Menguji Kedermawanan Rakyat Indonesia dengan Urun Dana Nusantara
JAKARTA – Setahun pandemi covid-19 melanda Indonesia, World Giving Index (WGI) 2021, menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Laporan WGI yang dirilis Senin (14/06/2021) oleh Charities Aid Foundation menyebutkan Indonesia ada di peringkat pertama dengan skor 69%.
Ini kali kedua negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini duduk di peringkat terwahid setelah didapuk pada 2008 dengan skor 59%.
Pada laporan WGI 2021, Indonesia menempati dua peringkat teratas dari tiga kategori atau indikator. Yakni, menyumbang pada orang asing atau yang tidak dikenal, menyumbang uang dan kegiatan kerelawanan atau volunteer.
Penelitian CAF, menunjukkan delapan dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uang pada 2021. Sementara, tingkat kerelawanan di Indonesia tiga kali lipat lebih besar dari rata-rata tingkat kerelawanan dunia.
Kedermawanan itu agaknya yang menjadi landasan pernyataan Ketua Otorita Ibu Kota Negara (IKN), Bambang Susantono setahun kemudian. Dia menyebutkan, ada peluang crowdfunding dalam pembangunan ibu kota.
Crowdfunding atau urun dana dalam pembangunan IKN, menurut Bambang dapat membuat tata-kelola pembangunan IKN lebih baik.
Strategi itu bisa saja terwujud mengingat lima tahun belakangan ini, di media sosial khususnya Twitter tak henti cuitan ajakan pengumpulan dana secara kolektif. Lewat kata-kata Please do Your Magic! seolah menjadi mantra bagi mereka yang meminta bantuan dari sesama.
Biasanya, ada yang bertanggung jawab untuk membuka link donasi di salah satu platform. Tren ini lumayan mendapat respons positif.
Jauh ditarik ke belakang, skema pengumpulan dana bersama-sama ini biasa disebut juga patungan. Simpelnya, beberapa orang mengumpulkan dana untuk suatu tujuan tertentu. Umumnya, dilakukan pada zaman sekolah.
Opsi Sah
Opsi crowdfunding atau urun dana tercantum dalam UU IKN Nomor 3 Tahun 2022 pada bagian Skema Pendanaan IKN. Disebutkan ada dua sumber pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN. Kedua, untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus IKN. Dalam beleid itu, pembangunan IKN bisa bersumber dari APBN dan/atau sumber lain.
“Jadi skema crowdfunding merupakan opsi yang sah untuk memperoleh pendanaan IKN,” tegas Tim Komunikasi IKN, Sidik Pramono, Jumat (08/04/2022).
Ia menjelaskan, urun dana hanya salah satu dari skema alternatif pembiayaan atau pendanaan persiapan pembangunan dan pemindahan IKN. Namun, ditegaskan ini bukan satu-satunya skema pendanaan.
Menjadi skema paling prioritas untuk pendanaan juga tidak. Adanya opsi urun dana ini hanya untuk merespons masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan IKN. Maka, dibuatkan skema yang sah secara aturan memungkinkan, yaitu crowdfunding ini.
Meski demikian, pembangunan tahap pertama IKN yang dijadwalkan sampai 2024 nanti pemerintah masih memprioritaskan APBN dan KPBU atau penguatan BUMN. Jadi, skema detail soal keterlibatan warga belum disusun pemerintah.
Jika pada akhirnya pemerintah membuka opsi crowdfunding, Sidik memastikan skala programnya juga tidak diperuntukkan skala yang sangat besar. Pendanaan itu nantinya bisa dialokasikan untuk jenis-jenis fasilitas umum dan fasilitas sosial tertentu dengan skala tertentu, seperti taman anggrek hutan, rumah diaspora global, ataupun museum artifak hutan.
“Untuk pembangunan istana negara tidak mungkin kan dengan crowdfunding. Jadi skala tertentu saja,” seloroh Sidik.
Sidik menerangkan, skema ini juga sifatnya sukarela, tidak ada paksaan. Bahkan, menurut dia, opsi ini yang bisa memulainya yaitu masyarakat sendiri. Jadi tidak dibuka oleh pemerintah.
“Crowdfunding itu sesuai inisiatif dari masyarakat, bukan pemerintah. Pemerintah hanya memfasilitasi kalau ada masyarakat yang mau membangun fasilitas sosial misalnya atau bangunan apa gitu, bisa,” jelas Sidik.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Rawanda Wandy Tuturoong juga mengatakan senada. Urun dana hanya opsi.
Pemerintah, saat ini sedang menggodok Rancangan Peraturan Pelaksanaan UU IKN. Rencananya, ada enam aturan turunan yang akan diterbitkan berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) sebelum 15 April 2022.
Keenam aturan tersebut yaitu, PP tentang Kewenangan Khusus Otorita IKN, PP tentang Pendanaan dan Penganggaran IKN, Perpres tentang Rencana Tata Ruang KSN di IKN, Perpres tentang Perincian Rencana Induk IKN, Perpres tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di IKN dan Perpres tentang Otorita IKN.
“Nah, skema creative financing yang termasuk di dalamnya crowdfunding akan masuk ke PP tentang Pendanaan dan Penganggaran IKN,” kata pria yang biasa disapa Binyo, Kamis (07/04/2022).
Dituturkan, sampai sejauh ini, pemerintah belum ingin mengambil opsi crowdfunding. Alih-alih memilih patungan dengan masyarakat, pemerintah ingin memaksimalkan APBN. Ada juga skema lainnya, semisal pemungutan pajak khusus di IKN atau KPBU serta penguatan BUMN.
