktober 1969
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Boyolali, Jawa Tengah (1977-1983)
- SMP Negeri 1 Boyolali, Jawa Tengah (1983-1986)
- SMA Negeri 1 Boyolali, Jawa Tengah (1986-1989)
- Sarjana strata satu, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada (1989-1994)
- Sarjana strata dua, Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Institut Pertanian Bogor (1998-2000)
- Sarjana strata tiga, Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (2008-2010)
Karier:
- bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dengan posisi terakhir peneliti senior utama (1994-2010)
- bekerja di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, posisi saat ini sebagai Kepala Pusat Data Informasi dan Humas (2010-sekarang)
- pengajar di Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, dan Universitas Pertahanan
Karya tulis:
- 11 jurnal ilmiah internasional
- 100 jurnal ilmiah nasional
- berbagai buku dan artikel di media massa
Beberapa penghargaan:
- Mahasiswa Teladan Universitas Gadjah Mada (1993)
- Elshinta Award 2011 sebagai Humas Terbaik (2012)
- Elshinta Award 2012 sebagai Humas Terbaik (2013)
- Humas Terbaik, The Second Indonesia Public Relations Awards and Summit dari Serikat Pekerja Pers (2013)
- Golden Public Campaigner Award dari RMOL.CO (2014)
- Elshinta Award 2013 sebagai Humas Terbaik (2014)
- Outstanding Spokeperson dari The Jakarta Foreign Correspondents Club (2017)
- Penerima Penghargaan Bidang Komunikasi Bencana Alam, Ikatan Ahli Geologi Indonesia Award (2018)