April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mengenang Syarif Muhammad Alkadri, Sang Perancang Lambang Negara Burung Garuda

7 min read

JAKARTAGaruda Pancasila

Akulah Pendukungmu

Patriot Proklamasi

Sedia Berkorban Untukmu

Pancasila Dasar Negara

Rakyat Adil Makmur Sentosa

Pribadi Bangsaku

Ayo Maju-Maju, Ayo Maju-Maju, Ayo Maju-Maju

Lantunan “Garuda Pancasila” karya Sudharnoto kadung terngiang-ngiang di telinga masyarakat Indonesia. Setiap upacara di sekolah atau perayaan Hari Kemerdekaan, lagu tersebut selalu wajib dinyanyikan untuk membangkitkan semangat. Nuansa kebanggaan Indonesia seolah menyeruak dari lirik serta ketukannya.

Namun, lambang Garuda tidak terbentuk dalam proses yang mudah. Lika-liku panjang, telah dilewatinya, hingga mewujud sempurna seperti sekarang. Adalah Sultan Hamid II yang berjasa merancangnya, lengkap dengan aneka makna di segala sisi.

Kala itu, dia tengah menjabat Menteri Negara Zonder Portfolio, Kabinet Republik Indonesia Serikat tahun 1949. Pria asal Pontianak, Kalimantan Tengah, itu ditugaskan Bung Karno merancang lambang negara sesuai perintah Konstitusi RIS 1949, Pasal 3.

Semula, satu sayembara dibuka, mengundang para pelukis untuk turut serta. Namun karena semua hasilnya tidak memenuhi kriteria, maka ditunjuklah Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin. Keduanya tak sendiri. Seorang semiolog berkebangsaan Prancis, D. Ruhl Jr, dilibatkan sebagai konsultan.

Percakapan mengenai kebutuhan lambang negara, sudah terjadi jauh-jauh hari sebelum proklamsi dikumandangkan. Satu di antaranya, berlangsung pada 13 Juli 1945. Seorang anggota Panitia Perancangan Undang-Undang Dasar 1945, bernama Parada Harahap, telah mengusulkan pembuatannya.

Presiden Soekarno lantas menindaklanjuti dengan membentuk Panitia Indonesia Raya yang bertugas mempersiapkan bahan kajiannya. Ki Hajar Dewantara duduk sebagai ketua, dengan wakil Muhammad Yamin.

Pergolakan politik yang sedemikian riuh dan cepat, membuat panitia tidak bisa bekerja cepat. Hingga pada 1947, kementerian penerangan mengambil kembali jalan sayembara. Berbagai rganisasi seni lukis dirangkul, untuk menyumbangkan karya. Antara lain, Seniman Indonesia Muda, Pelukis Rakyat, juga Pusat Tenaga Pelukis Indonesia.

Ternyata, arahan sayembara begitu rumit. Tidak ada perincian jelas mengenai anasir-anasir yang mesti disematakan pada calon lambang negara. Ini membingungkan para peserta.

Hasilnya, dari 12 sketsa lambang negara yang dikumpulkan para seniman, tidak ada satupun yang terpilih. Semua gambar dianggap tidak memenuhi syarat lambang negara yang bernilai seni tinggi dan memiliki historis sejarah bangsa.

Pencarian lambang pun mandek. Hingga dua tahun kemudian, Konstitusi Republik Indonesia Serikat atau RIS, pada 27 Desember 1949, mengharuskan Indonesia memiliki lambang negara. Yakni pada bagian III, yang berjudul “Lambang dan Bahasa Negara”. Soekarno berkali-kali menekankan lambang negara harus mengangkat simbol-simbol peradaban bangsa Indonesia.

Pemerintah kemudian membentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lambang Negara, pada Januari 1950. Koordinatornya adalah Menteri Negara RIS Zonder Portoflolio Sultan Hamid IIm dengan susunan Panitia teknis; Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, R.M. Ng. Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia tersebut bertugas menilai sekaligus memilih rancangan lambang negara yang didapat melalui sayembara, lantas diajukan kepada pemerintah.

Dari karya-karya yang masuk, goresan Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin menjadi dua yang terbaik.

Sultan Hamid II dalam satu surat yang dilayangkan pada wartawan Solichin Salam di Jakarta, 15 April 1967, mengatakan, Soekarno menginginkan lambang yang setara dengan lambang-lambang negara besar lain di dunia. “Agar setara dan gambarnya seharmonis mungkin, seperti lambang-lambang negara besar lain di dunia,” tulisnya.

 

Desain Awal

Soekarno sangat percaya dengan kemampuan Sultan Hamid. Pasalnya, mereka sempat sama-sama kuliah di jurusan teknik sipil di T.H.S Bandung, yang kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung.