“Sekarang pembangunan IKN baru di tahap pertama dan menggunakan APBN sampai tahun 2024. Crowdfunding ini hanya salah satu opsi, sampai saat ini kita belum ada arah ke sana karena harus lihat dulu segala macamnya penelitian, kajian dan sebagainya,” beber dia.
Bukan Kali Pertama
Peneliti Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet menilai, opsi itu wajar sebagai alternatif pendanaan. Secara historis pembiayaan secara kolektif sebenarnya sudah dilakukan dalam beragam bentuk.
Misalnya, saat seorang bankir asal Bangladesh, Muhammad Yunus mengumpulkan dana untuk kelompok masyarakat miskin yang pada akhirnya menjadi cikal bakal dari terbentuknya Grameen Bank.
Kemudian ada Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dalam masa kepemimpinan pertamanya pernah menerbitkan undang-undang Jumpstart Our Business Startups (JOBS) yang juga dikenal dengan The Crowdfunding Bll.
“Crowdfunding bisa muncul dalam beragam bentuk, dan wajar ketika pemerintah mewacanakan ini sebagai salah satu alternatif pendanaan,” ucap Yusuf, Jumat (08/04/2022).
Namun, menurut dia, skema pendanaan serupa untuk pembangunan sebuah ibu kota, belum pernah dilakukan. Jika skema ini diterapkan, nantinya Indonesia akan menjadi negara pertama yang menggunakan skema ‘patungan’ dalam pembangunan Ibu Kota Negara.
Saat ini crowdfunding umumnya hanya sering dilakukan di e-commerce. Kondisi masyarakat masih berada dalam proses transisi pemulihan ekonomi setelah pandemi, diyakini menjadi dasar untuk sulit berharap.
Jika berharap dari swasta, IKN adalah proyek baru dan tentu ada risiko dari pembangunannya. Tentu swasta yang akan ikut, lebih selektif untuk menempatkan dananya.
Meski demikian, Yusuf sedikit setuju jika skema crowdfunding dalam hal ini dijadikan sebagai pembiayaan tambahan dengan proporsi relatif sedikit dibandingkan pembiayaan konservatif/utama seperti investasi asing langsung, APBN dan LPI.
Tetapi, dia mewanti-wanti, jika skema ini diterapkan nantinya pemerintah mesti lebih ketat dalam pengawasan dan pengelolaan dana.
Badan Otorita IKN perlu berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait seperti BPK, BPKP dan juga PPATK untuk memastikan skema urun dana menerapkan prinsip-prinsip good governance. Terlebih, KPK pernah bilang ada potensi dana money laundry atau dana hitam lainnya.
Background checking menjadi penting untuk dilakukan tidak hanya KPK tetapi juga oleh institusi terkait.
“Ketika crowdfunding digunakan, peningkatan pengawasan menjadi penting, karena aliran dana bisa datang dari mana saja misalnya dari dana hitam,” imbuh Yusuf.
Keraguan
Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira menyampaikan persepsi berbeda. Urun dana lumrahnya dilakukan untuk proyek-proyek sosial atau pembiayaan UMKM dan seperti pengumpulan dana bencana alam.
Namun proyek IKN sifatnya komersial, bukan proyek sosial. Makanya, dia menilai kurang pas jika pembangunan IKN menggunakan skema urun dana. Lagi pula, perdebatan dan penolakan dari publik, dan rencana kenaikan PPN pada April ini kian menyangsikannya ini bisa dilakukan.
“Masyarakat kan sudah naik tarif pajaknya tahun ini, uang pajak masuk ke APBN dan digunakan salah satunya untuk IKN, lalu buat apa lagi minta uang lewat urun dana? Masih banyak kebutuhan masyarakat yang lebih prioritas misalnya membeli minyak goreng dan kebutuhan pangan dengan harga terjangkau,” tandas Bhima.
Board Director Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Arianto Patunru juga skeptis dengan opsi urun dana IKN ini. Ia melihat, biasanya skema itu dipakai oleh UKM atau start-up business, sementara pembangunan IKN merupakan mega proyek.
“Saya belum pernah dengar ada mega proyek yang pendanaannya crowdfunding. Saya skeptis ini bisa dilakukan,” kata Arianto , Senin (04/04/2022).
Ketidakjelasan target crowdfunding menjadi alasan utama Arianto. Menurutnya, perlu kriteria yang jelas siapa yang disasar dalam pendanaan skema itu. Apakah investor asing atau masyarakat domestik, harus ditentukan detail.
Untuk target investor asing, Arianto juga menilai tidak tepat. Karena, penyaluran investasi asing lebih pas menggunakan skema foreign direct investment (FDI).
Alasan lainnya, crowdfunding butuh proper incentives. Perlu ada yang dijanjikan sebagai return. Untuk traditional crowdfunding biasanya ada return seperti kepemilikan (equity).
“Lalu, kalau menarget domestic sources, tentu insentif bagi mereka yang tinggal jauh dari IKN bakalan sedikit daripada yang dekat,” cetusnya.
Ia mengatakan, proyek IKN sejatinya butuh persiapan yang matang dan sumber pendanaan yang jelas. Lantaran, proyek IKN melibatkan banyak institusi, pemerintah dari berbagai level dan juga melibatkan aspek di luar pemerintahan.
“Kalau perencanaan dan pendanaan berubah-ubah, maka proyek ini berpotensi tidak bisa berjalan sesuai rencana,” tutur Arianto.
Terlepas dari kedermawanan warga negara RI yang dicatat dunia, ada banyak hal yang perlu dijelaskan agar mereka mau urunan. []
Penulis: Gisesya Ranggawari, Oktarina Paramitha Sandy