Mengenal Toxic Positivity, Kalimat Baik yang Justru Meracuni Mental
JAKARTA – Perasaan negatif seperti kecewa dan sedih merupakan emosi yang normal dirasakan, bahkan emosi ini sangat mudah muncul dan penyebabnya lebih kompleks ketika seseorang masuk usia dewasa.
Namun, pernahkah dalam situasi ini Anda justru dituntut untuk menyimpan emosi tersebut dengan memikirkan sisi positif terhadap apa yang dialami?
Lingkungan sosial secara tidak langsung membentuk respon tersebut, di mana setiap orang harus mempertahankan pola pikir positif.
ketika seseorang bercerita dan mengeluh, tidak peduli seberapa parah atau sulitnya suatu situasi yang dihadapi, lingkungan terdekat seperti keluarga dan sahabat cenderung menyarankan untuk mencari hal baik dari situasi tersebut. Situasi ini sering disebut dengan toxic positivity.
“Ini hanya cobaan kecil masalah orang lain lebih besar”, “Kamu harus bersyukur”, “Cobalah mengambil positifnya”, kalimat-kalimat ini paling sering diucapkan untuk merespon emosi negatif orang lain, dan ini bisa menjadi toxic positivity.
Sebagian orang yang memberikan respon tersebut mungkin bertujuan untuk memberikan motivasi, rasa optimis dan sejenisnya, agar kesedihan dan kekhawatiran tidak berlarut. Namun, respon ini bisa pula memperburuk kondisi mental seseorang, menyebabkan ia merasa terabaikan.
Melansir dari Verywellmind.com, toxic positivity dapat membuat seseorang merasa sedang dihakimi karena mengeluh atau tidak mampu menerka hal baik dari situasi yang dialami.
Toxic positivity secara tidak langsung meminta seseorang untuk terus merasa positif, mengabaikan dan menolak emosi negatif. Emosi negatif dipandang sebagai suatu yang buruk dan tidak berlaku, sehingga dituntut terus berpura-pura bahagia dan tidak sempat mengasihani diri sendiri sebagai bentuk self love.
Ia akan berpikir bahwa menceritakan masalahnya adalah suatu hal yang memalukan dan emosi negatif yang dirasakan merupakan hal yang tidak penting dan tidak diterima oleh lingkungannya. Pada akhirnya ketika mengalami kejadian atau situasi yang buruk, seseorang akan memilih untuk memendamnya.
Di sisi lain, ketika ia tidak berhasil keluar dari masalah tersebut, ia akan merasa bersalah karena tidak mampu menemukan cara untuk merasa positif.
Respon lingkungan yang telah membudaya ini membuat seseorang cenderung menyimpan sendiri emosi negatif yang dimiliki, seperti kesedihan, kecemasan, gelisah, kecemburuan dan sebagainya.
Bayangkan dalam situasi traumatis seperti PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), orang terkasih meninggal dunia, pengkhianatan, tuntutan dan tekanan pekerjaan, dan situasi buruk lainnya yang memicu emosi negatif harus dipendam akibat rasa terabaikan, malu dan rasa bersalah terhadap diri sendiri.
Psikolog Klinis asal Pennsylvania, Jaime Zuckerman mengatakan, situasi ini alih-alih membantu keluar dari masalah namun justru dapat menyebabkan tekanan psikologis internal atau masalah pada mental.
“Menghindari atau menekan ketidaknyamanan emosional menyebabkan peningkatan kecemasan, depresi, dan memburuknya kesehatan mental secara keseluruhan,” kata Zuckerman seperti dikutip dari laman Healthline.
Artinya, kalimat positif juga dapat menjadi racun untuk orang lain. Menurut Jaime, langkah terbaik untuk menghindari toxic positivity yakni dengan mendengarkan dan menerima keluh kelas seseorang tanpa syarat.
Berikan dukungan tanpa saran, termasuk mengatakan bahwa emosi negatif adalah hal yang normal dan sangat wajar seseorang merasakannya. Hindari untuk membandingkan masalahnya dengan masalah diri sendiri atau orang lain.
Nah, jika Anda sendiri merasa terjebak dalam toxic positivity cobalah untuk menulis jurnal dan menumpahkan semua , perasaan tanpa disembunyikan. Masih dalam Health Line, sebuah penelitian tentang otak menunjukan mengungkapkan perasaan ke dalam kata-kata mengurangi intensitas emosi seperti kesedihan, kemarahan, dan rasa sakit.
Cobalah untuk mengambil waktu untuk hanya memikirkan diri sendiri, memanjakan dan melakukan aktivitas yang disukai. Jika kesulitan keluar dari toxic positivity jangan ragu untuk menemui psikolog. []