Pertama, Sultan Hamid membuat sketsa burung garuda berdasar masukan Ki Hadjar Dewantara. Wujudnya mengacu dari sosok mitologis seperti yang tercitra pada patung maupun relief candi-candi di Pulau Jawa.

Untuk pembanding, Sultan menyertakan simbol burung garuda yang digunakan Kerajaan Sintang Kalimantan Barat, yang masih terhubung dengan Majapahit. Kisah-kisah yang menandai persinggungan keduanya banyak tercecer. Antara lain, ‘Legenda Dara Juanti dengan Patih Lohgender’.

Selain itu, Sultan Hamid menggunakan referensi mancanegara, yakni Polandia. Figur elang, lambang negeri itu, diambil sebab dianggap mirip burung garuda.

Pada sketsa awal, Muhammad Yamin sempat memberi saran kepada Sultan Hamid untuk menggunakan simbol bunga teratai sebagai dudukan burung garuda. Menurut Yamin, teratai sejalan dengan mitologi bangsa Indonesia yang berasal dari peradaban agama Buddha.

Di tengah proses perancangan, Sultan Hamid tersandung kesulitan. Dia sukar membangun simbolisasi pancasila ke dalam menyatu dengan lambang. Lalu dibuatlah gambar tameng atau perisai, pada bagian dada garuda. Inspirasinya tidak datang tiba-tiba. Dia terilhami oleh lambang-lambang pada negara lain yang juga menggunakan perisai bersanding gambar burung.

“Pertama saya membuat sketsa awal perisai, yang saya bagi menjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai yang membedakan dari perisai yang dibuat Mr. M. Yamin. Kemudian saya buat dua buah perisai di dalam dan di luar dengan garis agak tebal yang membelah perisai untuk melambangkan garis equator atau khatulistiwa di perisai itu,” jelas Sultan Hamid II dalam suratnya.

Namun Sultan Hamid tidak percaya diri dengan sketsa awal itu. Dia kemudian meminta anggota Panitia Lambang Negara memberi saran terkait simbol-simbol ide Pancasila. Bung Karno memberi saran keris, banteng, padi kapas. M. Natsir menyumbang gagasan untuk menambah bintang segi lima, sebagai simbol sila pertama.

Sementara itu, R.M Ng Purbatjaraka, mengusulkan penggunaan pohon astana atau beringin yang tumbuh di depan istana sebagai simbol sila ketiga. Maknanya pengayoman, perlindungan, dan lambang persatuan rakyat dengan pemerintah.

Selanjutnya, tali rantai bermata bulat diibaratkan sebagai perempuan. Sedangkan yang bermata persegi merupakan representasi laki-laki. Kedua jenis itu sambung menyambung, berjumlah 17, menyiratkan makna regenerasi yang terus menerus. Khusus simbol ini, Sultan Hamid mendapatkan inspirasi dari kalung suku Dayak, Kalimantan.

Untuk sila keempat, kepala banteng diusulkan oleh M. Yamin sebagai lambang kerakyatan. Sementara, sila kelima Ki Hajar Dewantara mengajukan padi dan kapas yang diartikan sandang dan papan, untuk menggambarkan kemakmuran.

“Semua itu saya bicarakan di hotel Des Indes yang merupakan tempat saya membuat gambar lambang negara sekaligus tempat saya tinggal sementara di Jakarta sebagai Menteri Negara RIS sampai dengan 5 April 1950,” ujar Sultan Hamid II.

 

Ditolak

Lambang burung garuda memegang perisai Pancasila yang sudah tersusun, lalu dibawa Sultan Hamid II ke dalam Rapat Panitia Lambang Negara 8 Februari 1950. Sayang, karya tersebut ditolak. Natsir tak setuju dengan penyematan gambar tangan manusia yang mencengkeram perisai. Menurutnya, penggambaran itu kental aroma mitologis dan feodalisme.

R.M Ng Purbatjaraka turut menggungkapkan keberatan. Dia tak sepakat dengan jumlah bulu ekor tujuh helai yang diusulkan M. Yamin.

Setelah menjelaskan makna tujuh helai bulu ekor, M. Yamin akhirnya mengubah jumlahnya menjadi delapan helai sesuai Candra Sengkala atau identitas negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945.

Di tengah hujan penolakan, Sultan Hamid tidak tinggal diam. Dia  membandingkan garuda dengan lambang-lambang negara lain, yang menggunakan Figur burung elang rajawali, khususnya negara Timur Tengah, seperti Yaman, Irak, Iran, dan Mesir. Termasuk Polandia yang sudah memakainya selama ratusan tahun.

Atas dasar itu, Sultan Hamid II memutuskan mengubah figur burung dari mitologi garuda ke elang rajawali, yang berperawakan lebih besar dan gagah ketimbang elang Jawa. Perubahan acuan itu diharapkan bisa sejalan dengan tujuan Republik Indonesia Serikat yang ingin menjadi negara besar dan setara dengan negara-negara lain di dunia.

