Mengulik Lemahnya Perlindungan Hak Reproduksi Pekerja Perempuan
Setidaknya begitu gambaran hasil survei Komite Perempuan IndustriALL Indonesia Council terkait perlindungan hak reproduksi buruh dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Survei ini dilakukan untuk memotret kondisi perlindungan hak reproduksi dan kesehatan keselamatan kerja dalam PKB. Survei dilakukan terhadap 186 serikat pekerja di tingkat perusahaan dan 186 PKB dari Federasi Afiliasi IndustriALL di Indonesia.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyono memaparkan, survei dilakukan dalam kurun waktu September-November 2018 di sektor industri kimia, energi, garmen, tekstil, sepatu, farmasi, metal, elektronika, kosmetik, pulp, dan kertas.
Adapun sebaran perusahaan yang disurvei adalah 85 Perusahaan Modal Asing (PMA), 70 Perusahaan Modal Dalam Negeri (PMDN), dan 13 merupakan perusahaan Joint Venture.
Dalam survei terungkap, sebanyak 87 persen perusahaan terdapat fasilitas cuti haid. Sedangkan 9 persen yang lain mengatakan tidak ada cuti haid, dan sisanya sebanyak 3 persen tidak tahu.
“Masih adanya perusahaan yang tidak memberikan cuti haid, tentu saja memprihatinkan. Hal ini mengingat cuti haid adalah hak normatif yang harus didapatkan pekerja. Belum lagi, haid bagi perempuan merupakan faktor penting dalam reproduksi,” tutur Kahar Cahyono.
Jika dilihat lebih dalam, dari perusahaan yang memberikan cuti haid, sebanyak 42 persen menyatakan cara pengambilannya harus dengan surat dokter.
“Padahal haid bukan penyakit, yang semestinya tidak memerlukan surat dokter,” katanya lagi.
Hanya 26 persen responden yang mengatakan untuk mengambil cuti haid bisa dilakukan hanya dengan pemberitahuan. Sedangkan 32 persen harus mengisi formulir.
Sedangkan untuk cuti melahirkan, 72 persen mengatakan perusahaan menerapkan sistem dengan kaku, yakni pelaksanaannya harus 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Hanya 22 persen yang pelaksanaannya bisa fleksibel, asalkan totalnya tiga bulan.
Menariknya, ada 6 persen yang memberikan cuti melahirkan lebih dari 12 minggu. Hal ini sejalan dengan perjuangan Komite Perempuan IndustriALL di Indonesia yang menuntut agar cuti melahirkan diberikan selama 14 minggu.
Hal lain yang menarik, 18 persen perusahaan membatasi cuti melahirkan hanya sampai pada anak ke-3. “Untuk anak keempat dan seterusnya, tidak diberikan cuti, sehingga upahnya tidak dibayar,” ujar Kahar.
Terkait dengan pemberian kesempatan untuk menyusi anak, 49 persen perusahaan tidak ada izin untuk menyusui pada jam kerja. Hanya 42 persen yang memberikan izin, dan 9 persen lainnya menjawab tidak tahu.
Sementara terkait ruang laktasi, 41 persen menyatakan memiliki ruang laktasi di dalam perusahaan. Ada 44 persen perusahaan yang tidak memiliki ruang laktasi, dan 15 persen menjawab tidak tahu.
Ironisnya, meskipun 41 persen mengatakan ada ruang laktasi, 90 persen lainnya tidak memiliki pasal dalam PKB yang mengatur ruang laktasi.
Kahar melanjutkan, diskriminasi terhadap pekerja perempuan juga tergambar dalam survei ini. Terungkap, dalam pemberian tunjangan keluarga, ada 30 persen perusahaan yang memberikan tunjangan keluarga hanya pada laki-laki.
Hanya 25 persen yang diberikan pada keduanya, laki-laki dan perempuan. Sedangkan 37 persen menjawab di perusahaan tersebut tidak ada tunjangan keluarga.
Mengenai kebijakan perlindungan pelecehan seksual, 69 persen mengatakan tidak ada pengaturan khusus di dalam perusahaan. Hanya 31 persen yang mengatur hal ini.
Lebih jauh lagi, 77 persen perusahaan mengatakan dalam PKB tidak diatur dalam perlindungan terhadap pelecehan seksual. Hanya 23 persen yang dalam PKB-nya mengatur mengenai pelecehan seksual.
“Hal ini memberi gambaran bahwa nampaknya pelecehan seksual belum menjadi isu penting bagi pekerja,” ujarnya.
Ketua IndustriALL Indonesian Council Iwan Kusmawan mengharapkan, hasil survei ini akan menjadi data awal untuk memperjuangkan perlindungan hak reproduksi pekerja perempuan yang lebih baik. [wid]