Setelah diubah, rancangan Sultan Hamid serta coretan M. Yamin diterima Panitia Lambang Negara. Keduanya langsung dikirim ke Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta. Hasilnya, goresan Sultan Hamid dipilih dalam sidang Parlemen RIS pada 10 Februari 1950. Keesokan harinya, untuk pertama kali, gambar tersebut ditetapkan sebagai lambang negara RIS.

 

Perbaikan Lagi

Selang beberapa hari, Soekarno memanggil Sultan Hamid II untuk melakukan revisi. Bermula dari ketidakpuasan Soekarno saat melihat pahatan lambang negara yang tergantung di belakang podium Istana Negara, kala berpidato.

“Karena kepala burung Radjawalinya tidak ‘berjambul’ dan terlihat ‘gundul’,” cerita Sultan Hamid.

Sultan Hamid pun menangkap kemauan presiden. Jambul pun ditambahkan pada bagian kepala. Sketsa tersebut lantas diserahkan kepada pelukis Dullah. Hasilnya dipotret hitam-putih, untuk dikoreksi Bung Karno.

Namun ternyata Soekarno masih keberatan dengan bentuk cakar kaki yang mencengkram ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dari arah belakang. Menurutnya, itu seperti terbalik.

Sultan Hamid beda pendapat. Dia menilai, posisi cakar sudah tepat. Sesuai dengan keadaan alamiah burung yang sedang terbang membawa. Namun, Soekarno keukeuh meminta Sultan Hamid untuk mengubahnya.

Soekarno ingin simbol negara lebih menonjolkan ‘Bhinneka’, baru kemudian ‘ika. Keduanya lalu disatukan. E pluribus unum.

Semangat tersebut selaras dengan harapan saat itu, yang ingin menyatukan kaum federalis dan kaum yang berpandangan kesatuan.

Akhirnya, Sultan Hamid membagi lambang negara menjadi tiga bagian konsep, pertama, burung Rajawali atau Garuda yang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung Garuda mitologis. Kedua perisai sebagai pembungkus Pancasila. Dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis dalam pita warna putih.

Burung Pancasila dibuat menoleh ke arah kanan karena Sultan Hamid menganggap perlambangan ini sebagai pandangan negara ke arah kebaikan, seperti keyakinan tradisional sebagian besar masyarakat Indonesia.

“Untuk itu dengan terbentuknya RIS diharapkan bangsa ini bisa maju ke arah kemajuan sebagai bangsa yang lebih baik, sedangkan mengapa diberi nama Burung Elang Rajawali Garuda Pancasila, karena saya menghargai latar belakang gambar yang saya ciptakan pertama mengambil figur burung Garuda memegang perisai,” tukasnya.

Lima simbol dalam perisai, mengandung makna yang dalam. Tapi sila pertama lah yang paling penting. ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serupa benteng yang melindungi bangsa Indonesia, seraya mengiringinya melahirkan anak-cucu berpikiran maju.

“Menjadi figur Burung Elang Rajawali yang dikalungkan perisai Pancasila agar proses bangsa ini jangan melupakan peradaban bangsanya dari mana dia  berasal dan jangan sampai melupakan sejarah puncak-puncak peradabannya, seperti pesan Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno,” lanjutnya.

Generasi tersebut harus memiliki sikap luhur yang disimbolkan dengan sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab. Setelah itu membangun persatuan Indonesia di sila ketiga. Sebab hanya dengan bersatu dan perpaduan antar negara, bangsa Indonesia menjadi kuat.

Pada langkah berikutnya baru membangun parlemen negara yang demokratis dalam permusyawaratan dan perwakilan. Melalui jalan itu rakyat bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perisai ide Pancasila itu dikalungkan pada leher Garuda, lalu dibawa terbang tinggi, dengan tetap mencengkeram kuat prinsip “Bhineka Tunggal Ika”.

Sementara garis tebal di tengah perisai Pancasila merupakan tanda, bahwa perancangnya berasal dari Kalimantan Barat. Sultan Hamid II ingin garis equator atau khatulistiwa pembelah langit Indonesia, yang tugunya berada di Pontianak.

Setelah lambang disetujui semua kalangan, sketsa diserahkan kepada pelukis Dullah untuk disempurnakan. Hasil akhir pun terbingkai. Presiden Soekarno lantas memerintahkan Kementerian Penerangan untuk menyebarluaskannya ke seluruh pelosok Indonesia. Tanpa jasa Sultan Hamid II, gambar itu tak akan menghiasi dinding rumah-rumah warga hingga gedung megah Indonesia. []

Penulis Dwi Herlambang

Advertisement
Advertisement